Senja berganti malam, tak ingin menanti semua yang kelam. Hujan berhenti turun, kata hati tak lagi menuntun. Malam yang dingin menghantarkan kita menuju esok hari. Ketika harapan sirna karena orang yang kita sayangi. Seperti mati gaya, hanya diam mematung tak bergerak. Tak bisa menggapai harapan.
Malam itu Ednan bersiap-siap menjalani rutinitasnya. Berdandan rapi dengan rambut sebahunya yang dikucir kebelakang. Beberapa kali ia menyemprotkan parfum ke badannya. Bermodalkan kumisnya yang tipis, sekarang Ednan benar-benar menjadi seorang pria. Banyak sekali wanita yang memberi perhatian lebih padanya, tetapi Ednan hanya cuek. Menurutnya, cinta itu harus memilih, bukan dipilih.
Bermusik adalah hobi Ednan yang digelutinya dengan serius sejak kecil. Malam ini dengan membawa gitar kesayangannya, ia keluar kamar berangkat menuju café dimana ia dapat bermusik bersama teman-temannya. Saat melewati ruang tamu, ia melihat ayah dan ibunya sedang menonton teve bersama.
“Pah, Ednan berangkat dulu.” ia berpamitan kepada ayahnya.
“Iya Nan, hati-hati. Pulangnya jangan terlalu larut.” jawab ayahnya dengan mata yang berkedip-kedip mengisyaratkan agar Ednan segera pergi meninggalkan mereka sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.
Saat Ednan berjalan keluar, tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Ednan, kesini dulu.” panggil ibunya.
Ah, sial aku kurang cepat. Batin Ednan. Kemudian ia berjalan kembali ke arah ibunya.
“Sudahlah, kamu belajar saja dirumah fokus pada kuliahmu. Bisa dapat apa kamu dari bermusik? Kesenangan? Kamu ini anak tunggal kita, Nan. Kamu yang bakal nerusin usaha papah. Kalau kamu hanya bermodalkan ilmu musik, usaha papah bisa bangkrut. Ujung-ujungnya kamu sendiri yang rugi.” kesekian kalinya ibu Ednan menegur Ednan. Tetapi ia hanya menundukkan kepala.
“Tapi mah, bermusik adalah hobi Ednan sejak kecil. Dari dulu Ednan pengen jadi musisi.” jawab Ednan membela diri.
“Kamu ini dari dulu ditegur jawabnya selalu seperti itu.” Ibu Ednan semakin menjadi.
“Sudahlah mah, biarkan Ednan pergi. Kamu Ednan cepat berangkat sana.” Ayah Ednan menenangkan suasana. Kemudian Ednan pergi meninggalkan mereka berdua.
Hati Ednan tak tenang karena dari dulu ia tak pernah mendapat ijin ibunya untuk mendalami musik. Padahal, Ednan sangat berbakat soal musik.
Perasaan yang sedang terombang-ambing, luka yang sedang mencabik-cabik, kenangan yang selalu menghantui. Lengkap sudah penderitaan Qika. Tetapi hari ini Qika sudah berjanji akan melupakan semuanya. Semua luka yang diberikan Azka, semua kenangannya bersama Azka. Semuanya dimulai dari ‘nol’ lagi.
“Tok tok tok…. Qik bukain pintunya dong.” Terdengar suara dari balik pintu kamar Qika.
Qika bersama sahabatnya SMA tinggal di kontrakan untuk melanjutkan kuliah. Alasannya karena lebih murah daripada ngekost sendiri-sendiri. Rumah itu dihuni oleh tiga orang dengan Qika. Jadi, masih tersisa banyak ruangan yang kosong. Yola, satu kampus dengan Qika tetapi berbeda jurusan. Sedangkan Athaya, berbeda kampus dengan Yola dan Qika.
“Iya, sebentar.” Qika dengan gesit merapikan kamarnya yang acak-acakan. Setelah itu, ia membukakan pintu kamarnya.
“Eh, Yola. Ada apa malam-malam begini mencari putri yang sedang beristirahat?” tanya Qika dengan gayanya yang kepedean.
“Ssst, daripada nggak jelas di rumah kayak gini mending kita keluar yuk cari makan. Bareng sama Athaya juga.” ajak Yola pada Qika.
“Kebetulan aku juga laper. Mau makan dimana emangnya?”
“Emm, Café Biru aja ya. Asik tuh rame. Makanannya juga nggak mahal.”
“Iya deh. Eh, si Athaya mana?”
“Itu di depan sudah nungguin daritadi. Yuk buruan ganti baju aku tunggu di depan ya.”
“Oke, tunggu sebentar ya. Awas kalau ditinggal.”
Sabtu 5 Mei 2015, Café Biru Menengok kesana-kemari mencari teman-temannya. Sejauh mata memandang Ednan tidak melihat batang hidung temannya. Mungkin karena keramaian pengunjung cafe itu sehingga sulit bagi Ednan untuk menemukan temannya.
“Woi Nan!!” teriak seseorang memanggil Ednan dari arah belakang. Ternyata adalah David teman Ednan. Ednan hanya tersenyum kemudian menghampirinya.
“Kemana aja kamu? Bentar lagi kita tampil.” tanya David dengan nada agak sedikit marah.
“
Sorry, sebenarnya sudah datang daritadi tapi ini rame banget jadi susah nyari kalian. Yuk langsung aja siap-siap.”
Waktu yang ditunggu-tunggu Ednan akhirnya tiba juga. Bermain musik bersama temannya di panggung sederhana. Bukan masalah panggungnya, tetapi ini tentang menghibur orang. Musik membuat pengunjung
Café Biru menjadi semakin menikmati malam minggunya. Pengunjung yang semula bersedih menjadi tersenyum. Kecuali jika membawakan lagu sedih. Kesedihannya akan semakin dalam.
“Ednan, lagi-lagi kamu yang datang terakhir. Huhu.” ejek Devi sambil mencubit bahu Ednan.
“Aduh, sakit Dev. Iya maaf deh. Ini yang terakhir. Janji.” keluh Ednan.
“Oke teman-teman saatnya kita menghibur orang-orang. Buat malam minggu mereka agar tidak kelabu!!” seru Noa. Memang anak satu ini berperan seperti pemimpin di kelompok Ednan. Dengan bermodalkan sifatnya yang bijaksana, ia mampu membuat teman-temannya menaruh kepercayaan padanya.
Berempat dengan formasi band : Ednan sebagai gitaris. David bermain cajon. Devi bermain biola. Noa sebagai vokalis. Dengan bakat mereka di bidangnya masing-masing yang berpadu menjadi satu menciptakan sebuah alunan musik yang merdu, tak heran lagi para pengunjung sangat menikmati permainan bermusik mereka.
“Selamat malam
Café Biru. Ijinkan aku bermalam dipelukmu.” sapa Noa kepada pengunjung Café Biru sebelum mereka bermain. Berbeda dengan Ednan, sejak dia menaiki panggung, matanya selalu tertuju pada seorang wanita berkacamata yang duduk diantara dua temannya. Imut, kecil, putih, dengan rambutnya yang terurai ditambah dengan senyumnya yang dapat memanipulasi kesedihan menjadi tawa.
Dari awal mereka bermain hingga hampir selesai, mata Ednan tak luput memandangi perempuan berkacamata itu. Akhirnya, di waktu yang sangat istimewa mata mereka akhirnya bertemu. Lampu-lampu menyala bergantian, angin malam terhembus-hembus, tawa canda pengunjung ditambah dengan alunan musik yang merdu melengkapi tatapan keempat mata itu. Detik pertama, tatapan itu seolah-olah saling mengagumi. Detik kedua, tatapan itu ingin saling mengenal satu sama lain. Detik ketiga, pandangan mata itu menjadi pandangan cinta.
Selesai mereka bermain, maka selesai juga acara di
Café Biru itu. Karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 00.00. Setelah membereskan alat-alat dan sound system, Ednan segera berlari ke arah pengunjung yang sedang berdesak-desakan keluar dari tempat itu. Mata Ednan terus mencari-cari perempuan berkacamata yang ia lihat tadi. Tetapi karena kerumunan orang, ia tidak dapat menemukannya. Ada raut kecewa di wajah Ednan.
“Seperti biasa, kalian keren guys!” puji Noa pada teman-temannya.
“Kita keren karena kita saling melengkapi.” tutur Ednan.
“Betul kata Ednan, kita harus saling melengkapi seperti sekarang ini. Begitupun seterusnya.” jawab Devi sembari matanya melirik Ednan.
Angin malam berhembus sangat kencang, menandakan esok hari akan segera tiba. Malam janganlah berlalu dan meninggalkan cerita singkat yang indah begitu saja. Terang janganlah datang sebelum malam membuat cerita yang lebih indah. Hanya sebatas saling memandang yang penuh dengan arti. Perasaan cinta yang tercipta dari tatapan mata seorang pria dan wanita. Membuat dunia bertanya-tanya, semudah itukah jatuh cinta?
Sesampai di depan rumah, Ednan tak langsung masuk ke dalam. Dilihatnya arloji di tangannya. Pukul 01.20 dini hari. Sedikit telat batinnya. Semua orang di rumah sudah terlelap, hanya dirinya yang masih terjaga. Merenung di kamar dengan jari-jarinya yang masih memetik senar gitar. Pelan namun bersuara. Pikirannya masih terombang-ambing. Antara nasehat ibunya atau keinginannya. Lama ia berpikir, akhirnya matanya tak kuat lagi menahan kantuk. Ednan terlelap. Biarlah semua waktu yang menjawab.
Esok hari tiba. Mata Ednan masih enggan untuk membuka. Diliriknya jam di dinding kamarnya. Ia langsung berlonjak dari kasurnya. Jam menunjukkan pukul 8.45. Ednan lupa hari ini ada kuliah jam 09.00. Ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi. Selesai mandi dan berpakaian rapi, tak lupa mengucir rambut panjangnya itu ia berpamitan kepada ibunya untuk berangkat kuliah. Meskipun Ednan orang yang berkecukupan, namun jarang sekali ia meminta uang pada ibunya. Jika hanya uang untuk jajan, Ednan bisa dapatkan sendiri dari hasil bermusiknya. Untuk urusan uang kuliah, sepenuhnya ia serahkan pada orang tuanya.
Sepulang kuliah Ednan tak langsung pulang ke rumah. Seperti biasa nongkrong bersama teman kuliahnya di taman yang ada di kampusnya. Bersama dengan Devi yang juga temannya di kampus.
“Hei, Ednan. Bisakah kau dengan Devi mengisi di acara ulang tahun punya saudara?” tanya Lycan pada Ednan dengan logat timurnya yang khas.
“Saudaramu di timur sana? Jangan bercanda kau.” jawab Ednan dengan logat seperti Lycan.
“Ssst. Hei Ednan bukankah itu asyik?” bisik Devi pelan pada Ednan.
“Tenanglah dulu kau Ednan. Punya saudara rumahnya hanya berapa kilo dari sini.” terang Lycan.
“Kau bilanglah daritadi. Bagaimana Dev?” tanya Ednan pada Devi untuk mendapatkan pendapat.
“Sepenuhnya terserah kamu, Nan.” jawab Devi dengan pernuh kepercayaannya pada Ednan.
“Oke. Tanggal berapa ulang tahun saudaramu Lycan?”
“Tanggal 23 Juni besok. Bisa kan kalian ngisi?” Lycan meyakinkan.
“Oke kami bersedia. Kalau begitu kita pamit pulang dulu. Ayo Dev.” Ednan bergegas menghampiri motornya yang terparkir di depan mereka disusul dengan Devi.
“Dah, Lycan.” Devi melambaikan tangannya pada Lycan.
“Hati-hati di jalan.” teriak Lycan dari kejauhan
Sudah menjadi kewajiban Ednan untuk mengantarkan Devi pulang ke rumah setelah kuliah. Devi sudah menjadi sahabat Ednan sejak SMA. Tak heran mereka berdua sangat dekat.
“Rumah kamu dimana, Dev? Aku lupa.” goda Ednan pada Devi untuk membuka pembicaraan saat berkendara.
“Sial kau Ednan! Kita sudah berteman dari dulu dan sekarang kamu lupa dimana rumahku?” jawab Devi dengan tangannya yang memukul pelan helm Ednan.
“Aduh. Hei, aku hanya bercanda. Tidak mungkinlah aku lupa rumahmu setelah sekian tahun kita berteman. Hahaha.”
“Beruntungnya aku punya ojek pribadi yang ganteng. Hahaha.” ejek Devi pada Ednan.
“Sungguh? Sekejam itukah bercandamu?” jawab Ednan dengan mimik wajah cemberut.
“Yahh. Cuma gitu aja cemberut. Haha.” Devi melirik spion.
“Banyak omong ah. Aku turunin disini nih. Haha.”
Setelah mengantarkan Devi, Ednan langsung pulang ke rumah untuk mengistirahatkan badan. Mengingat kemarin malam ia hanya tidur beberapa jam. Ednan terlelap. Menjelajahi dunia mimpi dimana dia sudah menjadi orang besar. Tampil bermusik di panggung yang megah. Tidak sabar ingin segera bangun dan bermusik dengan teman-temannya.
Berjalan tiga langkah kemudian kembali lagi. Mondar-mandir seperti orang kebingungan. Sudah lima kali Azka menelponnya tetapi Qika tidak ada niatan untuk mengangkatnya. Jika ia tidak mengangkatnya maka semua akan baik-baik saja. Tidak ada dusta, tidak ada nostalgia, dan tidak ada rindu yang berbuah lara. Qika akan sepenuhnya lepas dari kenangan pahitnya bersama Azka. Terbebas dari belenggu luka yang diberikan Azka.
Namun dilain sisi Qika ingin mengulang kembali kenangan manis bersama Azka. Dimana burung-burung bernyanyi saat mereka bersama. Bunga-bunga tersenyum melihat mereka tertawa. Namun sekarang hanya bimbang yang ada. Antara melupakannya atau mengulangnya. Keduanya adalah pilihan sulit bagi Qika. Mengingat Azka pernah memberikan luka padanya.
Dengan masih ragu, akhirnnya keputusannya sudah bulat untuk mengabaikan telpon dari Azka yang terakhir ia terima itu. Qika memilih untuk melupakan semuanya.
Kuliah sambil kerja. Dapat ilmu dapat uang. Prinsip Qika yang sudah ia lakoni dari dulu. Dengan dua temannya, ia kerja sambilan untuk meringankan beban orangtua. Pada dasarnya, semua wanita di dunia ini dianugerahi keterampilan untuk memasak. Qika dan temannya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka sepakat untuk membuat
Macaroni Schotel yang siap di delivery selagi hangat.
Semua wanita dianugerahi keterampilan untuk memasak. Namun juga memiliki level sendiri-sendiri. Level pertama dan yang paling atas, semua wanita di level ini sudah seperti koki. Semua bahan bisa dibuatnya menjadi makanan dengan rasa yang delicious. Level kedua, wanita di level ini mempunyai skill layaknya ibu rumah tangga. Hanya bisa memasak untuk makanan sehari-hari. Di level ketiga, wanita disini hanya sebatas bisa memasak air. Semuanya bergantung dengan masakan orang lain. Qika kecewa dilahirkan dengan level memasak ketiga. Qika tidak begitu mahir untuk keterampilan yang satu ini. Berbeda dengan Athaya dan Yola, mereka bisa menciptakan cita rasa
Macaroni Schotel menjadi sangat lezat. Membuat setiap pencicipnya menganggukkan kepala menandakan makanan itu sangat enak.
Semua usaha harus dibangun bersama-sama. Jika sudah ada yang memasak, maka tugas untuk mengantarkan makanan diberikan pada Qika. Selain rasanya yang enak, yang membuat Macaroni Schotel mereka sangat terkenal adalah ongkos kirimnya yang gratis. Selama itu masih di dalam kota, maka tidak dipungut biaya kirim. Sore itu seperti biasa mereka sibuk menerima pesanan Macaroni Schotel. Yola dan Athaya bercucuran keringat karena memasak. Begitupun Qika, ia rela panas-panasan mengantarkan pesanan. Sepulang mengantarkan pesanan, sudah ada lagi pesanan yang harus diantarkan. Mayoritas pembeli adalah anak kuliahan karena Macaroni mereka sangat terkenal di kampus mereka. Tetapi Qika tidak pernah mengeluh, ia yakin semua usaha keras tidak akan mengkhianati.
“Halo? Apa benar ini
Macaroni Schotel?” tanya seseorang dari seberang telfon.
“Iya benar mas. Ada yang bisa dibantu?” jawab Qika dengan nafas yang masih terengah-engah karena kelelahan.
“Emm, saya pesan Macaroni Hot dikirim ke alamat Jl.Manggis 9 no.85. Cepet ya mbak, keburu laper.” baru kali ini Qika menerima telfon dari buyer dengan nada memesan yang tidak mengenakkan.
“Iya mas. Tunggu beberapa menit lagi saya sampai di alamat itu.”
“Oh iya. Jangan lupa, pas sampai disini harus dalam keadaan hangat.” sebelum Qika menjawab, telfon itu sudah ditutup.
“Yolaaa,
Macaroni Hot satu cepet ya.” teriak Qika pada Yola dan Athaya yang berada di dapur.
Akhirnya
Macaroni Hot telah siap diantarkan. Dengan motor maticnya, Qika mengantarkan pesanan ke alamat yang diberikan tadi.
Menelusuri jalan berliku mencari alamat itu. Membasuh peluh karena lelah dan keringat yang berpadu. Melaju menantang panasnya surya yang membeku menjadi satu. Alamat itu seperti hanya kalbu. Susah digapai seperti doa penghulu. Namun Qika tidak berhenti melaju. Dengan tanpa mengeluh akhirnya alamat itu ketemu.
“Permisi. Macaroni Schotel sudah sampai.” Qika berdiri di depan pintu menunggu pembelinya keluar.
“Iya, tunggu sebentar.” teriak seseorang dari dalam. Akhirnya setelah menunggu sekitar dua menit orang itu keluar.
Dibalik kacamatanya, mata Qika terbelalak tidak percaya. Begitupun dengan Ednan. Kedua pasang mata itu kembali menatap. Detik pertama, tatapan mata itu seperti ingin melangkah kembali karena tidak percaya akan kembali memandangi seperti dulu. Detik kedua, pandangan mata itu berubah menjadi senyum. Detik ketiga, dengan sendirinya mereka melangkah maju. Selama tiga detik mereka berdua seperti diantara kata yang tidak terucap.
“Ehh, apa betul mas memesan
Macaroni Hot?” tanya Qika dengan nada bicara yang terbata-bata.
“Betul mbak. Sebentar saya ambil uang dulu.” Ednan kembali masuk ke dalam. Saat di dalam, ia tersenyum sendiri karena bisa bertemu wanita yang ada di Café Biru saat itu dengan cara yang konyol. Kemudian ia kembali lagi untuk membayar macaroni yang ia pesan.
“Ini mbak uangnya.” Ednan memberikan uang kepada Qika.
“Terimakasih mas. Selamat menikmati.” jawab Qika dengan memberikan senyumnya kemudian pergi meninggalkan Ednan.
“Mbak… Tunggu.” langkah Qika terhenti karena Ednan memanggilnya.
“Ednan.” Ednan mengulurkan tangannya pada Qika. Tak lupa ia memberikan senyum.
“Qika.” jawab Qika yang disertai dengan senyuman juga. Kemudian Qika berlalu meninggalkan Ednan.
“Hati-hati di jalan.” teriak Ednan dari kejauhan dengan tangannya yang melambai-lambai. Qika hanya tersenyum sambil melihat Ednan dari spion motornya.
Macarani Schotel menjadi saksi bisu cinta terselubung mereka. Pada awalnya hanya sebatas memandang mata. Kini mereka telah berucap kata. Entah kapan datangnya, itulah yang dinamakan cinta.
Sepanjang perjalanan pulang, bibir Qika selalu tersenyum lebar. Mengingat dia telah bertemu dengan seorang pria yang dijumpainya di
Café Biru tempo hari. Untungnya, wajah kecil yang sedang tersenyum gembira itu bersembunyi dibalik helm. Jika tidak, entah sudah berapa kali Qika diteriaki orang gila.
Begitupun dengan Ednan, susah bagi giginya untuk mengunyah macaroni yang sedang dimakannya karena dari gigitan pertama hingga gigitan terakhir Ednan tak luput dari senyum. Makan dengan tersenyum, sulit sekali dibayangkan. Itulah cinta, membuat hal yang tak terduga menjadi terduga. Bahkan Ednan tak perlu minum air setelah selesai memakan
Macaroni Hot yang dia pesan. Karena pikir Ednan ada mineral cinta yang akan mendinginkan tenggorokannya dari rasa pedas.
***
Semua sudah berlalu, kini malam telah tiba. Seperti hari-hari sebelumnya, Ednan akan bermusik dengan teman-temannnya di Café Biru. Selesai berdandan rapi, ia keluar kamar untuk berpamitan pada orangtuanya. Didapati hanya ibunya yang ada di ruang keluarga. Awalnya Ednan ragu untuk berpamitan. Akhirnya dengan berani ia berpamitan kepada ibunya.
“Mah, Ednan berangkat.” suara Ednan sangat pelan, bahkan hampir tidak kedengaran.
“Berangkat kemana? Café itu lagi?” tanya ibunya.
“Iya, mah.” jawab Ednan lirih.
“Mamah minta tolong, mulai hari ini kamu tidak usah kesana lagi. Berhentilah bersenang-senang dengan temanmu itu. Fokus saja pada kuliahmu.” Ednan tidak percaya ibunya akan mengatakan seperti itu. Ia dengan tegas menjawab.
“Ednan tidak bersenang-senang, Mah. Ednan hanya bermain musik bersama teman-teman karena itu adalah hobi Ednan. Apa mamah tega menghentikan cita-cita anak mamah?”
“Kamu sekarang sudah berani menjawab mamah? Pokoknya hari ini kamu tidak usah kesana lagi.” kali ini Ibu Ednan benar-benar marah.
“Tidak mah. Ednan tetap akan berangkat. Ednan akan buktikan pada mamah kalau bermusik itu tidak selamanya buruk. Ednan tidak akan pulang sebelum mamah liat wajah Ednan di teve atau media cetak.” baru sekali ini Ednan berani membantah mamahnya. Sebelumnya ia adalah anak yang penurut.
Seketika hening. Ednan tidak percaya ibunya akan menghentikan harapannya semudah itu. Kemudian ia kembali lagi ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya yang penting. Pakaian secukupnya untuk dimuat di tas kecilnya. Uang tabungan hasil ia bermusik selama ini tak lupa ia bawa. Dan yang terpenting adalah gitar kesayangannya. Entah kemana ia harus tinggal nanti. Tetapi cita-cita Ednan tidak mungkin jika hanya dibiarkan mati.
Kemudian Ednan pergi meninggalkan rumahnya menuju café. Ia kecewa tidak sempat berpamitan dengan ayahnya yang sedang bekerja. Saat sampai di depan pagar, Ednan menengok lagi ke belakang melihat rumahnya. Seakan-akan ia tidak rela jika harus melangkahkan kaki keluar dan tidak kembali lagi. Tetapi apa daya, ia harus mengejar impiannya.
Pesanan macaroni hari ini sudah habis. Tidak ada lagi yang harus diantarkan. Walaupun lelah, Qika tetap senang karena siang tadi ia barusan bertemu dengan Ednan. Pria yang dipandanginya di Café Biru tempo hari.
“Kamu kesambet apa Qik? Daritadi keliatannya girang terus.” tanya Athaya pada Qika.
“Hehehe, kalau bekerja itu tidak harus selalu serius. Sesekali jangan lupa bahagia dengan diri kita sendiri.” jawab Qika dengan mimik wajah cengar-cengir.
“Sejak kapan kamu jadi bijak begini? Eh Qik, cari makan yuk. Laper nih perut daritadi kerjaannya banyak.”
“Kamu mau makan apa? Aku traktir deh. Eh, tapi makannya harus di café yang waktu itu ya.” wajah Qika masih cengar-cengir. Ada maksud kenapa ia mengajak Athaya ke Café Biru. Yang tidak lain adalah ingin bertemu dengan Ednan.
“Serius? Aaaaa, makasih Qika.” Athaya kegirangan.
“Sama-sama. Si Yola mana? Ajak sekalian biar seru.” Qika menengok mencari Yola.
“Yola dinner sama pacarnya. Barusan dia berangkat.”
“Ohh. Kalau gitu berangkat yuk.” Kemudian mereka berdua berboncengan berangkat ke Café Biru yang jaraknya tidak begitu jauh dari kontrakan mereka.
Sabtu 19 Mei 2015, Café Biru Ednan tidak semangat seperti biasanya. Ada tekanan batin yang menghantuinya. Kadang ia berpikir. Pantaskah melakukan semua ini? Dengan tegas ia menjawab dalam diam. PANTAS. Ednan yakin, semua harapan pasti ada lika-liku jalannya. Jika dalam roda yang berputar, mungkin ia sekarang berada dibawah.
“Kalian keren guys! Tapi aku perhatikan Ednan tidak semangat seperti biasanya. Ada apa Ednan?” tanya Noa pada Ednan.
“Tidak ada apa-apa Noa.” kemudian ia tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
“Hei, Ednan. Ada masalah apa kamu?” bisik Devi lirih pada Ednan.
“Aku lupa lagi rumahmu dimana, Dev.” goda Ednan pada Devi dengan membisikinya pelan. Kemudian Devi tertawa dan menepuk bahu Ednan.
“Oke. Kalau begitu aku dan Noa pulang duluan ya.” pamit David pada Ednan dan Devi yang disusul oleh Noa.
“Duluan semua.” Noa melambaikan tangan kearah Devi dan Ednan.
“Hati-hati di jalan.” jawab mereka kompak.
Devi sebenarnya tau benar Ednan sedang ada masalah. Tetapi ia hanya diam saja dan mencoba untuk menghibur Ednan. Bercerita tentang masa kecil mereka yang membuat Ednan tertawa terbahak-bahak. Terlebih saat Devi bercerita tentang Ednan yang paling cengeng diantara teman-temannya. Atau saat Ednan bercerita tentang Devi yang sering dimarahi Mbok Sanem karena sering ketahuan mencuri buah mangganya.
Senja sudah berganti menjadi malam. Yang biasanya Ednan dan teman-temannya baru akan tampil, sekarang mereka sudah selesai. Karena mereka mendapat jadwal bermain pertama. Kini hanya tinggal Devi dan Ednan. Bercanda-ria menikmati angin malam. Devi masih mencoba menghibur Ednan dari kesedihannya. Sahabat tidak hanya ada dalam kesenangan saja. Namun yang penting justru sahabatlah yang paling dibutuhkan saat kita sedang dalam kesedihan.
“Udah malam, Nan. Pulang yuk.” ajak Devi pada Ednan.
“Ehh, kamu duluan aja Dev. Aku masih pengen disini.” Ednan mencoba menutup-nutupi.
“Beneran masih pengen disini? Yaudah kalau begitu. Aku duluan ya, Nan.” sebelum Devi pergi, ia selalu mencubit pipi Ednan. Kemudian ia berjalanan meninggalkan Ednan.
“Aduhh. Iya, hati-hati Dev. Makasih buat malam ini ya.” Ednan tersenyum pada Devi.
Kini hanya tinggal Ednan duduk sendiri menikmati secangkir kopi hangatnya. Ia tidak tahu harus bermalam dimana. Hanya trotoar yang ada dipikirannya. Untuk menginap dirumah teman, ia malu pada dirinya sendiri. Ednan harus menyelesaikan masalah pribadinya sendiri.
***
Selesai makan, Qika dan Athaya tidak langsung pulang. Qika masih menunggu Ednan dan teman-temannya tampil di panggung kecil itu. Tetapi sudah daritadi ia tidak melihatnya. Resah mencari-cari pria berambut panjang itu. Kepalanya menengok kesana-kemari. Namun hasilnya tetap nihil. Qika tidak menemukan Ednan. Mungkin karena ini malam minggu, pengunjung
Café Biru sangat ramai sehingga sulit untuk menemukan Ednan.
“Qik, ayo pulang. Udah kenyang nih, tinggal ngantuknya aja.” keluh Athaya pada Qika.
“Sebentar lagi deh. Tunggu.” Qika masih menengok-nengok mencari Ednan.
“Kamu nyari apa sih?” tanya Athaya.
“Nggg, ngga nyari apa-apa kok. Kamu udah ngantuk berat? Kamu pulang duluan aja bawa motor. Nanti aku nyusul deh. Aku masih pengen disini.” alibi Qika pada Athaya.
“Beneran Qik? Oke deh. Aku pulang dulu ya. Makasih makanannya Qika.” kemudian Athaya pergi meninggalkan Qika.
“Iya sama-sama. Hati-hati.” jawab Qika.
Masih mencari-cari pria berambut panjang. Qika yakin Ednan pasti berada di Café Biru. Malam semakin larut, pengunjung satu-persatu melangkahkan kaki keluar. Qika masih mencari-cari sembari menikmati secangkir kopinya. Tiba-tiba ia melihat sesosok pria berambut panjang duduk di pojokan dengan gitarnya. Wajahnya tidak terlalu kelihatan. Namun Qika yakin itu pasti Ednan. Dengan berani kemudian Qika menghampirinya.
“Hei, pria rambut panjang.” Panggil Qika dari belakang. Kemudian pria itu membalikkan tubuh. Memang benar itu adalah Ednan. Tetapi ada kesedihan di wajahnya. Tidak seperti Ednan yang ditemui Qika siang tadi.
“Hei. Kamu Qika kan? Sini duduk.” Ednan mempersilahkan duduk Qika disampingnya.
“Iya, makasih.” jawab Qika dengan malu-malu.
“Kamu udah tau namaku kenapa masih manggil ‘pria rambut panjang’? Hahaha.”
“Nama kamu Ednan kan? Aku masih ingat betul. Aku manggil kamu begitu untuk mengantisipasi. Soalnya tadi wajahmu tidak keliatan. Cuma rambut panjangmu aja. Hahaha.”
“Gimana kalau pas aku membalikkan ternyata bukan aku? Hahaha. Eh, betul kan?”
“Wah aku nggak bisa bayangin betapa malunya aku. Haha. Eh, Ednan kok kamu nggak main musik?” tanya Qika.
“Kamu pasti datang kesini agak malam ya? Aku mainnya dapat jadwal awal sekitar jam 19.00.” jawab Ednan.
“Terlambat nih aku. Hahaha. Ednan, kenapa kamu tadi keliatan sedih gitu?” tanya Qika penasaran. Ednan bingung, apakah harus menceritakannya pada Qika?
“Kamu pernah punya cita-cita tapi dilarang orangtuamu?” tanya Ednan balik.
“Belum pernah. Pasti sulit itu keadaannya.”
“Memang sulit. Sialnya, aku mengalaminya sekarang ini. Dari dulu ibuku melarang aku bermusik. Hingga tadi aku disuruhnya berhenti bermusik disini. Tetapi dengan halus aku menolaknya dan pergi dari rumah.” terang Ednan menunduk dengan membenahi rambut panjangnya itu.
“Aku tau keadaanmu, Nan. Kamu pergi dari rumah? Mau tidur dimana?” tanya Qika.
“Belum kepikiran itu, Qik. Mungkin tidur di trotoar.” jawab Ednan pasrah.
“Ya jangan dong. Kamu mau tidur di kontrakanku? Ada kamar kosong. Tapi kamu harus ijin sama dua temanku. Dan lagi, kamu jangan macam-macam.” ancam Qika dengan matanya melotot bercanda.
“Serius, Qik? Tenang, aku nggak bakal macam-macam kok.” jawab Ednan gembira.
“Kalau gitu pulang sekarang yuk. Udah malam. Mau disini sampai kapan? Hahaha.”
“Oke Qika.”
Kemudian mereka berdua berjalan pulang menuju kontrakan Qika. Ednan lega karena ia sudah mendapatkan tempat tinggal sementara untuk mengistirahatkan badan. Dalam hati Ednan sangat berterimakasih pada Qika karena dengan mudah Qika menaruh kepercayaan pada Ednan. Padahal mereka baru saja kenal.
“Kamu tunggu diluar sini dulu bentar.” Qika menyuruh Ednan untuk menunggunya diluar.
“Iya, Qik.” Ednan duduk di kursi depan pintu untuk menunggu Qika kembali. Qika masuk ke dalam untuk membangunkan dua temannya. Pertama, ia membangunkan Yola.
“Hei, Yol. Bangun bentar woi. Penting nih.” Qika menggoyang-goyangkan Yola yang sedang tertidur.
“Ehh. Emm. Ada apa sih? Ganggu orang tidur aja.” Yola terbangun.
“Udah, kamu bangun dulu aja terus ke ruang tamu. Aku tunggu.” Qika pergi meninggalkan Yola menuju kamar Athaya yang ada disamping kamar Yola.
“Sstt, Athaya. Bangun bentar dong. Penting nih.” sama seperti saat membangunkan Yola, Qika menggoyang-goyangkan badan Athaya hingga terbangun.
“Ada apa, Qik?” jawab Athaya lirih.
“Penting nih. Kamu cepet-cepet ke ruang tamu ya. Aku tunggu.” kemudian Qika pergi ke ruang tamu.
“Ada apaan sih Qik?” tanya Yola dan Athaya kompak.
“Begini, temenku yang namanya Ednan sedang ada masalah. Dia mau tidur disini di kamar yang kosong. Gimana? Cuma sementara kok.” jelas Qika pada mereka sambil meneguk air putih.
“Apaaaa?” jawab mereka kompak.
“Ssst. Hei, jangan keras-keras. Orangnya ada diluar.” Qika menyuruh mereka diam.
“Mana orangnya, Qik? Aku pengen liat.” tanya Yola pada Qika.
“Itu diluar orangnya.” Kemudian Yola membuka pintu. Didapati Ednan sedang duduk dan memberi senyum padanya. Yola kembali masuk ke dalam.
“Aduh, kalau yang ini suruh tidur di kamarku aja, Qik.” Qika tersedak air putih yang diminumnya.
“Ngawur kamu, Yol. Aku suruh dia masuk ya. Kita ngomongin ini bareng-bareng.” Qika menghampiri Ednan yang berada diluar dan menyuruhnya masuk.
“Begini Ednan, kami semua tidak keberatan kamu bermalam disini untuk sementara waktu. Tetapi kamu jangan macam-macam sama kita.” jelas Athaya pada Ednan.
“Tenang, aku nggak akan macam-macam sama kalian. Kalau perlu, besok aku akan membuat bisnis Macaroni Schotel kalian jadi semakin ramai.” Ednan menawarkan.
“Dengan cara?” tanya Qika dan Yola.
“Jika ada pelanggan yang memesan dua macaroni, aku dan Qika akan mengantarkannya. Sampai disana, aku akan menyanyikan sebuah lagu pada mereka dengan gitarku. Bagaimana?” jelas Ednan.
“Jenius! Tapi sebentar, kamu minta bayaran untuk itu?” tanya Athaya.
“Tidak. Tapi ijinkan aku tinggal disini untuk sementara waktu.” Ednan memohon.
Mereka bertiga berdiskusi dengan berbisik, akhirnya mereka memberikan ijin Ednan untuk tinggal di kontrakan mereka sementara waktu.
“Oke, Ednan. Kami setuju. Tapi sekali lagi ingat. Jangan pernah sekali-kali ada niatan untuk macam-macam dengan kami.” Qika memastikan.
“Beres, Qik.” Ednan meyakinkan mereka.
Walaupun sudah malam, tetapi mereka masih mengobrol untuk mengenal lebih dekat. Bercanda untuk saling menceritakan satu sama lain. Tak lupa Ednan menghibur mereka dengan keahliannya. Ednan menyanyikan beberapa lagu pada mereka dengan gitarnya hingga larut malam. Dari awal hingga akhir mata Qika dan Ednan selalu bertemu. Mungkin itulah yang disebut orang malu-malu.
Yola dan Athaya pamit untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh Qika. Sedangkan Ednan dan Qika masih berada di ruang tamu untuk mengoborol. Disatu kesempatan, Ednan menyanyikan sebuah lagu yang sedang menggambarkan isi hatinya. Tentang seorang wanita yang datang mengubah kesedihannya menjadi cinta. Yang tak lain wanita itu adalah orang yang sedang berhadapan dengan Ednan. Saat menyanyikannya, mata Ednan terus memandangi Qika dengan tersenyum. Qika hanya menundukkan kepala tersipu malu. Ednan berhenti memainkan gitarnya. Ia menaikkan kepala Qika yang tertunduk. Kemudian melepas kacamatanya.
“Eh, apaan sih, Nan?” dengan cepat Qika memakai kacamatanya kembali.
“Itu kacamata minus atau cuma buat gaya, Qik? Kalau cuma buat gaya mending dilepas aja. Kamu keliatan lebih cantik kalau nggak pake kacamata. Ya, walaupun dipakai juga cantik sih. Hahaha.” goda Ednan pada Qika.
“Eh, Ednan. Itu rambut kamu asli atau cuma wig? Kalau cuma wig mending dilepas aja. Kamu keliatan jelek kalau pake wig. Ya, walaupun dilepas tetap jelek sih. Hahaha.” balas Qika pada Ednan.
“Ah, sial. Hahaha.” Ednan mengusap rambut Qika.
“Udah malam, Nan. Aku mau tidur dulu. Itu kamar kamu disitu. Masih agak kotor, nanti kamu bersihin sendiri ya.” Qika menunjuk sebuah kamar yang ada di kanan mereka. Kemudian ia berjalan menuju kamarnya meninggalkan Ednan.
“Iya, Qik. Selamat tidur.” jawab Ednan. Kemudian Ednan membersihkan kamarnya dan tertidur pulas.
Dini hari kembali lagi. Semua sunyi tanpa terkecuali. Ketika cinta meniti sebuah jalan yang pasti, maka tidak ada lagi yang akan menghalangi. Cinta yang bersemi dari dalam hati, mengantarkan dini hari menuju esok pagi. Namun yang pasti, cinta sejati akan mendampingi mereka hingga tua nanti.
Hari pertama Ednan bangun dari tidurnya. Namun bukan terbangun di kamarnya sendiri. Ia baru sadar, sekarang ini ia sedang berada di kontrakan Qika. Selesai merapikan kasurnya, Ednan keluar kamar. Dilihatnya tidak ada orang diluar. Kemudian ia melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul enam pagi. Mungkin semuanya masih tertidur karena semalam. Ednan duduk di kursi ruang tamu. Kreekk….. terdengar suara pintu terbuka. Ternyata adalah Yola.
“Sudah bangun, Nan? Itu kalau kamu mau kopi bikin sendiri di dapur. Aku mau mandi dulu.” Yola menunjuk dapur lalu pergi ke kamar mandi.
Perfect! Batin Ednan. Kopi di pagi hari adalah kebiasaan Ednan. Dengan segera ia menuju ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Saat mengaduk kopinya, Ednan dikagetkan oleh Qika dari belakang.
“Hei, rambut panjang. Sudah bangun aja nih. Hehe.” Qika mengangetkan Ednan.
“Eh, Qik. Mau kopi? Aku buatin nih. Kamu tunggu aja di ruang tamu ya.”
“Makasih Ednan. Aku tunggu ya.” Qika pergi meninggalkan Ednan di dapur.
Pagi itu mereka mengopi dan berbincang-bincang di ruang tamu. Sembari menunggu pelanggan yang memesan macaroni. Biasanya di Minggu pagi seperti ini banyak sekali yang memesan macaroni mereka untuk sarapan. Tiba-tiba telfon rumah mereka berbunyi. Qika mengangkatnya.
“Halo, selamat pagi. Disini Macaroni Schotel. Ada yang bisa dibantu?” sapa Qika pada seseorang diseberang sana.
“Saya pesan dua Macaroni Pasta. Dikirim ke alamat Jl.Hanoman no.23 ya.”
“Kebetulan mbak, kami sedang ada promo kecil-kecilan. Kalau mbak pesen dua macaroni, nanti akan ada bonusnya. Tunggu ya mbak, kami akan segera antarkan.” Qika menutup telfonnya.
“Yolaaa. Athayaaa. Dua Macaroni Pasta cepet dibuat ya.” teriak Qika dari ruang tamu.
“Oh, jadi begitu sistemnya. Yola dan Athaya yang memasak, kamu yang mengantarkan?” tanya Ednan pada Qika.
“Iya, kurang lebih seperti itu….” sebelum menyelesaikan bicaranya, Ednan memotong omongan Qika.
“Atau jangan-jangan kamu tidak bisa memasak? Hahaha.” ejek Ednan pada Qika.
“Enak aja. Aku bisa memasak tapi cuma sedikit. Hehe.”
Dua Macaroni Pasta siap diantarkan. Ednan segera mengambil gitarnya dan mengantarkan pesanan bersama Qika. Mereka harus cepat, karena macaroni harus dalam keadaan hangat. Dengan diboncengkan Ednan, maka Qika yang membawa macaroninya. Akhirnya mereka sampai di alamat itu. Setelah Qika memberikan pesanan dan menerima bayaran dari pembeli, Ednan segera memainkan satu lagu dengan gitarnya. Dengan suaranya dan alunan gitar yang merdu, Ednan berhasil membuat pemesan pertama di Minggu pagi itu terpesona. Ditambah, Ednan mempunyai wajah yang tampan bagi kalangan wanita.
Sejak hari itu, angka pesanan macaroni mereka naik drastis. Tidak heran mayoritas pemesan adalah mahasiswi di kampus Qika dan Yola. Biasanya dua mahasiswi sengaja patungan untuk membeli dua macaroni agar mendapat bonus nyanyian dari Ednan. Namun Ednan dan Qika tidak hanya mengantarkan macaroni pada pembeli yang memesan dua macaroni. Hingga saat ini masih ada pembeli yang memesan satu macaroni.
Hari berganti hari, Ednan masih membantu usaha Qika dan temannya. Ednan juga masih tinggal di kontrakan Qika. Pada siang sampai sore hari Ednan membantu mengantarkan pesanan. Tapi saat malam hari Ednan pergi ke Café Biru untuk bermain musik bersama Devi, David dan Noa. Jika ia tidak pergi ke café, maka Ednan tidak akan mendapatkan uang. Pernah Qika dan temannya ingin menggaji Ednan karena telah menaikkan omset mereka. Tetapi dengan halus Ednan menolaknya. Karena sudah diijinakn tinggal di kontrakan mereka saja sudah cukup bagi Ednan.
Suatu hari saat Ednan dan Qika mengantarkan pesananan ke sebuah alamat, Qika kaget saat pemesan macaroni mereka keluar dari pintu rumah.
“Qika? Apa kabar?” sebelum Qika menjawab, Azka sudah memeluknya. Ednan kaget. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun saat dipeluk oleh Azka, Qika melihat wajah Ednan yang gelisah. Ada rasa bersalah bagi Qika.
“Jadi kamu ya penjual macaroni yang sedang hangat dibicarakan orang itu? Haha. Sini Qik masuk ke dalam.” ajak Azka dengan menarik tangan Qika. Tetapi Ednan hanya menunggu diluar duduk di kursi depan dengan memetik sembarang senar gitarnya. Pelan, bersuara, tapi tidak bernada. Lama Ednan menunggu. Samar-samar ia mendengar obrolan mereka kalau Azka masih cinta pada Qika dan akan terus mengejarnya. Ednan hanya diam dalam bisu. Ia tidak berhak berbuat apa-apa. Mengingat Ednan bukan siapa-siapa bagi Qika.
“Jangan lupa tanggal 24 Juni nanti datang ya. Hati-hati dijalan Qik.” Azka melambaikan tangan pada Qika. Kemudian Ednan dan Qika memacu motornya kembali ke kontrakan.
Selama perjalanan pulang yang biasanya diisi dengan canda tawa, kini mereka hanya diam tidak bicara. Ednan tidak berani membuka pembicaraan, tetapi Qika dengan berani mencoba mengajak Ednan bicara.
“Itu tadi mantan pacar aku. Azka namanya.” Qika membuka pembicaraan.
“Orang kayak kamu pernah punya pacar juga ya? Haha.” Ednan mencoba merubah suasana. Meskipun sebenarnya Qika tau apa yang Ednan pikirkan.
Semenjak kejadian itu, hubungan Ednan dan Qika menjadi renggang. Padahal sebelumnya mereka sangat dekat. Mengetahui ada seseorang yang masih mencintai Qika, Ednan mencoba menjauh darinya. Ia tidak mau menghancurkan perasaan Azka pada Qika. Namun sebaliknya, Qika merasa bersalah pada Ednan. Ia terus mendekati Ednan seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sikap Ednan telah berubah pada Qika. Tidak seperti dulu lagi.
23 Juni 2015
Pagi hari matahari kembali menyinari bumi. Ednan terbangun. Dia ingat betul hari ini hari apa. Tanggal 23 Juni ia harus mengisi acara ulang tahun saudara Lycan bersama Devi. Dia melirik jam dinding kamarnya. Masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pelan-pelan dia turun dari kasurnya. Pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian kembali lagi ke kamar untuk memberesi semua barang-barangnya. Dia sudah berniat untuk pergi dari kontrakan Qika. Bagi Ednan, kehadiran dirinya di kehidupan Qika justru akan menghancurkan perasaan Azka. Walaupun berat baginya untuk meninggalkan Qika. Seorang wanita yang dicintainya.
Ednan sudah berjanjian dengan Devi agar menjemputnya di depan kontrakan Qika. Ia mengendap-endap keluar dari kontrakan. Akhirnya berhasil keluar tanpa sepengetahuan Qika dan teman-temannya. Saat membuka pagar, sudah ada mobil Devi yang siap menjemputnya. Maafkan aku, Qik. Batin Ednan.
Perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Di dalam mobil Ednan bercerita tentang semuanya pada Devi sahabatnya. Malam nanti pintu rumah Devi terbuka lebar untuk Ednan bermalam. Orangtua Devi sudah kenal dekat dengan Ednan. Bahkan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.
Acara ulang tahun saudara Lycan sudah dimulai. Dengan lancar Devi menggesek biolanya. Begitupun dengan Ednan. Ia bernyanyi sambil memainkan gitarnya untuk menghibur anak muda teman-teman saudara Lycan. Semua orang terhibur dengan mereka berdua. Kebanyakan Ednan membawakan lagu yang sedang ngehits di kalangan anak muda jaman sekarang. Selesai acara mereka berdua pamit kepada Lycan.
“Lycan, kami berdua pamit pulang dulu. Sudah malam ini.” Devi berpamitan pada Lycan.
“Iya. Makasih Devi dan Ednan. Sudah datang di acara punya saudara. Hati-hati dijalan ya.” Kemudian Devi dan Ednan pergi meninggalkan Lycan. Untuk teman sendiri, Ednan tidak meminta Lycan untuk membayarnya.
***
Qika masih gelisah mencari Ednan. Dari pagi hingga malam ia tidak melihat pria berambut panjang itu. Yang ada dikepalanya adalah kenapa Ednan pergi meninggalkannya tanpa alasan seperti ini. Jika hanya karena masalah Azka kenapa ia tidak berterus terang? Qika masih menunggu Ednan kembali. Dia terduduk di kursi depan rumah. Hingga Yola dan Athaya merasa kasihan padanya.
“Qika, jika dilihat dari kamar Ednan mungkin dia tidak akan kembali. Semua barang sudah dikemasinya.” Yola mencoba menenangkan Qika.
“Bukan begitu Yola, kenapa Ednan pergi tanpa pamitan? Dia tidak mungkin pulang ke rumah. Dia pernah bercerita padaku sebelum dia masuk teve atau media cetak dia tidak akan pulang ke rumah. Sebelumnya aku juga baru ada masalah sama dia.” jelas Qika.
“Sudahlah, Qik. Masih ada kami disini.” Athaya memeluk Qika.
Malam-malam berlalu. Dewi malam hari ini berwarna seperti biru. Meniupkan angin akan rindu. Rindu yang semu ini akankah tertiup angin menuju doa penghulu?
Hanya menunggu yang bisa Qika lakukan selama ini. Menunggu pria berambut panjang kembali padanya. Tetapi waktu yang dibuangnya untuk menunggu Ednan kembali tidak membuahkan hasil. Akhirnya karena lelah menunggu, hari ini Qika pergi ke
Café Biru. Siapa tau ia dapat bertemu dengan Ednan. Hari itu Café Biru tidak begitu ramai. Mudah bagi Qika untuk menemukan seseorang. Betul apa yang dipikirnya, ia melihat seorang pria berambut panjang sedang bercanda dengan seorang wanita. Perlahan Qika menghampirinya.
“Ednannn.” panggil Qika. Benar pria itu adalah Ednan. Kemudian Ednan berdiri menghampiri Qika.
“Qika? Kenapa kamu disini?” tanya Ednan.
“Kenapa? Aku sudah menunggu kamu berhari-hari. Hari ini aku mencoba mencarimu Ednan. Tapi apa? Kamu malah bertanya kenapa aku disini?” Qika mendorong pelan tubuh Ednan. Ednan hanya diam.
“Kamu pergi begitu saja tanpa berpamitan. Dan sekarang kamu disini sudah membawa wanita lain? Ingat ini Ednan, aku dan Azka sudah tidak ada lagi hubungan apa-apa. Kamu tidak bisa pergi begitu saja dariku Ednan. Aku mencintaimu.” kali ini dorongan Qika pada tubuh Ednan semakin keras. Dan lagi, air matanya kini menetes.
“Dengar Qika. Aku tidak mau melukai perasaan Azka. Dia masih mencintaimu. Kalau kamu bilang kamu cinta padaku, aku juga. Soal wanita itu, itu adalah Devi sahabatku.” jelas Ednan pada Qika dengan memegang kedua bahunya.
“Jadi kamu meninggalkan seseorang yang kamu cintai begitu saja? Kalau benar-benar cinta aku, kamu tidak melakukan ini, Ednan.” Qika melepaskan tangan Ednan dari bahunya. Ia berlari pergi. Ednan tidak mengejarnya. Kata-kata barusan yang diomongkan Qika padanya benar-benar membuat Ednan merasa bersalah. Ia gegabah telah melakukan hal yang bodoh. Seperti tertiup angin, Qika hanya pergi begitu saja.
“Ada apa Ednan?” tanya Devi pada Ednan. Tapi Ednan hanya diam saja. Devi tau apa yang sedang dirasakan Ednan. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan memeluk sahabatnya itu.
Semuanya sudah berlalu. Pergi begitu saja tanpa mengucapkan rindu. Tubuh yang sudah tidak ada lagi disini, tetapi perasaan mereka berdua masih menyatu. Hanya pada Devi, Ednan sekarang bergantung. Kini sudah genap seminggu ia tinggal dirumah Devi. Ada sedikit rasa malu karena selalu merepotkan orang lain. Mau kembali ke rumah juga tidak mungkin, karena Ednan belum bisa membuktikan kepada ibunya kalau musik itu tidak selalu buruk.
Di esok pagi, ada wanita separuh baya datang ke rumah Devi dengan membawa selembar koran. Devi segera memanggil Ednan karena wanita itu adalah Ibu Ednan. Ednan pada awalnya kaget kenapa ibunya datang mencarinya. Kemudian ia menemui ibunya.
“Ednann. Ibu rindu sekali padamu, Nak.” Ibu Ednan memeluk Ednan sangat erat.
“Ednan juga kangen sama mamah.” ucapnya.
“Kamu berhasil, Nan. Tadi pagi ibu membaca koran. Ibu kaget, ada wajahmu di salah satu berita.” Ibu Ednan membuka koran yang dibawanya.
“Berita apa, mah?” Ednan melihat salah satu gambar yang ditunjuk ibunya. Memang benar disitu ada wajahnya, tetapi difoto itu ada Qika juga. Judul berita itu membuat Ednan kaget.
“Unik. Jika anda memesan dua macaroni, maka akan diantarkan tanpa ongkos kirim dan akan dinyanyikan sebuah lagu oleh penjualnya.” Dibawah berita itu ada foto Ednan bersama dengan Qika sedang mengantarkan pesanan. Seketika membuat Ednan rindu pada Qika. Wanita yang dulu dicintainya. Sekarangpun juga masih sama.
Kemudian Ibu Ednan dan Ednan berterimakasih banyak kepada keluarga Devi karena telah mengizinkan Ednan untuk tinggal beberapa waktu.
“Terimakasih buat semuanya, Dev.” Ednan memeluk Devi erat.
“Sama-sama Ednan.” Devi melepaskan pelukan Ednan dan tidak lupa mencubit pipinya pelan.
Semua kembali normal. Ednan kembali lagi kerumahnya. Dan sekarang tidak ada lagi beban karena ibunya sudah memberinya izin untuk serius dalam mendalami dunia musik. Ednan kaget ketika ibunya bertanya padanya.
“Ednan, siapa wanita yang bersamamu itu?” tanya Ibu Ednan. Ednan tidak tau harus menjawab apa. Akhirnya dengan menghela nafas ia menjawab.
“Dia wanita hebat yang telah mengajarkan Ednan banyak hal, Mah.” jawab Ednan dengan bangga pada ibunya.
“Besok ajak dia kemari, Nan. Mamah pengen ketemu sama dia.” pinta ibunya pada Ednan. Ednan bingung bagaimana caranya. Untuk bertemu saja Ednan malu. Akhirnya dia mempuyai ide untuk membawa Qika kerumahnya.
***
Masih seperti biasa, Qika sibuk dengan pesanan yang harus diantarkan. Awalnya para pelanggan protes karena sekarang sudah tidak ada lagi bonus yang diberikan Ednan. Namun usaha mereka tetap ramai. Yola dan Athaya masih sibuk di dapur. Sedangkan Qika sibuk mengantarkan pesanan kesana-kemari.
“Halo, selamat sore. Disini Macaroni Schotel. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Qika pada seseorang diseberang sana.
“Saya pesan Macaroni Hot diantarkan ke alamat Jl.Manggis 9 no.85. Jangan lupa, harus masih dalam keadaan hangat ya.” kemudian telfon itu ditutup. Qika berpikir sejenak. Sepertinya alamat itu tidak asing lagi baginya. Tetapi pesanan harus diantarkan.
“Yolaaaa. Macaroni Hot satu. Cepet yaa.” teriak Qika.
Setelah selesai, Qika mengantarkan pesanan ke alamat tadi. Dengan pelan ia menuju ke alamat itu. Ketika hampir sampai, ia ingat alamat itu adalah rumah Ednan. Tetapi saat ditelfon tadi suaranya adalah suara wanita. Qika bingung. Dia ingin segera putar balik dan kembali lagi ke kontrakan. Tapi dia takut reputasi usahanya menjadi jelek karena dia. Akhirnya dengan berani dia tetap menuju ke rumah itu.
“Selamat sore. Macaroni Hot sudah sampai.” teriak Qika dari luar sambil mengetuk pintu. Selang beberapa detik keluar wanita setengah baya. Yang tidak lain adalah Ibu Ednan.
“Memang betul cantik seperti difoto.” tutur Ibu Ednan pada Qika.
“Maaf bu, foto apa ya?” tanya Qika. Kemudian Ibu Ednan menunjukkan koran yang dibacanya kemarin. Qika kaget tidak percaya. Ada foto dirinya bersama Ednan. Dia berpikir, jika ada Ednan di koran itu, berarti sekarang ini Ednan berada dirumah. Memang betul, kemudian dari belakang keluar pria berambut panjang. Ednan.
“Ednan?” sapa Qika.
“Hei, Qika. Mah, ini dia wanita itu.” sapa Ednan pada Qika. Kemudian ia memperkenalkannya pada ibunya.
EPILOG
Tempat itu ramai sekali. Banyak sekali pengunjung yang datang dan pergi. Ednan dan Qika duduk bersantai menikmati dua gelas es tehnya. Begitupun dengan Yola dan Athaya. Kini usaha Macaroni Schotel mereka sudah berkembang pesat. Yang dulunya Qika mengantarkan pesanan pada pembeli, sekarang justru pembelinya yang datang ke tempat ini. Ibu Ednan telah memberikan modal pada mereka. Dengan jerih payah, akhirnya mereka berempat telah berhasil membangun café
Macaroni Schotel yang dilengkapi dengan live acoustic. Semacam
Café Biru namun khusus menyediakan berbagai makanan macaroni.
Yola dan Athaya tidak perlu lagi memasak. Kini mereka telah mempunyai banyak karyawan. Tetapi tidak dengan Ednan, saat malam hari ia tetap bermusik bersama temannya disini. Sekedar untuk menghibur pengunjung yang datang. Tentang hubungan Qika dan Ednan, mereka sudah resmi berpacaran selama dua tahun ini. Dan mungkin beberapa bulan lagi mereka akan mendapatkan doa dari penghulu. Diatas panggung kecil mereka terdapat tulisan “Alunan Musik Macaroni Schotel.”
***