Friday, December 11, 2015

Untuk Terkasih

    Untuk terkasih, tetaplah pada pendirianmu.
    Jangan kau telan mentah-mentah omongan orang tentang buruknya diriku. Nilailah dari apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu dengar. Saat ini aku benar-benar butuh kedewasaanmu itu. Kedewasaan yang menumbuhkan rasa itu lagi. Kedewasaan yang membuatku berpandangan beda tentangmu.

    Untuk terkasih, peganglah erat atau lepaskan.
    Buanglah ragu yang selalu menyertaimu itu. Keraguan yang menciptakan kebingungan diriku. Buat apa ragu jika aku sudah menunjukkan semuanya? Buanglah. Percayalah. Kasih, dia akan rapuh jikalau kau memegangnya dengan ragu. Aku tahu, aku paham. Kau lebih memilih kata ‘ragu’ daripada sekadar kata ‘tidak’ untuk tidak menyakitiku. Terimakasih.

    Untuk terkasih, ada batas-batas tertentu.
    Kasih, usia itu berbatas. Wilayah juga berbatas. Begitu pun dengan perjuangan. Ada saatnya dimana seseorang terus berjuang atau berhenti berjuang. Terus berjuang karena seseorang itu mendapatkan respon balik atau hasil dari perjuangannya. Berhenti berjuang karena seseorang itu mendapatkan keraguan dari perjuangannya. Lucu, bukan?

    Untuk terkasih, apakah kau masih ada disana?
    Kasih, aku mendapati kau berbeda. Mungkinkah kau masih belum bisa bersemayam di rengkuhanku? Mungkinkah kau masih belum bisa lari dari seseorang yang sebelumnya sudah membuatmu nyaman? Kasih, aku sudah mencoba menerka-nerka apa yang ada dipikirmu. Alhasil, nihil. Aku benci dengan kemisteriusan ini.

    Untuk terkasih, terimakasih.
    Bukan sekadar melontarkan kata terimakasih kemudian pergi. Bukan. Tetapi terimakasih karena kau sudah ada. Terimakasih karena sudah membuatku berjuang. Kasih, aku akan terus mencoba.


Baca Selengkapnya >>>

Saturday, August 22, 2015

Salah

    Aku salah terlalu mencintaimu. Hingga semua waktuku selalu aku prioritaskan untukmu, bukan untuk-Nya. Kini, sholatku seperti senam jasmani. Cepat sekali. Tidak lagi khusyuk seperti dulu. Selesai sholat, segera kulipat sarung dan sajadahku. Dengan segera aku berlari untuk membalas pesan darimu. Tak ada waktu lagi untukku mengucap doa kepada-Nya.
   
    Aku salah terlalu memikirkanmu. Tidak lagi memikirkan perintah dan larangan-Nya. Dulu, aku selalu melaksanakan kewajibanku. Tetapi, ketika aku bertemu denganmu dan jatuh cinta padamu, aku lalai dengan semua kewajibanku. Bahkan, aku pernah melanggar larangannya. Dan aku bilang itu adalah sebuah kekhilafan. Padahal, itu semua karena aku terlalu memikirkanmu.
  
    Aku salah terlalu memujamu. Kini, langkahku terasa berat sekali untuk pergi ke masjid. Jemariku jarang sekali bernari-nari di atas tasbih. Mulutku tak pernah lagi berucap membaca kitab-Nya. Aku tak pernah merasa lapar lagi di hari Senin dan Kamis. Bahkan, kemarin aku diberitahu temanku. Katanya, kotak amal di masjid sangat merindukanku. Ah, aku kecewa terlalu memujamu.

“Lantas, sekarang bagaimana?”  tanyamu padaku.
   
    Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap mencintaimu seperti selama ini. Tetapi, coba pahamilah. Aku mencintaimu, tetapi aku lebih mencintai-Nya. Aku memang selalu memikirkanmu, tetapi aku lebih memikirkan-Nya. Bahkan, aku pernah memujamu. Tetapi, aku salah. Aku harus beriman kepada-Nya. Aku senang aku sudah tersadar. Mulai sekarang aku sudah berbeda dengan yang dulu. Maaf, jika sekarang waktuku hanya sedikit untukmu, kekasihku.
Baca Selengkapnya >>>

Monday, August 3, 2015

Pagi Ini Sedikit Hangat

    Pagi ini sedikit hangat. Selesai sholat subuh tadi, aku merasakan ada yang berbeda di pagi ini. Biasanya, selesai mengambil air wudhu, angin pagi berhembus menyapu bagian tubuhku yang terkena air wudhu. Terasa dingin sekali. Pagi ini berbeda, angin pagi ini berhembus membawa sebuah kerinduan. Bukan rindu berupa kata. Tetapi membawakan rindu berupa kehangatan.
    Pagi ini sedikit hangat. Biasanya aku enggan berangkat ke sekolah karena dingin di pagi hari. Tetapi, pagi ini berbeda. Aku tak perlu lagi melingkarkan kedua tangan di tubuhku untuk menahan dingin. Angin pagi ini sudah melakukan hal yang semestinya kulakukan. Memberi hangat pada tubuhku. Mungkin ini rindu dari seseorang.
    Pagi ini sedikit hangat. Lama aku berpikir kenapa pagi ini terasa hangat. Dari siapa angin pagi ini membawa sebuah kerinduan. Ternyata itu adalah dirimu. Dirimu yang telah pergi sebulan lalu meninggalkanku. Meninggalkan semua orang. Baru tiga puluh hari kita berpisah, kau sudah merindu padaku?
    Pagi ini sedikit hangat. Aku jadi teringat, pagi itu ketika kita berdua berteduh di sebuah gubuk kecil di tengah sawah, berlindung dari hujan deras yang turun di pagi hari. Saat itu kau lalai, kupu-kupu hasil tangkapan kita yang kau simpan di sebuah plastik kecil yang kau genggam tak sengaja terlepas. Padahal, semua kupu-kupu itu adalah tujuan kita datang kesini.
    Pagi ini sedikit hangat. Bukan hanya dirimu saja yang rindu. Kala kepergianmu, hampir setiap menit ada bayang tawamu di kepalaku. Aku merindu setiap saat kepadamu. Kau menyampaikan rindumu padaku melalui kehangatan di pagi ini. Aku menyampaikan rinduku padamu melalui doa-doaku dengan menyebut namamu. Walaupun ragamu sudah tiada di dunia ini, aku tidak akan pernah sekali pun untuk melupakanmu. Semua tentang dirimu masih ada di dalam benakku. Karena, aku masih mencintaimu disini.

    Terimakasih sudah memberiku kehangatan di pagi ini.
Baca Selengkapnya >>>

Friday, July 24, 2015

Candik Ayu

    “Awwww.” jerit Nicholas lirih dilanjutkan dengan menggigit kecil bibirnya sendiri. Tepat dibelakang tubuh tengkurapnya ada seorang pria yang sedang sibuk menancapkan jarum-jarum kecil pada punggung Nicholas. Ini kali kedua Nicholas membuat tatto ditubuhnya. Tempo hari ia datang kesini untuk membuat tatto di kedua lengannya dan gambar love kecil dijari kelingkingnya. Tak perlu khawatir bagi Nicholas untuk mencari pekerjaan dengan tatto yang ada ditubuhnya. Ia memiliki sebuah distro ternama di kota Solo. Hanya dengan mengontrol pegawai-pegawainya dan duduk santai di rumah, Nicholas menerima uang setiap harinya. Dengan uang itu Nicholas bisa bersenang-senang dan menjalani rutinitasnya. “Sudah selesai bos Nicho.” ucap tukang tatto itu yang sekaligus melegakan Nicholas karena ia tak harus menggigit bibirnya lagi. Tukang tatto itu meninggalkan Nicholas dan kembali dengan membawa sebuah kaca besar. Kemudian Nicholas membalikkan tubuh dan kepalanya menengok kebelakang untuk melihat hasil tatto dipunggungnya. “Sesuai harapan.” ucap Nicholas tersenyum pada tukang tatto tersebut. Setelah membayar ia segera memacu motor 250 ccnya menelusuri jalan menuju distro miliknya yang berada sedikit jauh dari tempat itu.
    
    “Selamat siang, rik.” sapa Nicholas pada salah satu pegawainyanya yang sedang bekerja. “Oh, hei, siang juga, Nicho.” jawab Erik singkat. Nicholas sudah membuat perjanjian kepada seluruh pegawainya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan “bos” karena menurutnya semuanya adalah sama. Tidak memandang jabatan dan tidak memandang semua perbedaan. Walaupun Nicholas adalah bos disitu, namun ketika ia berkunjung untuk mengontrol pegawainya, seolah-olah ia juga pegawai di tempat itu. Nicholas juga melayani pengunjung yang datang dengan sangat ramah. Namun dibalik kebaikan hatinya, Nicholas mempunyai sifat yang sangat dibenci oleh kalangan wanita. Yap, genit. Setiap ada pengunjung yang cantik, Nicholas cepat-cepat mengambil topi dagangannya dan memakainya agar terlihat keren di depan wanita itu. Tetapi tidak sedikit wanita yang tertarik dengan Nicho saat digodanya. Karena dibalik sifatnya yang genit pada wanita, Nicho mempunyai paras wajah yang sangat tampan. Hidungnya yang setinggi Gunung Krakatau dan kumis tipisnya melengkapi ketampanan Nicho. Ditambah dengan jambangnya yang seperti artis Hollywood, membuat setiap wanita luluh dengannya. Meskipun Nicho dikenal hanya sebagai pegawai saja di distronya.
 
    “Nichoo.” panggil Erik mengagetkan Nicholas. Tiba-tiba Erik sudah berada dibelakangnya. “Ada apa, Rik?” tanya Nicholas. Namun Erik tidak menjawab. Ia hanya diam tetapi matanya berkedip mengisyaratkan ada sesuatu dibelakang Nicholas. Saat itu juga Nicholas membalikkan badan. Didapatinya ada seorang wanita cantik. Kemudian ia membalikkan badan lagi menghadap Erik. Nicholas tersenyum padanya. “Makasih men.” Saat Nicholas hendak pergi menghampiri wanita itu tiba-tiba Erik menghentikan langkahnya. Erik mengambil topi disampingnya dan mengenakannya pada Nicholas. Kemudian ia merapikan pakaian bosnya itu dan menepuk bahunya. “Good luck bos.” Nicholas hanya tersenyum kemudian pergi menghampiri wanita itu.
 
    “Kalau mau dicoba dulu bisa, kamar pas ada disebelah barat.” Nicholas membuka pembicaraan dengan berkedok sebagai pegawai. “Oh, enggak mas, saya mau lihat-lihat dulu.” jawab wanita itu tersenyum kemudian pergi meninggalkan Nicholas. Tetapi Nicholas tidak berhenti begitu saja, dikejarnya wanita itu sampai dapat. Atau setidaknya bisa mendapatkan nomor telponnya. “Mbak mau cari celana, baju, atau mungkin rok? Kalau baju ada di sebelah sana. Diskon 50% untuk pembelian diatas 250 ribu.” Sebelum wanita itu berbicara, Nicholas sudah membuka mulutnya lagi. “Kalau celana ada di sebelah timur mbak, kebetulan kemarin datang stock yang baru. Bisa dilihat-lihat dulu. Mari saya antar.” Wanita itu hanya menggelengkan kepala dan mengikuti Nicholas. “Silahkan dipilih dulu mbak, kalau ada yang cocok bisa dicoba di kamar pas.” Nicholas tersenyum. Setelah menunggu lama akhirnya wanita itu memilih sebuah celana berwarna cokelat. Dengan segera Nicholas berlari menuju kasir. “Sorry, ndre. Biar gue aja yang melayani pembeli satu ini.” Andre hanya tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Nicholas. “Ini mas.” Wanita itu memberikan celana yang dipilihnya tadi dan sejumlah uang. “Iya mbak, tunggu sebentar ya.” Nicholas lagi-lagi menunjukkan senyum manisnya pada wanita itu. “Ini mbak barangnya. Oh iya, kebetulan distro kami sedang mengadakan undian berhadiah motor bagi pembeli yang beruntung. Kalau berminat silahkan isi nama dan nomor telepon di kupon ini mbak.” Nicholas memberikan selembar kupon kecil dan sebuah bolpen. Wanita itu segera mengisinya. “Terimakasih mas.” Wanita itu tersenyum dan pergi meninggalkan Nicholas. Dilihatnya kupon yang berada di tangannya. Tercantun sebuah nama yang indah. Eva Diana. Nicholas cengar-cengir memandangi kupon itu. Dengan segera dicatatnya nomor telepon yang tercantum di kupon tersebut.
 
    “Nichoo Nichoo.” panggil Erik yang berdiri di dekat pintu keluar dengan suara lirih. Nicholas segera menghampirinya. “Ya?” jawab Nicho singkat dengan masih cengar-cengir. Erik menunjuk seorang perempuan diluar. Saat Nicholas melihatnya, tiba-tiba wajahnya yang tadinya penuh keceriaan dengan sekejap berubah menjadi murung. Wanita yang bernama Eva Diana tadi sedang berboncengan dengan pacarnya meninggalkan distro Nicho. Wajah Nicho bertambah murung ketika wanita itu mendapati Nicho sedang memperhatikannya dan ia tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Nicho. “Anda belum beruntung bos.” Erik menepuk pundak Nicho dan mengambil topi yang dikenakannya kemudian meletakkannya pada tempat asalnya. “Kenapa harus begini ya, rik?” tanya Nicho pada Erik dengan masih memandangi wanita itu pergi. “Percayalah bos, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah.” jawab Erik bijaksana. “Perasaan dari tadi lo manggil gue bos terus. Tapi inget ya, kalo cuma berdua lo gapapa panggil gue bos, tapi kalo di depan pegawai yang lain dan pengunjung, lo harus manggil gue Nicho. Oke?” “Siap bos!” Erik berdiri tegak dan memberi hormat pada Nicho. Kemudian ia berlalu meninggalkan Nicho untuk melanjutkan pekerjaannya.
 
    “Nitaaa Nitaaa.” Nicho memanggil salah seorang pegawai wanitanya yang sangat gemar tatto. “Iya, ada apa Nicho?” jawab Nita yang sudah berada disampingnya. Tanpa mengucap kata, Nicho langsung menggandeng tangan Nita dan membawanya ke sebuah ruangan di belakang. Setelah memasuki ruangan, Nicho mengunci pintunya. “Eh, mau ngapain Nicho?” tanya Nita bingung. Tanpa basa-basi Nicho dengan gesit membuka baju dan memamerkan tatto baru yang ada dipunggungnya. “Wahh, serius keren banget bos. Tapi sayangnya ada dipunggung. Orang-orang nggak bisa liat dong.” ucap Nita agak kecewa. “Bodo amat, Nit. Yang penting keren kan?” Nicho tersenyum. “Anu bos, sebenarnya Nita juga punya tatto baru.” jawab Nita lirih. “Serius? Mana coba liat.” Nicho penasaran. Tiba-tiba Nita hendak membuka bajunya. Nicho dengan cepat mencegahnya. “Ngapain kamu?” tanya Nicho bingung. “Katanya mau liat tatto Nita yang baru?” “Oalah... hah!?! Lo mau ngasih liat tatto lo ke gue? Gila lu! Kirain tatto-nya ada di tangan atau kaki. Udah nggak usah Nit.” bentak Nicho tidak percaya. Nita hanya tersenyum melihat ekspresi wajah bosnya yang lucu itu. Nicho segera mengenakan bajunya kembali dan pergi meninggalkan Nita. Saat berjalan, kepalanya bergeleng-geleng tidak percaya. Sejak saat itu Nicho tersadar, ternyata bukan hanya laki-laki saja yang mempunyai sifat genit.
 
    Pukul 16.30, Nicho berpamitan kepada seluruh pegawainya pulang ke rumah untuk sekedar melepas penat seharian. Yang pertama adalah masalah wanita yang ternyata sudah punya pasangan tadi dan yang kedua adalah soal Nita. “Rik, gue duluan dulu ya.” Nicho berpamitan pada pegawai favoritnya itu. “Siap bos. Naik motornya pelan-pelan aja, siapa tahu jodohnya ada di pinggir jalan.” goda Erik pada bosnya. Nicho hanya tersenyum dan melambaikan tangannya pada Erik.

***
   
     “Mbok Summ.” panggil Nicho pada pembantunya. “Iya den, ada apa?” “Si Tongki sudah dikasih makan?” tanya Nicho khawatir pada Tongki, hewan peliharaannya. Sejak kecil Nicho sangat suka hewan reptil. Terutama musang. Ia mempunyai cita-cita jika sudah besar nanti ingin memelihara seekor musang. Tetapi bukan musang pandan atau musang bulan yang biasa dipelihara oleh pecinta musang, melainkan ia ingin memelihara musang binturong yang statusnya kini adalah dilindungi negara. Tetapi Nicho bersikeras untuk bisa mendapatkan ijin memelihara hewan itu. Hingga akhirnya setelah mendapatkan ijin, Nicho membeli bayi binturong pada seorang seller dengan harga yang tidak murah. Tepat kemarin, Tongki sudah berumur dua tahun. Tongki dibebaskan di sekitar rumah layaknya seekor kucing. Kemungkinan Tongki hilang atau keluar rumah adalah nol. Karena Nicho sudah membesarkannya dari bayi. “Oke, makasih mbok.” Nicho memberikan senyum ramahnya pada Mbok Sum. “Sama-sama den.” kemudian Mbok Sum berlalu meninggalkan Nicho.
    
    “Tongkiiiiiii...” teriak Nicho memanggil Tongki. Tidak lama kemudian muncul seekor musang berlari dari lantai atas menuju ke arah Nicho berdiri. Tongki dengan gesit memanjat tubuh Nicho dan sekarang sudah berada di bahunya mengendus-endus telinga Nicho. Digendongnya Tongki menuju kamarnya untuk sekedar menghabiskan waktu bermain dengannya. Tidak lupa Nicho juga memberinya susu. Lelah bermain akhirnya mereka berdua tertidur.

***
    Hari-hari berlalu, Nicho masih seperti biasa menjalani rutinitasnya. Siang itu ia kembali ke distronya untuk mengecek sekaligus mencari mangsa. Didapati ada Nita yang sedang melayani pembeli. Nicho ingin menyapanya tetapi canggung karena kejadian tempo hari. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapanya. “Siang Nita.” Nicho melempar senyum padanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Siang juga Nicho.” jawab Nita dengan senyum yang berbeda. Senyum genit. Nicho dengan segera menambah kecepatan berjalannya agar cepat berlalu meninggalkan Nita. Sejak saat itu, menggoda Nicho sudah menjadi hobi Nita.
    
    Nicho berjalan melihat barang-barang dagangannya sendiri sekaligus melayani pembeli. Saat berjalan tiba-tiba ia dikagetkan oleh seorang wanita. “Mas, baju ini ada yang ukurannya M?” “Oh, pasti ada dong, kami punya stock yang ba...” belum selesai bicara, Nicho yang sudah membalikkan badannya dan langsung menatap mata wanita itu, dia hanya terbengong tidak melanjutkan ucapannya tadi. Seorang gadis berkulit putih dengan wajah yang sangat manis sedang berdiri di hadapannya. Ditambah dengan rambutnya yang dikucir ekor kuda membuat semua pria bisa jatuh cinta padanya dalam 5 detik. “Halo, mas? Kok malah bengong?” Wanita itu bingung dan tangannya melambai didepan mata Nicho yang masih terbengong. “Oh, ya mbak, ada yang bisa saya bantu?” Nicho tersadar dari lamunannya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengulangi pertanyaannya. “Baju ini ada yang ukurannya M?” “Oh, ada kok, sebentar saya ambilkan dulu. Mbak tunggu disini dulu ya.” Nicho pergi mengambilkan baju berukuran M untuk wanita itu. Setelah mendapatkan baju yang berukuran M, Nicho tidak langsung kembali pada wanita itu. “Eriikk Eriik.” panggil Nicho lirih pada Erik dari balik gudang. Dengan segera Erik menghampirinya. “Ada apa bos?” Nicho tidak menjawab, namun matanya berkedip mengisyaratkan  sesuatu. “Apa saya bilang bos, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah kan?” Nicho hanya tersenyum dan segera beranjak menghampiri wanita tadi. “Bos..” panggil Erik yang membuat Nicho kembali lagi. “Ada apa lagi sih?” tanya Nicho dengan nada suara agak tinggi. “Ehm, anu, bos keberatan nggak kalo saya aja yang kencan sama dia?” “Oh, tentu saja gue nggak keberatan Rik, tapi lo keberatan nggak kalo gue pecat?” Erik hanya diam dan kepalanya menunduk. “Bercanda Rik, yang ini jodoh gue, lo jangan macem-macem.” Nicho menepuk pundak Erik dan segera berlalu menghampiri wanita tadi. “Siap bos.” jawab Erik mantab.
    
    “Maaf mbak nunggu lama, ini yang ukuran M. Bisa dicoba dulu, kamar pas ada di sebelah barat.” ucap Nicho sembari memberikan celana cokelat pesanan wanita itu. Tentu saja Nicho tidak lupa memberikan senyum manisnya. Tanpa mengucap kata wanita itu segera pergi ke kamar pas. Nicho menunggu agak jauh dari situ. Setelah wanita itu keluar, Nicho segera menghampirinya. “Kasir ada di sebelah utara.” Nicho menunjuk ke arah kasir. Namun wanita itu tidak segera pergi. Ia malah tersenyum memandangi tingkah Nicho. “Kok malah senyum mbak? Tidak jadi beli yang itu? Silahkan pilih-pilih lagi.” Nicho kebingungan. “Oh, jadi kok. Cuma sekarang saya sudah tahu.” Wanita itu tersenyum lagi. “Tahu apa mbak?” Nicho semakin bingung. “Sebelum kesini, teman saya menyuruh saya untuk hati-hati karena ada salah satu pegawai yang genit.” Wanita itu tidak berhenti untuk tersenyum. Jedyarr. Jantung Nicho berdegup kencang. Ia tidak percaya dirinya dicap genit oleh kalangan wanita yang pernah membeli di distronya. Ia hanya terdiam merasa bersalah. “Tapi kalau menurut saya mas ini nggak genit kok. Cuma temen-temen saya aja yang nggak bisa bedain mana cowok baik sama cowok genit.” lanjut wanita itu yang membuat hati Nicho seperti mendung yang tergantikan oleh pelangi. Nicho masih tidak pecaya wanita itu malah membela dirinya bukan membela temannya. Tanpa mengucap kata wanita itu pergi meninggalkan Nicho menuju kasir untuk membayar kemudian pergi. Nicho masih terdiam dengan senyumnya yang masih tidak percaya apa yang terjadi barusan. Akhirnya ia tersadar belum sempat menanyakan namanya dan nomor telponnya. Nicho berlari keluar mengejar wanita tadi. Namun sayang, wanita itu sudah tidak tampak lagi. Kepala Nicho tertunduk kecewa.
    
    “Kenapa kok murung gitu bos?” ucap Andre mengagetkan Nicho yang sedang duduk diam di kursi. Sebelum Nicho menjawab, tiba-tiba Andre memberikan selembar kupon yang tercantum nama Candik Ayu beserta nomor teleponnya. Dengan spontan Nicho berdiri dari duduk murungnya dan mencium pipi kanan dan kiri Andre. Andre hanya menggelengkan kepala dan muncul pemikiran untuk berhenti bekerja disitu karena dia tidak ingin mempunyai bos yang semi gay.
 
***
    Berjalan mondar-mandir di kamar dengan tangannya yang menggenggam ponsel. Nampaknya Nicho bingung untuk menelpon wanita yang bernama Candik Ayu itu atau tidak. Lama Nicho mondar-mandir hingga Tongki sudah terlelap di sofa. Akhirnya ia menghentikan langkahnya dan memutuskan untuk menelponnya malam ini. Nicho mengeluarkan kupon dikantongnya dan mencatat nomor telepon Ayu. Dengan masih sedikit takut akhirnya dia memencet tombol call. Tidak lama kemudian terdengar suara indah dari seberang. “Halo?” Nicho terlihat kegirangan mendengar suara Ayu. “Oh, hai. Selamat malam, Ayu.” jawab Nicho dengan suara yang terbata-bata. “Malam, dengan siapa disana?” Ayu kebingungan karena nomor itu tidak tersimpan di kontaknya. “Pria baik hati yang melayani pembelian celana warna cokelat.” Ayu tersenyum sejenak. “Oh, ternyata kupon itu bukan buat undian toh. Jadi, udah berapa cewek yang kamu telpon hari ini?” Nicho panik bagaimana menjelaskannya pada Ayu. “Oh tidakk, itu kuponnya tetap diundi kok. Berapa cewek? Tadi aja pas mau nelpon kamu, aku mikir berjam-jam lho.” “Oke, cukup jelas. Jadi, ada perlu apa kamu nelpon aku?” Ayu bertanya pada Nicho walaupun dia sendiri sudah tahu apa alasan Nicho menelpon dirinya. “Emm, bisa nggak kita ketemu lagi?” satu kalimat yang keluar dari mulut Nicho yang membuat hatinya berdebar-debar. “Hahaha, kalo aku jawab nggak pasti besok-besok kamu nelpon aku lagi sampai aku bilang iya kan? Oke, besok jam tujuh malam di Ngopi Serius. Aku tunggu disana ya pegawai genit.” Ayu memberikan jawaban yang tidak terpikirkan oleh Nicho. Nicho sangat gembira mendengar itu. “Oke Ayu. Aku pasti datang kesana. Makasih ya, selamat malam.” Nicho menutup telponnya kemudian ia melompat-lompat di kasur empuknya karena sangat senang.
 
***
    Siang hari saat Nicho ke distro miliknya, sifatnya berubah drastis. Saat ia berjalan, wajahnya seperti mengeluarkan cahaya yang menandakan kebahagiaan dalam dirinya. Semua pegawainnya ia sapa. Tak terkecuali Nita. “Selamat siang Pingkan.” “Selamat siang Nicho.” “Selamat siang Hendra.” “Siang Nicho.” langkahnya terhenti saat dia melihat Nita. Namun dia tidak berpikir panjang. “Selamat siang Nita sayang.” sapaan spesial dari Nicho dengan tangannya yang mencolek dagu Nita. “Waduh, hahaha. Siang juga Nicho.” kemudian ia berjalan lagi. “Selamat siang Erik.” “Wuihh, siang juga bos. Kayaknya ada yang beda nih.” Erik curiga. “Nanti malem, gue mau keluar sama cewek yang kemarin.” bisik Nicho pelan pada Erik. Erik hanya tersenyum. “Mantab bos.”
    
    Pukul lima sore Nicho sudah pulang ke rumah karena tidak sabar ingin segera bertemu dengan Ayu. Sesampai dirumah Nicho bermain sebentar dengan Tongki. Setelah itu ia membersihkan diri alias mandi. Yang biasanya cuma menghabiskan waktu sekitar lima menit, sekarang Nicho perlu mandi selama lima belas menit. Ia ingin terlihat perfectdimata Ayu. Selesai mandi ia segera menghidupkan motornya dan pergi menuju Ngopi Serius.
    
    Sedikit langkah menuju cinta yang cerah. Bukan cinta yang pecah karena amarah. Tidak perlu cinta yang mewah, karena percayalah cinta yang cerah lebih indah daripada cinta yang mewah. Jangan merasa bersalah dengan segala kekurangan, karena cinta adalah sebuah anugerah bukan musibah.
 
***
    Keramaian orang membuat Nicho kesusahan mencari Ayu. Ditengoknya ke arah kiri nampak ada sepasang kekasih yang sedang mengobrol serius. Mungkin mereka sedang membicarakan hubungan mereka ke jenjang selanjutnya. Ditengoknya ke arah kanan terlihat seorang pria duduk sendiri yang sedang memandangi kopinya yang masih utuh tidak berkurang. Seperti cintanya yang masih utuh belum tergores luka sedikitpun (jomblo). Nicho berjalan jauh kedepan memandangi semua orang yang berada disana. Seperti seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang. Atau lebih tepatnya seperti seorang pria yang sedang mencari belahan jiwanya. Keringatnya yang bercucuran tidak terbuang sia-sia, akhirnya Nicho melihat Ayu sedang duduk sendiri seperti orang gelisah yang sedang mencari seseorang yang tidak lain adalah Nicho. Dengan cepat Nicho segera menghampiri cintanya itu.
    
    “Mau pesan apa mbak?” goda Nicho pada Ayu. Sekilas Ayu nampak kaget, tapi setelah melihat wajah Nicho, kegelisahan di wajahnya perlahan hilang. “Saya mau pesan pegawai genit yang terlambat 15 menit di kencan pertamanya.” balas Ayu menyindir Nicho. Kemudian kedua nyawa itu tertawa lepas. Setelah bersalaman dan duduk berseberangan, mata Ayu dan Nicho saling menatap. Hening. Mereka tidak mengucap kata sedikitpun. Ayu yang sudah tidak tahan akhirnya mengeluarkan senyum manisnya. “Kenapa senyum?” tanya Nicho polos pada Ayu. “Aku nggak percaya kencan sama pria yang aku sendiri belum tahu namanya.” kemudian Ayu meminum kopi yang ada di depannya. Sebelum mengucap kata, Nicho juga meminum kopinya. “Nicholas.” Nicho mengulurkan tangannya pada Ayu. “Candik Ayu.” mereka berdua berjabat tangan.  Selesai melepas tangan Ayu yang halus itu, Nicho tertawa terbahak-bahak. “Serius kamu belum tahu namaku? Emangnya dulu aku nggak ngasih tahu kamu ya? Hahaha.” Nicho tidak percaya Ayu belum tahu namanya hingga sekarang ini. “Serius. Baru sekarang aku tahu nama kamu Nicholas. Hahaha. Jadi, kamu sudah berapa lama kerja disana?” tanya Ayu pada Nicho.
    
    Dua cangkir cappucino menjadi saksi bisu obrolan mereka. Membicarakan banyak hal tentang diri mereka masing-masing atau membicarakan berita-berita yang sedang panas seputar dunia selebriti. Setiap mereka mengganti topik pembicaraan, mata mereka selalu bertatap beberapa detik. Bukan tatapan biasa. Tatapan mata itu seolah-olah seperti ingin mengenal lebih jauh seseorang yang sedang ditatapnya. Setelah menyadari mata mereka saling bertatap, Nicho dan Ayu memalingkan wajahnya masing-masing dan meminum kopi yang ada di depan mereka.
    
    Namanya Candik Ayu, gadis berumur 24 tahun yang bulan lalu baru saja wisuda dan sekarang menyandang gelar sarjana ekonomi. Tinggal beberapa kilometer dari rumah Nicho. Terlahir dari keluarga yang sederhana, tidak seperti Nicho yang sukses karena diberi modal oleh orangtuanya. Semua seluk beluk Ayu sudah Nicho ketahui dari obrolan mereka malam ini di Ngopi Serius. Hanya tinggal satu hal yang belum Nicho lakukan. Membuat Ayu jatuh cinta padanya.
    
    “Yuk, aku antar pulang. Rumah kamu cuma daerah Jagalan kan? Deket kok.” Nicho menawari Ayu tumpangan sampai rumahnya. Dan yang pasti tidak ada maksud terselubung didalamnya karena Nicho tulus ingin mengantarkan Ayu ke rumahnya. “Kalau nggak ngerepotin sih gapapa Nicho.” “Alah, lebay kamu. Ya nggak ngerepotin lah. Yuk aku antar pulang.” mereka berdua berjalan keluar dari kafe itu menuju motor Nicho yang terparkir di sudut yang jauh dari keramaian.
    
     Menyusuri jalanan kota Solo yang sangat ramai, mengingat ini adalah sabtu malam dimana orang-orang keluar rumah untuk mencari kesenangan karena minggu mereka diisi dengan kesibukan. Malam itu bukan hanya lampu saja yang menyinari kota Solo, namun sang dewi malam dengan gagahnya ikut serta menyinari kota Solo dan menyinari setiap senyum penduduknya. Bulan malam ini tampak lebih bersinar daripada malam-malam biasanya. Mungkin bulan juga merestui cinta Nicho dan Ayu. Lengkap sudah indah malam itu.
    
    “Nanti setelah pertigaan belok ke gang kecil warna merah itu ya.” ucap Ayu pada Nicho sembari tangannya menunjuk sebuah gang didepannya. “Oke, Ayu.” jawab Nicho seakan paham apa yang dimaksudkan Ayu. Mereka berhenti di sebuah rumah yang memiliki pagar berwarna hitam dengan cat tembok yang berwarna hijau. Ayu turun dari motor Nicho. “Makasih tumpangannya Nicho.” “Sama-sama, Ayu. So, thanks for tonight ya.” Nicho melempar senyum pada Ayu. “Iya, Nicho. Malam ini asyik banget. Makasih ya.” Nicho mendapat balasan senyuman yang sangat manis dari Ayu. Kemudian Nicho menyalakan motornya dan siap untuk pergi. “Bye, Ayu. Nanti aku telpon ya.” Nicho melambaikan tangan pada Ayu dan kemudian pergi dengan meninggalkan suara knalpotnya yang terdengung di telinga Ayu.
 
***
    Sebelum terlelap, Ayu menunggu telpon dari Nicho yang sudah berjanji akan menelponnya sesampai di rumah. Lama ia menunggu tetapi tidak ada juga telpon dari Nicho. Mungkin dia sudah tidur karena kecapekan, batin Ayu. Ditariknya selimut menutupi tubuhnya. Matanya terpejam, tetapi bukan terlelap tidur. Ayu sedang berdoa agar tidurnya nyenyak dan berharap matanya bisa terbuka di esok pagi.
    
    “Kriiiiingg....kriinggg.” suara dari hp Ayu membangunkan tidurnya yang lelap. Dengan malas, dibukanya mata yang masih ngantuk itu dan segera bangkit untuk mengangkat telpon yang membangunkan Ayu dari tidur lelapnya. “Halo?” sapa Ayu dengan suara lemas. “Halo, Ayu. Selamat pagi. Maaf kemarin nggak jadi nelpon kamu karena kecapekan.” Mata Ayu yang awalnya masih mengantuk setelah mendengar suara Nicho langsung semangat mengawali harinya. “Oh, Nicho. Selamat pagi. Gapapa kok, kemarin aku juga langsung tidur. Udah dulu ya, aku mau mandi, hari ini mau pergi sama kakak.” “Eh, tunggu bentar. Emm, minggu depan bisa pergi lagi nggak? Aku ajak ke tempat yang indah jauh dari kota, mau?” tangan Nicho gemetaran mengharapkan kata “iya” dari Ayu. Lama tidak terdengar jawaban dari Ayu. Mungkin dia sedang berpikir. “Iya deh, tapi jemput aku dirumah ya.” “Oke, siap. Dah, Ayu.” Nicho menutup teleponnya.
    
    Ayu berjalan keluar kamar mencari kakak perempuannya yang hari ini mengajak dia pergi. Tetapi saat melihat jam dinding di ruang tamu, Ayu terkejut. Jam itu menunjukkan pukul sembilan pagi, padahal kemarin rencananya akan pergi pukul delapan. “Ehh, si kebo udah bangun.” sapa Niken mengagetkan Ayu dari belakang. Niken adalah kakak perempuan satu-satunya yang dimiliki Ayu. Umurnya hanya terpaut dua tahun dari Ayu. “Lho? Kakak nggak jadi pergi? Tadi kok Ayu nggak dibangunin?” tanya Ayu bingung. Niken menghela nafas sebentar kemudian tersenyum lebar. “Kamu lagi deket sama cowok?” pertanyaan yang membuat Ayu bingung untuk menjawabnya. Kalau dijawab deket sebenernya juga tidak. Tapi kalau dijawab tidak namanya munafik. Lama Ayu terdiam. “Tadi pas kakak mau bangunin, kamu senyum-senyum sendiri. Nggak mungkin kalo lagi nggak deket sama cowok. Sini dong cerita sama kakak.” lanjut Niken. “Jadi gini kak, kemarin Ayu beli celana di distro, terus dilayani sama pegawai cowok gitu. Cowoknya itu kayak ngasih perhatian lebih ke Ayu, beda sama pembeli yang lain. Gimana Ayu nggak nanggepin coba? Orang cowoknya juga ganteng.” jawab Ayu panjang dilanjutkan dengan senyum malunya. “Terus kamu udah jalan sama dia?” tanya Niken penasaran. “Udah, kemarin kami kencan di Ngopi Serius.” “Begini Ayu, kakak cuma mau ngasih tau, kalo kamu beneran sayang sama dia, kamu nggak usah malu kalo dia kerjanya cuma jadi pegawai distro. Yang penting kerjanya halal dan…” Niken menasehati adek kandung satu-satunya itu. “Dan apa kak?” Ayu penasaran. “Dan dia kan juga ganteng. Hehehe.” Niken tertawa genit. “Yaelah, kakak yang dicari cuma gantengnya aja. Hari ini jadi pergi nggak? Ayu mau mandi dulu.” “Jadi dong, cepet mandi sana.” Ayu berlari kecil menuju kamar mandi.
 
***
    Siang itu Nicho masih sibuk menghitung pengeluaran dan pemasukan di distronya. Wajahnya terlihat sangat serius karena dari hasil data pemasukan dan jumlah uang sangat berbeda. Kemudian ia berjalan menghampiri Andre. “Ndre, ini dari hasil data kok beda banget sama uang yang kita terima?” Nicho bertanya dengan halus pada Andre. Sekilas wajah Andre terlihat panik. Kemudian Andre mengajak Nicho keluar dari distro. “Sorry Nicho, waktu itu aku butuh banget buat biaya rumah sakit anakku.” kepala Andre tertunduk malu. Wajah Nicho terkagetkan dengan pengakuan Andre. “Bulan depan potong aja gajiku.” Andre melanjutkan. Nicho masih terdiam. “Tapi tolong jangan pecat aku Nicho. Aku butuh pekerjaan ini.” Andre memohon. “Tapi lo kan bisa ngomong ke gue, Ndre. Kita semua disini keluarga, kita bisa saling membantu. Lo tau sendiri kan perbuatan lo itu berdosa? Sekarang anak lo masih opname?” “Masih bos.” kepala Andre masih tertunduk malu. “Yuk, sekarang kita kesana.” Nicho berjalan memasuki distronya untuk meminta Erik menggantikan Andre sebagai penjaga kasir. Kemudian mereka berdua berboncengan menaiki motor Nicho menuju rumah sakit dimana anak Andre dirawat.
    
    “Itu bos anak saya, namanya Clara. Umurnya baru dua tahun.” Andre menunjuk seorang anak kecil yang berada di depannya. Nicho langsung menghampirinya. “Selamat siang.” sapa Nicho pada istri Andre. “Selamat siang bos Nicho. Mari silahkan duduk.” Santi, istri Andre mempersilahkan Nicho untuk duduk. “Jadi, bagaimana ceritanya?” tanya Nicho pada Santi dan Andre sementara Clara anak mereka masih tertidur lelap. Mereka menceritakan pada Nicho awal mula Clara bisa jadi seperti ini. Clara terkena penyakit DBD karena tergigit nyamuk saat tidur siang. Selain itu, mereka juga membicarakan banyak hal. Ditengah-tengah perbincangan mereka diam-diam Nicho menaruh amplop dibawah bantal Clara. Kemudian Nicho dan Andre berpamitan pada Santi untuk kembali bekerja.
    
    “Habis darimana bos?” tanya Erik pada Nicho. “Cari makan siang sama Andre.” jawab Nicho singkat kemudian lanjut bekerja. “Bos…bos…tunggu dulu.” Erik mengejar Nicho. “Ada apa?” tanya Nicho sembari bekerja. “Tadi mbak Liza kesini nyariin bos.” Nicho langsung menghentikan pekerjaannya. “Ada perlu apa dia kesini?” “Nggak tau bos. Tapi dia titip pesan pada bos untuk menemuinya di tempat biasa jam enam sore.” Erik menjelaskan. “Oke, makasih infonya, Rik.” Nicho terdiam sejenak. Dia bimbang akan menemui mantan pacarnya itu atau tidak. Karena penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk menemuinya di tempat biasa yang tak asing adalah tempat kencan pertama mereka.
 
***
    “Nichooo.” teriak seorang wanita dari kejauhan memanggil Nicho. Mengetahui namanya dipanggil, Nicho langsung menghampiri wanita itu yang tidak lain adalah Liza, mantan pacarnya. “Selamat malam, Nicho.” Liza menyapanya dengan senyuman yang sama seperti dulu saat Nicho jatuh cinta padanya. Tetapi Nicho tidak menjawab. Kemudian ia duduk berseberangan dengan Liza. “Ada perlu apa?” tanya Nicho cuek. “Sudah enam bulan ya.” Liza mencoba mengingatkan Nicho bahwa sudah enam bulan sejak mereka putus. “Dan kamu tahu? Enam bulan tanpa kamu itu membuat hidupku jadi terasa lebih indah.” ucapan yang keluar dari mulut Nicho barusan seolah-olah seperti menampar langsung pipi Liza. “Nicho, tolong dengarkan aku dulu. Aku masih sayang kamu, Nicho. Maafkan kelakuanku yang dulu. Sekarang aku sudah berbeda. Aku nggak bisa lupain kamu, Nicho.” wajah Liza memohon pada Nicho agar memberinya kesempatan. “Maaf Liza, sekarang aku sudah punya harapan baru. Dan lagi, dia mencintaiku dengan tulus. Kalau kamu menemuiku hanya untuk mengatakan itu, aku akan pergi sekarang.” Nicho berdiri dari duduknya kemudian meninggalkan Liza. “Nichoo, tunggu dulu. Aku pasti akan menemuimu lagi.” teriak Liza dari kejauhan. Tetapi Nicho tidak menghiraukannya.


Rabu,  pukul 08.00
    
    Nicho sudah berdiri di depan pintu rumah Ayu dan bersiap mengetuknya. “Tok..tok..tok..” Tidak lama keluarlah seorang wanita tetapi bukan Ayu. “Cari siapa nak?” tanya wanita itu. “Ayu ada, buk?” tanya Nicho balik dengan suara yang sangat sopan. “Oh, sebentar nak. Mari silahkan masuk dulu.” Kemudian Nicho masuk ke rumah Ayu dan duduk di sofa ruang tamu. Lama menunggu akhirnya Ayu keluar dari dalam. “Hai, Nicho. Maaf nunggu agak lama ya.” Nicho terbengong melihat Ayu yang sangat cantik hari itu. “Bentar ya aku panggilin ibu sama kakakku dulu.” Ayu kembali masuk ke dalam. Kemudian ia kembali dengan ibu dan kakaknya. “Nicho, kenalin ini ibu aku dan ini kakak aku.” Nicho beranjak dari duduknya dan menghampiri ibu Ayu dan mencium tangannya. “Kula Nicho buk, temannya Ayu.” “Oh, ini nak Nicho yang sering diceritain Ayu itu toh.” Nicho menengok ke arah Ayu.  Dengan cepat Ayu memalingkan wajahnya karena malu. Nicho hanya tersenyum kecil. “Nicho.” Nicho berjabat tangan dengan Niken kakak Ayu. “Niken.” Niken tidak melepas tangan Nicho dan terus memandangi wajahnya. Kemudian Ayu mencubit paha kakaknya itu dan berbisik “Lepasin kak.” Niken dengan cepat melepas tangannya. “Bu, Ayu berangkat dulu ya.” Ayu mencium tangan ibunya. “Mari bu.” Nicho juga demikian. Kemudian mereka berdua berjalan keluar. Saat berjalan Nicho berbisik pada Ayu “Kamu cerita apa aja sama ibu kamu?” Ayu tidak menjawab dan wajahnya memerah. Nicho tertawa lepas. Ayu memukul pelan bahu Nicho. Akhirnya mereka berdua berangkat menaiki motor Nicho ke tempat yang sudah dijanjikan Nicho pada Ayu.
    
    “Jadi, kita mau kemana?” tanya Ayu dari belakang saat mereka mengendarai motor di jalanan yang berliku. “Udah, kamu nggak usah bawel. Cukup pegangan aja sambil melihat pemandangan di kanan kiri jalan.” goda Nicho pada Ayu sambil tertawa. Ayu dengan spontan memukul pelan helm yang dikenakan Nicho. “Aduh.” Nicho kesakitan. “Siapa juga yang bawel.” Ayu ngambek dan melepas pegangannya pada Nicho. Mengetahui hal itu, dengan cepat Nicho menghibur Ayu. “Eh, Ayu. Coba lihat bukit yang ada di sebelah sana. Indah kan?” Nicho menunjuk sebuah bukit yang tinggi yang berada di kanan mereka. “Hmm.” Jawab Ayu singkat. “Semua pemandangan yang aku lihat disini tidak akan indah kalau aku ngeliatnya sendirian.” Ayu tersenyum geli. Tidak lama Ayu berpegangan lagi pada Nicho. Yes, berhasil. Batin Nicho.
    
    30 menit kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dijanjikan oleh Nicho. Sebuah waduk yang sangat luas dengan pemandangan yang sangat indah. Dan tidak sedikit pengunjung yang berada disitu. Setelah memarkirkan motornya, mereka berdua duduk dipinggiran waduk sambil memakan sepiring siomay. Terlihat sederhana tetapi romantis.
    
    “Eh, coba lihat burung merpati yang ada diatas sana.” Nicho menujuk sepasang burung merpati yang sedang bertengger diatas pohon di depan mereka. “Iya aku lihat. Tau nggak kalo mereka itu cuma mempunyai pasangan hidup sekali seumur hidup?” tanya Ayu pada Nicho. “Dan apabila kekasihnya mati mereka tidak akan mencari penggantinya. How sweet.” jawab Nicho sembari memandangi wajah Ayu. Begitupun dengan Ayu. Kedua insan itu tersenyum malu. “Eh, kamu pakai akik ya?” Ayu memegang jari kelingking Nicho. “Iya. Tapi ini akik bukan sembarang akik. Coba liat, didalamnya ada gambar orang yang sedang sholat.” Kemudian Ayu memperhatikan dengan seksama. “Mana? Kok nggak ada?” Ayu penasaran. “Waduh, berarti sholatnya udah selesai. Hahaha.” Nicho tertawa lepas karena berhasil mengerjai Ayu. Merasa dikerjai, Ayu mengambil sedikit saus siomay dan menaruhnya di wajah Nicho. “Hahaha.” Sekarang Ayu yang tertawa terbahak-bahak.
    
    Selesai makan siomay, Nicho mengambil rokok yang ada di sakunya. “Kamu ngerokok ya?” tanya Ayu. “Iya.” jawab Nicho singkat kemudian menyalakan rokoknya. “Pasti alasan kamu ngerokok karena kalo nggak ngerokok itu mati, ngerokok juga mati, mendingan ngerokok sampai mati kan?” Ayu mencoba menebak. “Kurang lebih seperti itu.” jawab Nicho singkat yang masih menikmati rokoknya. “Perokok itu tidak menghargai hidup ya.” Ayu tertunduk seperti kecewa dan menyembunyikan sesuatu. Nicho berhenti menghisap rokoknya. “Kamu kenapa, Ayu? Oke, aku akan mencoba berhenti merokok demi diriku sendiri dan demi kamu.” Nicho memasang wajah ceria pada Ayu. Ayu terlihat senang mendengar hal itu. Nicho berdiri kemudian berjalan kembali ke motornya untuk mengambil setangkai mawar yang ia beli sebelum ke rumah Ayu.
    
    “Ayu, mungkin terlalu cepat mengatakan ini, tetapi aku yakin aku benar-benar jatuh cinta padamu. Ambil mawar ini kalau kamu mau jadi pacarku.” Semua yang sudah Nicho lakukan dipertaruhkan dengan setangkai mawar merah ini. Lama Ayu tidak merespon. Akhirnya mawar itu diambilnya dari tangan Nicho. “Mungkin aku juga terlalu cepat jatuh cinta padamu, Nicho.” Ayu mencium harum mawar itu dalam-dalam. Tiba-tiba tubuhnya dipeluk oleh Nicho. “Terimakasih, Ayu.” Ayu membalas pelukan Nicho pada dirinya. “I love you, Nicho.” Kemudian mereka melepaskan pelukan mereka.    

   “Nicho, apakah surga lebih indah dari waduk ini?” tanya Ayu pada Nicho sembari memandangi pemandangan yang ada di depan mereka. “Surga jauh lebih indah dari segala hal di dunia ini, Ayu.” jawab Nicho meyakinkan Ayu. Kemudian Nicho merangkul Ayu dari samping. Kepala Ayu bersandar di bahu Nicho. Hingga sore hari saat matahari terbenam, semua pengunjung pulang ke rumah masing-masing. Begitupun dengan Ayu dan Nicho. Mengendarai motor melewati jalanan yang berliku-liku, tetapi tidak dengan cinta mereka. Setelah kurang lebih satu jam akhirnya mereka sampai di rumah Ayu.
    
    “Makasih untuk hari ini, Nicho. Serius aku seneng banget.” “Sama-sama, Ayu. Makasih juga udah nerima cintaku. Hahaha. Yaudah, aku pulang dulu ya.” Ayu hanya tersenyum malu dan mengaggukkan kepalanya. Kemudian Nicho pergi. “Nichoooo..” teriak Ayu dari belakang. Nicho segera menghentikan motornya dan melepas helmnya. “Ada a..” Muah. Sebuah ciuman manis mendarat di pipi kanan Nicho. Kemudian Ayu tersenyum malu dan segera berlari kecil masuk rumahnya. Nicho masih diam mematung. Dia tidak percaya apa yang terjadi barusan. Setelah ia sadar, ia segera menyalakan motornya lagi dan pulang ke rumah.
    
    Sebelum memasuki rumah, Ayu dihentikan oleh ayahnya di depan pintu. “Ayu, sudah kau beritahu pada pria itu?” tanya ayahnya. Ayu hanya menggelengkan kepala. “Belum, yah. Ayu nggak mau dia kecewa.” jawab Ayu lirih. “Segera beritahu dia sebelum semuanya jadi lebih buruk.”
 
***
    Sudah lima bulan berlalu semenjak hari mereka jadian. Semuanya berjalan dengan baik. Tidak ada pertengkaran atau masalah lainnya, yang ada justru mereka semakin menyayangi satu sama lain. Siang ini Nicho menjalani rutinitasnya untuk berkedok menjadi pegawai di distronya. Seperti biasa, Nicho melayani setiap pembeli dengan sangat ramah. “Mari silahkan mbak. Mau cari baju, celana, atau mungkin rok?” tanya Nicho pada salah satu pengunjung. “Bos..bos…” panggil Erik lirih pada Nicho. “Ada apa sih, rik? Lo gak liat gue lagi sibuk?” Nicho tidak memperdulikan Erik. “Ehemmm…” Nicho berbalik badan. Dia nampak kaget. “Eh, Ayu. Ada apa kesini?” tanya Nicho pada Ayu dengan meringis. “Nicho, aku perlu ngomong sesuatu sama kamu, tapi tidak disini.” wajah Ayu terlihat serius. “Oke, kita sekalian cari makan siang yuk.” Kemudian mereka berdua pergi ke sebuah warung makan di dekat situ.
    
    “Mau ngomong apaan sih? Kok kayaknya serius gitu.” tanya Nicho pada Ayu sembari meminum es tehnya. “Aku mau kita putus, Nicho.” Nicho tersedak mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ayu. “Kamu nggak lagi serius kan?” Nicho masih kaget. “Aku serius, Nicho. Maaf ya kalo selama ini aku banyak merepotkan kamu.” Ayu berdiri dan pergi meninggalkan Nicho sambil mengusap air matanya. “Ayuuu…tunggu dulu.” Nicho mengejar Ayu tetapi Ayu sudah pergi duluan dengan bus. Seketika badan Nicho melemas. Ia tidak percaya apa yang terjadi barusan. Karena masih tidak percaya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Ayu.
    
    “Tok..tok..tok..” Tidak ada seseorang yang membukakan pintu. Akhirnya setelah mengetuk pintu yang kedua kalinya, keluarlah Niken kakak Ayu. Dengan segera Niken menggandeng tangan Nicho untuk menjauh beberapa meter dari rumahnya. “Nicho, mungkin berita ini akan mengagetkanmu, tetapi aku harus memberitahumu. Sejak berumur 12 tahun, Ayu divonis dokter menderita kanker otak. Umurnya tidak akan lebih dari 25 tahun. Jika dari sekarang, mungkin Ayu akan bertahan selama satu bulan lagi.” Selesai menceritakan semuanya pada Nicho, air mata Niken menetes keluar dari matanya. Begitupun dengan Nicho. Dari kejauhan Ayu melihat kakaknya sedang berbincang dengan Nicho lewat jendela kamarnya. Ayu juga tidak bisa menahan air matanya keluar. Ia kembali ke kasurnya memeluk guling dan menangis.
    
    “Boleh aku bertemu dengan Ayu?” tanya Nicho pada Niken dengan suara yang sangat pelan. Niken hanya menggelengkan kepala. Nicho segera menghapus air matanya dan pergi dari situ.
    
    Sesampai rumah, Nicho duduk diam termenung di sofa ruang tamu. Ia menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Walaupun Nicho bersedih, tetapi ia tahu Ayu lah yang lebih sedih saat ini. Ingin dia menghibur hari-hari Ayu untuk yang terakhir kalinya, tetapi apa daya, Ayu mencoba menghindar dari dirinya. Ayu tidak ingin berbagi kesedihan dengan kekasihnya. Nicho sempat marah dengan Tuhan atas semua yang terjadi, tetapi dengan cepat ia buang jauh-jauh pemikiran itu.
    
    Esok hari saat bangun tidur, Nicho mendapat kabar dari Niken melalui pesan singkat bahwa Ayu sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit. Nicho langsung bergegas dari kasurnya menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. “Mbok Sum, Nicho pergi dulu ya. Jangan lupa Tongki dikasih makan.” Nicho berpamitan kepada Mbok Sum. “Iya den.” teriak Mbok Sum dari kejauhan.
 
***
    Sampai rumah sakit, Nicho berlari menuju nomor kamar yang sudah diberitahukan Niken melalui pesan singkat tadi. Ia berlari kencang menerobos orang-orang yang sedang mengantri. Tak luput ia menabrak seorang pasien. “Maaf pak, saya buru-buru.” Orang itu hanya menggeleng keheranan. Dari kejauhan Nicho melihat Niken dan keluarga Ayu sedang menunggu diluar ruangan dengan wajah gelisah. “Niken, dimana Ayu?” tanya Nicho dengan nafas yang terpenggal. Niken menunjuk ke dalam ruangan dimana Ayu sedang berbaring tidak sadarkan diri. Niken langsung memeluk Nicho erat dan menumpahkan air matanya di bahu Nicho. Dengan nalurinnya, Nicho mengelus punggung Niken mencoba untuk menenangkannya. Kemudian mereka berdua duduk di kursi bersama dengan ayah dan ibu Ayu. Kini keempat orang itu sedang berdoa kepada Tuhan untuk meminta mukjizat-Nya.
    
    “Bu, kenapa dulu ibu memberi nama “Candik Ayu”?” tanya Nicho kepada ibu Ayu dengan nada bicara yang sangat pelan karena sedang bersedih. “Dulu, Ayu lahir pada sore hari dimana langit-langit tampak cerah berwarnya oranye. Lalu, kami sekeluarga sepakat memberinya nama “Candik Ayu” seperti orang jawa yang menyebut peristiwa dimana langit pada sore hari berwarna oranye dan cerah. Dan kami berharap dalam nama itu Ayu selalu mempunyai hari-hari yang cerah.” Setelah menceritakan kepada Nicho, ibu Ayu menangis sejadi-jadinya. Kemudian suaminya menenangkannya.
    
    “Apakah disini ada yang bernama Nicho?” tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Ayu. “Iya, saya sendiri, dok. Ada apa?” Nicho bangkit dari duduknya. “Pasien di dalam mencoba memanggil nama Nicho daritadi.” Nicho segera memasuki ruangan untuk menemui Ayu. “Ayu, aku disini. Kamu nggak perlu khawatir.” ucap Nicho sambil memegangi tangan Ayu. Sekilas Ayu terlihat tersenyum. Melihat itu Nicho tampak senang. “Tenang Ayu, kamu nggak akan kenapa-napa.” Nicho mencoba menenangkan Ayu yang masih terbaring lemas. “Nicho, maafin aku kalo selama ini aku sering bawel sama ngerepotin kamu.” ucap Ayu dengan suara lirih yang hampir tidak bisa didengar oleh Nicho. “Aku sayang kamu, Ayu.” Nicho mencium tangan Ayu.
    
    Sepanjang hari Nicho menemani Ayu dengan duduk disampingnya, sementara Ayu masih tidak sadarkan diri.  Hanya kadang-kadang Ayu  mengucapkan kata yang hampir tidak bisa didengar. Ayu ingin semua orang memaafkan kesalahannya. Lelah menemani Ayu, Nicho digantikan oleh orang tua Ayu dan Niken. Sementara digantikan, Nicho pulang ke rumah untuk mengistirahatkan badan.
    
    Di rumah, Nicho tidak bisa tenang. Ia sangat khawatir dengan keadaan Ayu. Nicho tidak ingin Ayu meninggalkan dirinya karena Nicho sangat menyayangi Ayu lebih dari apapun. Banyak pikiran yang ada di kepalanya membuat Nicho susah untuk memejamkan matanya.  Hingga pada pukul  dua dini hari, akhirnya ia terlelap. Esok hari ketika ia bangun, Nicho mendapat berita yang sangat buruk dari Mbok Sum. Berita yang sangat ia takutkan akan benar-benar terjadi. Dan apabila itu benar terjadi, berarti Tuhan tidak mengabulkan doa Nicho. Saat Nicho masih terlelap, Mbok Sum mendapatkan telepon dari Niken bahwa Ayu sudah pergi. Bukan pergi untuk beberapa waktu, tetapi pergi untuk selamanya dan tak pernah kembali lagi. Mendengar berita itu, jantung Nicho berdetak kencang sekali. Ia tidak percaya, gadis yang sangat dicintainya telah meninggalkan semua yang ada di dunia ini. “Pemakamannya nanti sore jam tiga, den.” tambah Mbok Sum. Nicho tidak menjawab. Ia hanya diam saja dan kembali ke kamarnya. Nicho diam memaku di pojokan kasur. Mungkin ia sedang berpikir kenapa Tuhan melakukan semua ini padanya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Tapi yang pasti, Nicho benar-benar kacau saat itu. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke pemakaman Ayu.
 
***
    Nicho memeluk Niken yang baru saja membukakan pintu untuknya. “Maaf, aku tidak bisa datang. Aku benar-benar kacau.” ucap Nicho dengan suara yang tersendal-sendal. Niken hanya bisa menenangkannya dan mempersilahkannya masuk. “Dengar Nicho, semua makhluk hidup di dunia ini pasti akan mati. Jadi, kita harus mengikhlaskannya walaupun terasa sangat sulit.” Niken memberikan segelas teh pada Nicho kemudian duduk disampingnya. “Aku sudah coba mengikhlaskan semuanya tapi hanya sia-sia,” kepala Nicho tertunduk bersedih. “aku benar-benar mencintai adikmu itu, bahkan aku sudah merencanakan akan melamarnya akhir tahun ini.” lanjut Nicho. Niken pergi meninggalkan Nicho sendirian di ruang tamu. Kemudian ia kembali dengan membawa secarik kertas. “Ayu memintaku untuk memberikannya padamu.” Niken memberikan secarik kertas itu pada Nicho. Nicho segera menerimanya dan membacanya.
“Hai pegawai genit, kalau kamu sedang membaca surat ini berarti kita tidak akan bertemu lagi. Sekarang aku sedang berada di surga yang indahnya melebihi apapun di dunia ini seperti katamu dulu. Aku mencintai kamu lebih dari apapun, Nicho. Walaupun kamu adalah cinta pertamaku. Tapi apa daya, penyakitku ini sepertinya tidak suka jika kita bersama. Aku akan bahagia jika melihat kamu bahagia, jadi tolong jangan bersedih. Kamu tega melihat aku bersedih disini? Dan, aku tidak ingin cinta kita seperti sepasang merpati yang ada di waduk itu. Kamu harus mencari penggantiku dan cintailah dia seperti kamu mencintaiku. Hey, Nicho! Kamu sudah tau arti namaku kan? Jadi, kalo kamu merindukan aku, tengoklah langit pada sore hari.  Aku akan berada disana untuk melihatmu.”
                                                                                                                                          Love,
                                                                                                                                           Ayu


    Nicho menangis tersedu-sedu setelah membaca surat itu. Tetapi Niken segera menenangkannya. Dibacanya kembali surat itu berkali-kali oleh Nicho sambil menahan air matanya keluar lagi. Nicho tersadar, Ayu benar-benar mengingat semua kenangan yang telah mereka ukir bersama. Dengan dibantu Niken, hari-hari berlalu, bulan-bulan berlalu, akhirnya Nicho berhasil mengikhlaskan Ayu. Meskipun dia tidak bisa melupakannya. Sekarang, semuanya kembali normal seperti dulu lagi. Dan apabila Nicho teringat dengan Ayu, ia tinggal menengok langit pada sore hari dan terjawab sudah rasa rindunya.
 
***
Beberapa tahun kemudian,
    
    Seorang anak kecil sedang berlari lucu menuju ke arah ayahnya. “Yah, itu langit kok warnanya oranye?” tanya anak kecil itu lugu pada ayahnya sambil menunjuk ke arah atas. Pria itu hanya tersenyum, kemudian menggendong anaknya. “Itu namanya Candik Ayu.” Sudah delapan tahun, semenjak kamu pergi meninggalkanku. Sekarang aku sudah berkeluarga dan aku bahagia. Sama seperti katamu dulu, kamu akan bahagia jika aku bahagia. Aku tau kamu sedang bahagia diatas sana. Aku tidak akan pernah melupakanmu, Candik Ayu. Batin Nicho, sambil menggendong anaknya pergi.
Baca Selengkapnya >>>

Tuesday, May 19, 2015

Alunan Musik Macaroni Schotel

    Senja berganti malam, tak ingin menanti semua yang kelam. Hujan berhenti turun, kata hati tak lagi menuntun. Malam yang dingin menghantarkan kita menuju esok hari. Ketika harapan sirna karena orang yang kita sayangi. Seperti mati gaya, hanya diam mematung tak bergerak. Tak bisa menggapai harapan.

    Malam itu Ednan bersiap-siap menjalani rutinitasnya. Berdandan rapi dengan rambut sebahunya yang dikucir kebelakang. Beberapa kali ia menyemprotkan parfum ke badannya. Bermodalkan kumisnya yang tipis, sekarang Ednan benar-benar menjadi seorang pria. Banyak sekali wanita yang memberi perhatian lebih padanya, tetapi Ednan hanya cuek. Menurutnya, cinta itu harus memilih, bukan dipilih.

    Bermusik adalah hobi Ednan yang digelutinya dengan serius sejak kecil. Malam ini dengan membawa gitar kesayangannya, ia keluar kamar berangkat menuju café dimana ia dapat bermusik bersama teman-temannya. Saat melewati ruang tamu, ia melihat ayah dan ibunya sedang menonton teve bersama.

“Pah, Ednan berangkat dulu.” ia berpamitan kepada ayahnya.
“Iya Nan, hati-hati. Pulangnya jangan terlalu larut.” jawab ayahnya dengan mata yang berkedip-kedip mengisyaratkan agar Ednan segera pergi meninggalkan mereka sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.

Saat Ednan berjalan keluar, tiba-tiba langkahnya terhenti.

“Ednan, kesini dulu.” panggil ibunya.

Ah, sial aku kurang cepat. Batin Ednan. Kemudian ia berjalan kembali ke arah ibunya.

“Sudahlah, kamu belajar saja dirumah fokus pada kuliahmu. Bisa dapat apa kamu dari bermusik? Kesenangan? Kamu ini anak tunggal kita, Nan. Kamu yang bakal nerusin usaha papah. Kalau kamu hanya bermodalkan ilmu musik, usaha papah bisa bangkrut. Ujung-ujungnya kamu sendiri yang rugi.” kesekian kalinya ibu Ednan menegur Ednan. Tetapi ia hanya menundukkan kepala.
“Tapi mah, bermusik adalah hobi Ednan sejak kecil. Dari dulu Ednan pengen jadi musisi.” jawab Ednan membela diri.
“Kamu ini dari dulu ditegur jawabnya selalu seperti itu.” Ibu Ednan semakin menjadi.
“Sudahlah mah, biarkan Ednan pergi. Kamu Ednan cepat berangkat sana.” Ayah Ednan menenangkan suasana. Kemudian Ednan pergi meninggalkan mereka berdua.
                                            
                                                 

    Hati Ednan tak tenang karena dari dulu ia tak pernah mendapat ijin ibunya untuk mendalami musik. Padahal, Ednan sangat berbakat soal musik.

    Perasaan yang sedang terombang-ambing, luka yang sedang mencabik-cabik, kenangan yang selalu menghantui. Lengkap sudah penderitaan Qika. Tetapi hari ini Qika sudah berjanji akan melupakan semuanya. Semua luka yang diberikan Azka, semua kenangannya bersama Azka. Semuanya dimulai dari ‘nol’ lagi.

“Tok tok tok…. Qik bukain pintunya dong.” Terdengar suara dari balik pintu kamar Qika.
Qika bersama sahabatnya SMA tinggal di kontrakan untuk melanjutkan kuliah. Alasannya karena lebih murah daripada ngekost sendiri-sendiri. Rumah itu dihuni oleh tiga orang dengan Qika. Jadi, masih tersisa banyak ruangan yang kosong. Yola, satu kampus dengan Qika tetapi berbeda jurusan. Sedangkan Athaya, berbeda kampus dengan Yola dan Qika.
“Iya, sebentar.” Qika dengan gesit merapikan kamarnya yang acak-acakan. Setelah itu, ia membukakan pintu kamarnya.
“Eh, Yola. Ada apa malam-malam begini mencari putri yang sedang beristirahat?” tanya Qika dengan gayanya yang kepedean.
“Ssst, daripada nggak jelas di rumah kayak gini mending kita keluar yuk cari makan. Bareng sama Athaya juga.” ajak Yola pada Qika.
“Kebetulan aku juga laper. Mau makan dimana emangnya?”
“Emm, Café Biru aja ya. Asik tuh rame. Makanannya juga nggak mahal.”
“Iya deh. Eh, si Athaya mana?”
“Itu di depan sudah nungguin daritadi. Yuk buruan ganti baju aku tunggu di depan ya.”
“Oke, tunggu sebentar ya. Awas kalau ditinggal.”

Sabtu 5 Mei 2015, Café Biru
    Menengok kesana-kemari mencari teman-temannya. Sejauh mata memandang Ednan tidak melihat batang hidung temannya. Mungkin karena keramaian pengunjung cafe itu sehingga sulit bagi Ednan untuk menemukan temannya.
“Woi Nan!!” teriak seseorang memanggil Ednan dari arah belakang. Ternyata adalah David teman Ednan. Ednan hanya tersenyum kemudian menghampirinya.
“Kemana aja kamu? Bentar lagi kita tampil.” tanya David dengan nada agak sedikit marah.
Sorry, sebenarnya sudah datang daritadi tapi ini rame banget jadi susah nyari kalian. Yuk langsung aja siap-siap.”
   
    Waktu yang ditunggu-tunggu Ednan akhirnya tiba juga. Bermain musik bersama temannya di panggung sederhana. Bukan masalah panggungnya, tetapi ini tentang menghibur orang. Musik membuat pengunjung Café Biru menjadi semakin menikmati malam minggunya. Pengunjung yang semula bersedih menjadi tersenyum. Kecuali jika membawakan lagu sedih. Kesedihannya akan semakin dalam.

“Ednan, lagi-lagi kamu yang datang terakhir. Huhu.” ejek Devi sambil mencubit bahu Ednan.
“Aduh, sakit Dev. Iya maaf deh. Ini yang terakhir. Janji.” keluh Ednan.
“Oke teman-teman saatnya kita menghibur orang-orang. Buat malam minggu mereka agar tidak kelabu!!” seru Noa. Memang anak satu ini berperan seperti pemimpin di kelompok Ednan. Dengan bermodalkan sifatnya yang bijaksana, ia mampu membuat teman-temannya menaruh kepercayaan padanya.
   
    Berempat dengan formasi band : Ednan sebagai gitaris. David bermain cajon. Devi bermain biola. Noa sebagai vokalis. Dengan bakat mereka di bidangnya masing-masing yang berpadu menjadi satu menciptakan sebuah alunan musik yang merdu, tak heran lagi para pengunjung sangat menikmati permainan bermusik mereka.
“Selamat malam Café Biru. Ijinkan aku bermalam dipelukmu.” sapa Noa kepada pengunjung Café Biru sebelum mereka bermain. Berbeda dengan Ednan, sejak dia menaiki panggung, matanya selalu tertuju pada seorang wanita berkacamata yang duduk diantara dua temannya. Imut, kecil, putih, dengan rambutnya yang terurai ditambah dengan senyumnya yang dapat memanipulasi kesedihan menjadi tawa.
   
    Dari awal mereka bermain hingga hampir selesai, mata Ednan tak luput memandangi perempuan berkacamata itu. Akhirnya, di waktu yang sangat istimewa mata mereka akhirnya bertemu. Lampu-lampu menyala bergantian, angin malam terhembus-hembus, tawa canda pengunjung ditambah dengan alunan musik yang merdu melengkapi tatapan keempat mata itu. Detik pertama, tatapan itu seolah-olah saling mengagumi. Detik kedua, tatapan itu ingin saling mengenal satu sama lain. Detik ketiga, pandangan mata itu menjadi pandangan cinta.
   
   Selesai mereka bermain, maka selesai juga acara di Café Biru itu. Karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 00.00. Setelah membereskan alat-alat dan sound system, Ednan segera berlari ke arah pengunjung yang sedang berdesak-desakan keluar dari tempat itu. Mata Ednan terus mencari-cari perempuan berkacamata yang ia lihat tadi. Tetapi karena kerumunan orang, ia tidak dapat menemukannya. Ada raut kecewa di wajah Ednan.
“Seperti biasa, kalian keren guys!” puji Noa pada teman-temannya.
“Kita keren karena kita saling melengkapi.” tutur Ednan.
“Betul kata Ednan, kita harus saling melengkapi seperti sekarang ini. Begitupun seterusnya.” jawab Devi sembari matanya melirik Ednan.
   
    Angin malam berhembus sangat kencang, menandakan esok hari akan segera tiba. Malam janganlah berlalu dan meninggalkan cerita singkat yang indah begitu saja. Terang janganlah datang sebelum malam membuat cerita yang lebih indah. Hanya sebatas saling memandang yang penuh dengan arti. Perasaan cinta yang tercipta dari tatapan mata seorang pria dan wanita. Membuat dunia bertanya-tanya, semudah itukah jatuh cinta?
   
    Sesampai di depan rumah, Ednan tak langsung masuk ke dalam. Dilihatnya arloji di tangannya. Pukul 01.20 dini hari. Sedikit telat batinnya. Semua orang di rumah sudah terlelap, hanya dirinya yang masih terjaga. Merenung di kamar dengan jari-jarinya yang masih memetik senar gitar. Pelan namun bersuara. Pikirannya masih terombang-ambing. Antara nasehat ibunya atau keinginannya. Lama ia berpikir, akhirnya matanya tak kuat lagi menahan kantuk. Ednan terlelap. Biarlah semua waktu yang menjawab.
    
    Esok hari tiba. Mata Ednan masih enggan untuk membuka. Diliriknya jam di dinding kamarnya. Ia langsung berlonjak dari kasurnya. Jam menunjukkan pukul 8.45. Ednan lupa hari ini ada kuliah jam 09.00. Ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi. Selesai mandi dan berpakaian rapi, tak lupa mengucir rambut panjangnya itu ia berpamitan kepada ibunya untuk berangkat kuliah. Meskipun Ednan orang yang berkecukupan, namun jarang sekali ia meminta uang pada ibunya. Jika hanya uang untuk jajan, Ednan bisa dapatkan sendiri dari hasil bermusiknya. Untuk urusan uang kuliah, sepenuhnya ia serahkan pada orang tuanya.
   
    Sepulang kuliah Ednan tak langsung pulang ke rumah. Seperti biasa nongkrong bersama teman kuliahnya di taman yang ada di kampusnya. Bersama dengan Devi yang juga temannya di kampus.
“Hei, Ednan. Bisakah kau dengan Devi mengisi di acara ulang tahun punya saudara?” tanya Lycan pada Ednan dengan logat timurnya yang khas.
“Saudaramu di timur sana? Jangan bercanda kau.” jawab Ednan dengan logat seperti Lycan.
“Ssst. Hei Ednan bukankah itu asyik?” bisik Devi pelan pada Ednan.
“Tenanglah dulu kau Ednan. Punya saudara rumahnya hanya berapa kilo dari sini.” terang Lycan.
“Kau bilanglah daritadi. Bagaimana Dev?” tanya Ednan pada Devi untuk mendapatkan pendapat.
“Sepenuhnya terserah kamu, Nan.” jawab Devi dengan pernuh kepercayaannya pada Ednan.
“Oke. Tanggal berapa ulang tahun saudaramu Lycan?”
“Tanggal 23 Juni besok. Bisa kan kalian ngisi?” Lycan meyakinkan.
“Oke kami bersedia. Kalau begitu kita pamit pulang dulu. Ayo Dev.” Ednan bergegas menghampiri motornya yang terparkir di depan mereka disusul dengan Devi.
“Dah, Lycan.” Devi melambaikan tangannya pada Lycan.
“Hati-hati di jalan.” teriak Lycan dari kejauhan
   
    Sudah menjadi kewajiban Ednan untuk mengantarkan Devi pulang ke rumah setelah kuliah. Devi sudah menjadi sahabat Ednan sejak SMA. Tak heran mereka berdua sangat dekat.
“Rumah kamu dimana, Dev? Aku lupa.” goda Ednan pada Devi untuk membuka pembicaraan saat berkendara.
“Sial kau Ednan! Kita sudah berteman dari dulu dan sekarang kamu lupa dimana rumahku?” jawab Devi dengan tangannya yang memukul pelan helm Ednan.
“Aduh. Hei, aku hanya bercanda. Tidak mungkinlah aku lupa rumahmu setelah sekian tahun kita berteman. Hahaha.”
“Beruntungnya aku punya ojek pribadi yang ganteng. Hahaha.” ejek Devi pada Ednan.
“Sungguh? Sekejam itukah bercandamu?” jawab Ednan dengan mimik wajah cemberut.
“Yahh. Cuma gitu aja cemberut. Haha.” Devi melirik spion.
“Banyak omong ah. Aku turunin disini nih. Haha.”
   
    Setelah mengantarkan Devi, Ednan langsung pulang ke rumah untuk mengistirahatkan badan. Mengingat kemarin malam ia hanya tidur beberapa jam. Ednan terlelap. Menjelajahi dunia mimpi dimana dia sudah menjadi orang besar. Tampil bermusik di panggung yang megah. Tidak sabar ingin segera bangun dan bermusik dengan teman-temannya.
 
                                                                      


    Berjalan tiga langkah kemudian kembali lagi. Mondar-mandir seperti orang kebingungan. Sudah lima kali Azka menelponnya tetapi Qika tidak ada niatan untuk mengangkatnya. Jika ia tidak mengangkatnya maka semua akan baik-baik saja. Tidak ada dusta,  tidak ada nostalgia, dan tidak ada rindu yang berbuah lara. Qika akan sepenuhnya lepas dari kenangan pahitnya bersama Azka. Terbebas dari belenggu luka yang diberikan Azka.
   
    Namun dilain sisi Qika ingin mengulang kembali kenangan manis bersama Azka. Dimana burung-burung bernyanyi saat mereka bersama. Bunga-bunga tersenyum melihat mereka tertawa. Namun sekarang hanya bimbang yang ada. Antara melupakannya atau mengulangnya. Keduanya adalah pilihan sulit bagi Qika. Mengingat Azka pernah memberikan luka padanya.
   
    Dengan masih ragu, akhirnnya keputusannya sudah bulat untuk mengabaikan telpon dari Azka yang terakhir ia terima itu. Qika memilih untuk melupakan semuanya.
   
    Kuliah sambil kerja. Dapat ilmu dapat uang. Prinsip Qika yang sudah ia lakoni dari dulu. Dengan dua temannya, ia kerja sambilan untuk meringankan beban orangtua. Pada dasarnya, semua wanita di dunia ini dianugerahi keterampilan untuk memasak. Qika dan temannya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka sepakat untuk membuat Macaroni Schotel yang siap di delivery selagi hangat.
   
    Semua wanita dianugerahi keterampilan untuk memasak. Namun juga memiliki level sendiri-sendiri. Level pertama dan yang paling atas, semua wanita di level ini sudah seperti koki. Semua bahan bisa dibuatnya menjadi makanan dengan rasa yang delicious. Level kedua, wanita di level ini mempunyai skill layaknya ibu rumah tangga. Hanya bisa memasak untuk makanan sehari-hari. Di level ketiga, wanita disini hanya sebatas bisa memasak air. Semuanya bergantung dengan masakan orang lain. Qika kecewa dilahirkan dengan level memasak ketiga.  Qika tidak begitu mahir untuk keterampilan yang satu ini. Berbeda dengan Athaya dan Yola, mereka bisa menciptakan cita rasa Macaroni Schotel menjadi sangat lezat. Membuat setiap pencicipnya menganggukkan kepala menandakan makanan itu sangat enak.
   
    Semua usaha harus dibangun bersama-sama. Jika sudah ada yang memasak, maka tugas untuk mengantarkan makanan diberikan pada Qika. Selain rasanya yang enak, yang membuat Macaroni Schotel mereka sangat terkenal adalah ongkos kirimnya yang gratis. Selama itu masih di dalam kota, maka tidak dipungut biaya kirim. Sore itu seperti biasa mereka sibuk menerima pesanan Macaroni Schotel. Yola dan Athaya bercucuran keringat karena memasak. Begitupun Qika, ia rela panas-panasan mengantarkan pesanan. Sepulang mengantarkan pesanan, sudah ada lagi pesanan yang harus diantarkan. Mayoritas pembeli adalah anak kuliahan karena Macaroni mereka sangat terkenal di kampus mereka. Tetapi Qika tidak pernah mengeluh, ia yakin semua usaha keras tidak akan mengkhianati.
“Halo? Apa benar ini Macaroni Schotel?” tanya seseorang dari seberang telfon.
“Iya benar mas. Ada yang bisa dibantu?” jawab Qika dengan nafas yang masih terengah-engah karena kelelahan.
“Emm, saya pesan Macaroni Hot dikirim ke alamat Jl.Manggis 9 no.85. Cepet ya mbak, keburu laper.” baru kali ini Qika menerima telfon dari buyer dengan nada memesan yang tidak mengenakkan.
“Iya mas. Tunggu beberapa menit lagi saya sampai di alamat itu.”
“Oh iya. Jangan lupa, pas sampai disini harus dalam keadaan hangat.” sebelum Qika menjawab, telfon itu sudah ditutup.
“Yolaaa, Macaroni Hot satu cepet ya.” teriak Qika pada Yola dan Athaya yang berada di dapur.
   
    Akhirnya Macaroni Hot telah siap diantarkan. Dengan motor maticnya, Qika mengantarkan pesanan ke alamat yang diberikan tadi.

    Menelusuri jalan berliku mencari alamat itu. Membasuh peluh karena lelah dan keringat yang berpadu. Melaju menantang panasnya surya yang membeku menjadi satu. Alamat itu seperti hanya kalbu. Susah digapai seperti doa penghulu. Namun Qika tidak berhenti melaju. Dengan tanpa mengeluh akhirnya alamat itu ketemu.
“Permisi. Macaroni Schotel sudah sampai.” Qika berdiri di depan pintu menunggu pembelinya keluar.
“Iya, tunggu sebentar.” teriak seseorang dari dalam. Akhirnya setelah menunggu sekitar dua menit orang itu keluar.
   
    Dibalik kacamatanya, mata Qika terbelalak tidak percaya. Begitupun dengan Ednan. Kedua pasang mata itu kembali menatap. Detik pertama, tatapan mata itu seperti ingin melangkah kembali karena tidak percaya akan kembali memandangi seperti dulu. Detik kedua, pandangan mata itu berubah menjadi senyum. Detik ketiga, dengan sendirinya mereka melangkah maju. Selama tiga detik mereka berdua seperti diantara kata yang tidak terucap.
“Ehh, apa betul mas memesan Macaroni Hot?” tanya Qika dengan nada bicara yang terbata-bata.
“Betul mbak. Sebentar saya ambil uang dulu.” Ednan kembali masuk ke dalam. Saat di dalam, ia tersenyum sendiri karena bisa bertemu wanita yang ada di Café Biru saat itu dengan cara yang konyol. Kemudian ia kembali lagi untuk membayar macaroni yang ia pesan.
“Ini mbak uangnya.” Ednan memberikan uang kepada Qika.
“Terimakasih mas. Selamat menikmati.” jawab Qika dengan memberikan senyumnya kemudian pergi meninggalkan Ednan.
“Mbak… Tunggu.” langkah Qika terhenti karena Ednan memanggilnya.
“Ednan.” Ednan mengulurkan tangannya pada Qika. Tak lupa ia memberikan senyum.
“Qika.” jawab Qika yang disertai dengan senyuman juga. Kemudian Qika berlalu meninggalkan Ednan.
“Hati-hati di jalan.” teriak Ednan dari kejauhan dengan tangannya yang melambai-lambai. Qika hanya tersenyum sambil melihat Ednan dari spion motornya.
   
    Macarani Schotel menjadi saksi bisu cinta terselubung mereka. Pada awalnya hanya sebatas memandang mata. Kini mereka telah berucap kata. Entah kapan datangnya, itulah yang dinamakan cinta.
   
    Sepanjang perjalanan pulang, bibir Qika selalu tersenyum lebar. Mengingat dia telah bertemu dengan seorang pria yang dijumpainya di Café Biru tempo hari. Untungnya, wajah kecil yang sedang tersenyum gembira itu bersembunyi dibalik helm. Jika tidak, entah sudah berapa kali Qika diteriaki orang gila.
   
    Begitupun dengan Ednan, susah bagi giginya untuk mengunyah macaroni yang sedang dimakannya karena dari gigitan pertama hingga gigitan terakhir Ednan tak luput dari senyum. Makan dengan tersenyum, sulit sekali dibayangkan. Itulah cinta, membuat hal yang tak terduga menjadi terduga. Bahkan Ednan tak perlu minum air setelah selesai memakan Macaroni Hot yang dia pesan. Karena pikir Ednan ada mineral cinta yang akan mendinginkan tenggorokannya dari rasa pedas.
***
    Semua sudah berlalu, kini malam telah tiba. Seperti hari-hari sebelumnya, Ednan akan bermusik dengan teman-temannnya di Café Biru. Selesai berdandan rapi, ia keluar kamar untuk berpamitan pada orangtuanya. Didapati hanya ibunya yang ada di ruang keluarga. Awalnya Ednan ragu untuk berpamitan. Akhirnya dengan berani ia berpamitan kepada ibunya.
“Mah, Ednan berangkat.” suara Ednan sangat pelan, bahkan hampir tidak kedengaran.
“Berangkat kemana? Café itu lagi?” tanya ibunya.
“Iya, mah.” jawab Ednan lirih.
“Mamah minta tolong, mulai hari ini kamu tidak usah kesana lagi. Berhentilah bersenang-senang dengan temanmu itu. Fokus saja pada kuliahmu.” Ednan tidak percaya ibunya akan mengatakan seperti itu. Ia dengan tegas menjawab.
“Ednan tidak bersenang-senang, Mah. Ednan hanya bermain musik bersama teman-teman karena itu adalah hobi Ednan. Apa mamah tega menghentikan cita-cita anak mamah?”
“Kamu sekarang sudah berani menjawab mamah? Pokoknya hari ini kamu tidak usah kesana lagi.” kali ini Ibu Ednan benar-benar marah.
“Tidak mah. Ednan tetap akan berangkat. Ednan akan buktikan pada mamah kalau bermusik itu tidak selamanya buruk. Ednan tidak akan pulang sebelum mamah liat wajah Ednan di teve atau media cetak.” baru sekali ini Ednan berani membantah mamahnya. Sebelumnya ia adalah anak yang penurut.
   
    Seketika hening. Ednan tidak percaya ibunya akan menghentikan harapannya semudah itu. Kemudian ia kembali lagi ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya yang penting. Pakaian secukupnya untuk dimuat di tas kecilnya. Uang tabungan hasil ia bermusik selama ini tak lupa ia bawa. Dan yang terpenting adalah gitar kesayangannya. Entah kemana ia harus tinggal nanti. Tetapi cita-cita Ednan tidak mungkin jika hanya dibiarkan mati.
   
    Kemudian Ednan pergi meninggalkan rumahnya menuju café. Ia kecewa tidak sempat berpamitan dengan ayahnya yang sedang bekerja. Saat sampai di depan pagar, Ednan menengok lagi ke belakang melihat rumahnya. Seakan-akan ia tidak rela jika harus melangkahkan kaki keluar dan tidak kembali lagi. Tetapi apa daya, ia harus mengejar impiannya.

                                                               


    Pesanan macaroni hari ini sudah habis. Tidak ada lagi yang harus diantarkan. Walaupun lelah, Qika tetap senang karena siang tadi ia barusan bertemu dengan Ednan. Pria yang dipandanginya di Café Biru tempo hari.
“Kamu kesambet apa Qik? Daritadi keliatannya girang terus.” tanya Athaya pada Qika.
“Hehehe, kalau bekerja itu tidak harus selalu serius. Sesekali jangan lupa bahagia dengan diri kita sendiri.” jawab Qika dengan mimik wajah cengar-cengir.
“Sejak kapan kamu jadi bijak begini? Eh Qik, cari makan yuk. Laper nih perut daritadi kerjaannya banyak.”
“Kamu mau makan apa? Aku traktir deh. Eh, tapi makannya harus di café yang waktu itu ya.” wajah Qika masih cengar-cengir. Ada maksud kenapa ia mengajak Athaya ke Café Biru. Yang tidak lain adalah ingin bertemu dengan Ednan.
“Serius? Aaaaa, makasih Qika.” Athaya kegirangan.
“Sama-sama. Si Yola mana? Ajak sekalian biar seru.” Qika menengok mencari Yola.
“Yola dinner sama pacarnya. Barusan dia berangkat.”
“Ohh. Kalau gitu berangkat yuk.” Kemudian mereka berdua berboncengan berangkat ke Café Biru yang jaraknya tidak begitu jauh dari kontrakan mereka.

Sabtu 19 Mei 2015, Café Biru
   
    Ednan tidak semangat seperti biasanya. Ada tekanan batin yang menghantuinya. Kadang ia berpikir. Pantaskah melakukan semua ini? Dengan tegas ia menjawab dalam diam. PANTAS. Ednan yakin, semua harapan pasti ada lika-liku jalannya. Jika dalam roda yang berputar, mungkin ia sekarang berada dibawah.
“Kalian keren guys! Tapi aku perhatikan Ednan tidak semangat seperti biasanya. Ada apa Ednan?” tanya Noa pada Ednan.
“Tidak ada apa-apa Noa.” kemudian ia tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
“Hei, Ednan. Ada masalah apa kamu?” bisik Devi lirih pada Ednan.
“Aku lupa lagi rumahmu dimana, Dev.” goda Ednan pada Devi dengan membisikinya pelan. Kemudian Devi tertawa dan menepuk bahu Ednan.
“Oke. Kalau begitu aku dan Noa pulang duluan ya.” pamit David pada Ednan dan Devi yang disusul oleh Noa.
“Duluan semua.” Noa melambaikan tangan kearah Devi dan Ednan.
“Hati-hati di jalan.” jawab mereka kompak.    
   
    Devi sebenarnya tau benar Ednan sedang ada masalah. Tetapi ia hanya diam saja dan mencoba untuk menghibur Ednan. Bercerita tentang masa kecil mereka yang membuat Ednan tertawa terbahak-bahak. Terlebih saat Devi bercerita tentang Ednan yang paling cengeng diantara teman-temannya. Atau saat Ednan bercerita tentang Devi yang sering dimarahi Mbok Sanem karena sering ketahuan mencuri buah mangganya.
   
    Senja sudah berganti menjadi malam. Yang biasanya Ednan dan teman-temannya baru akan tampil, sekarang mereka sudah selesai. Karena mereka mendapat jadwal bermain pertama. Kini hanya tinggal Devi dan Ednan. Bercanda-ria menikmati angin malam. Devi masih mencoba menghibur Ednan dari kesedihannya. Sahabat tidak hanya ada dalam kesenangan saja. Namun yang penting justru sahabatlah yang paling dibutuhkan saat kita sedang dalam kesedihan.
“Udah malam, Nan. Pulang yuk.” ajak Devi pada Ednan.
“Ehh, kamu duluan aja Dev. Aku masih pengen disini.” Ednan mencoba menutup-nutupi.
“Beneran masih pengen disini? Yaudah kalau begitu. Aku duluan ya, Nan.” sebelum Devi pergi, ia selalu mencubit pipi Ednan. Kemudian ia berjalanan meninggalkan Ednan.
“Aduhh. Iya, hati-hati Dev. Makasih buat malam ini ya.” Ednan tersenyum pada Devi.
   
    Kini hanya tinggal Ednan duduk sendiri menikmati secangkir kopi hangatnya. Ia tidak tahu harus bermalam dimana. Hanya trotoar yang ada dipikirannya. Untuk menginap dirumah teman, ia malu pada dirinya sendiri. Ednan harus menyelesaikan masalah pribadinya sendiri.
***
    Selesai makan, Qika dan Athaya tidak langsung pulang. Qika masih menunggu Ednan dan teman-temannya tampil di panggung kecil itu. Tetapi sudah daritadi ia tidak melihatnya. Resah mencari-cari pria berambut panjang itu. Kepalanya menengok kesana-kemari. Namun hasilnya tetap nihil. Qika tidak menemukan Ednan. Mungkin karena ini malam minggu, pengunjung Café Biru sangat ramai sehingga sulit untuk menemukan Ednan.
“Qik, ayo pulang. Udah kenyang nih, tinggal ngantuknya aja.” keluh Athaya pada Qika.
“Sebentar lagi deh. Tunggu.” Qika masih menengok-nengok mencari Ednan.
“Kamu nyari apa sih?” tanya Athaya.
“Nggg, ngga nyari apa-apa kok. Kamu udah ngantuk berat? Kamu pulang duluan aja bawa motor. Nanti aku nyusul deh. Aku masih pengen disini.” alibi Qika pada Athaya.
“Beneran Qik? Oke deh. Aku pulang dulu ya. Makasih makanannya Qika.” kemudian Athaya pergi meninggalkan Qika.
“Iya sama-sama. Hati-hati.” jawab Qika.
   
     Masih mencari-cari pria berambut panjang. Qika yakin Ednan pasti berada di Café Biru. Malam semakin larut, pengunjung satu-persatu melangkahkan kaki keluar. Qika masih mencari-cari sembari menikmati secangkir kopinya. Tiba-tiba ia melihat sesosok pria berambut panjang duduk di pojokan dengan gitarnya. Wajahnya tidak terlalu kelihatan. Namun Qika yakin itu pasti Ednan. Dengan berani kemudian Qika menghampirinya.
“Hei, pria rambut panjang.” Panggil Qika dari belakang. Kemudian pria itu membalikkan tubuh. Memang benar itu adalah Ednan. Tetapi ada kesedihan di wajahnya. Tidak seperti Ednan yang ditemui Qika siang tadi.
“Hei. Kamu Qika kan? Sini duduk.” Ednan mempersilahkan duduk Qika disampingnya.
“Iya, makasih.” jawab Qika dengan malu-malu.
“Kamu udah tau namaku kenapa masih manggil ‘pria rambut panjang’? Hahaha.”
“Nama kamu Ednan kan? Aku masih ingat betul. Aku manggil kamu begitu untuk mengantisipasi. Soalnya tadi wajahmu tidak keliatan. Cuma rambut panjangmu aja. Hahaha.”
“Gimana kalau pas aku membalikkan ternyata bukan aku? Hahaha. Eh, betul kan?”
“Wah aku nggak bisa bayangin betapa malunya aku. Haha. Eh, Ednan kok kamu nggak main musik?” tanya Qika.
“Kamu pasti datang kesini agak malam ya? Aku mainnya dapat jadwal awal sekitar jam 19.00.”  jawab Ednan.
“Terlambat nih aku. Hahaha. Ednan, kenapa kamu tadi keliatan sedih gitu?” tanya Qika penasaran. Ednan bingung, apakah harus menceritakannya pada Qika?
“Kamu pernah punya cita-cita tapi dilarang orangtuamu?” tanya Ednan balik.
“Belum pernah. Pasti sulit itu keadaannya.”
“Memang sulit. Sialnya, aku mengalaminya sekarang ini. Dari dulu ibuku melarang aku bermusik. Hingga tadi aku disuruhnya berhenti bermusik disini. Tetapi dengan halus aku menolaknya dan pergi dari rumah.” terang Ednan menunduk dengan membenahi rambut panjangnya itu.
“Aku tau keadaanmu, Nan. Kamu pergi dari rumah? Mau tidur dimana?” tanya Qika.
“Belum kepikiran itu, Qik. Mungkin tidur di trotoar.” jawab Ednan pasrah.
“Ya jangan dong. Kamu mau tidur di kontrakanku? Ada kamar kosong. Tapi kamu harus ijin sama dua temanku. Dan lagi, kamu jangan macam-macam.” ancam Qika dengan matanya melotot bercanda.
“Serius, Qik? Tenang, aku nggak bakal macam-macam kok.” jawab Ednan gembira.
“Kalau gitu pulang sekarang yuk. Udah malam. Mau disini sampai kapan? Hahaha.”
“Oke Qika.”
   
    Kemudian mereka berdua berjalan pulang menuju kontrakan Qika. Ednan lega karena ia sudah mendapatkan tempat tinggal sementara untuk mengistirahatkan badan. Dalam hati Ednan sangat berterimakasih pada Qika karena dengan mudah Qika menaruh kepercayaan pada Ednan. Padahal mereka baru saja kenal.
“Kamu tunggu diluar sini dulu bentar.” Qika menyuruh Ednan untuk menunggunya diluar.
“Iya, Qik.” Ednan duduk di kursi depan pintu untuk menunggu Qika kembali. Qika masuk ke dalam untuk membangunkan dua temannya. Pertama, ia membangunkan Yola.
“Hei, Yol. Bangun bentar woi. Penting nih.” Qika menggoyang-goyangkan Yola yang sedang tertidur.
“Ehh. Emm. Ada apa sih? Ganggu orang tidur aja.” Yola terbangun.
“Udah, kamu bangun dulu aja terus ke ruang tamu. Aku tunggu.” Qika pergi meninggalkan Yola menuju kamar Athaya yang ada disamping kamar Yola.
“Sstt, Athaya. Bangun bentar dong. Penting nih.” sama seperti saat membangunkan Yola, Qika menggoyang-goyangkan badan Athaya hingga terbangun.
“Ada apa, Qik?” jawab Athaya lirih.
“Penting nih. Kamu cepet-cepet ke ruang tamu ya. Aku tunggu.” kemudian Qika pergi ke ruang tamu.
“Ada apaan sih Qik?” tanya Yola dan Athaya kompak.
“Begini, temenku yang namanya Ednan sedang ada masalah. Dia mau tidur disini di kamar yang kosong. Gimana? Cuma sementara kok.” jelas Qika pada mereka sambil meneguk air putih.
“Apaaaa?” jawab mereka kompak.
“Ssst. Hei, jangan keras-keras. Orangnya ada diluar.” Qika menyuruh mereka diam.
“Mana orangnya, Qik? Aku pengen liat.” tanya Yola pada Qika.
“Itu diluar orangnya.” Kemudian Yola membuka pintu. Didapati Ednan sedang duduk dan memberi senyum padanya. Yola kembali masuk ke dalam.
“Aduh, kalau yang ini suruh tidur di kamarku aja, Qik.” Qika tersedak air putih yang diminumnya.
“Ngawur kamu, Yol. Aku suruh dia masuk ya. Kita ngomongin ini bareng-bareng.” Qika menghampiri Ednan yang berada diluar dan menyuruhnya masuk.
“Begini Ednan, kami semua tidak keberatan kamu bermalam disini untuk sementara waktu. Tetapi kamu jangan macam-macam sama kita.” jelas Athaya pada Ednan.
“Tenang, aku nggak akan macam-macam sama kalian. Kalau perlu, besok aku akan membuat bisnis Macaroni Schotel kalian jadi semakin ramai.” Ednan menawarkan.
“Dengan cara?” tanya Qika dan Yola.
“Jika ada pelanggan yang memesan dua macaroni, aku dan Qika akan mengantarkannya. Sampai disana, aku akan menyanyikan sebuah lagu pada mereka dengan gitarku. Bagaimana?” jelas Ednan.
“Jenius! Tapi sebentar, kamu minta bayaran untuk itu?” tanya Athaya.
“Tidak. Tapi ijinkan aku tinggal disini untuk sementara waktu.” Ednan memohon.
Mereka bertiga berdiskusi dengan berbisik, akhirnya mereka memberikan ijin Ednan untuk tinggal di kontrakan mereka sementara waktu.
“Oke, Ednan. Kami setuju. Tapi sekali lagi ingat. Jangan pernah sekali-kali ada niatan untuk macam-macam dengan kami.” Qika memastikan.
“Beres, Qik.” Ednan meyakinkan mereka.
   
    Walaupun sudah malam, tetapi mereka masih mengobrol untuk mengenal lebih dekat. Bercanda untuk saling menceritakan satu sama lain. Tak lupa Ednan menghibur mereka dengan keahliannya. Ednan menyanyikan beberapa lagu pada mereka dengan gitarnya hingga larut malam. Dari awal hingga akhir mata Qika dan Ednan selalu bertemu. Mungkin itulah yang disebut orang malu-malu.
   
    Yola dan Athaya pamit untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh Qika. Sedangkan Ednan dan Qika masih berada di ruang tamu untuk mengoborol. Disatu kesempatan, Ednan menyanyikan sebuah lagu yang sedang menggambarkan isi hatinya. Tentang seorang wanita yang datang mengubah kesedihannya menjadi cinta. Yang tak lain wanita itu adalah orang yang sedang berhadapan dengan Ednan. Saat menyanyikannya, mata Ednan terus memandangi Qika dengan tersenyum. Qika hanya menundukkan kepala tersipu malu. Ednan berhenti memainkan gitarnya. Ia menaikkan kepala Qika yang tertunduk. Kemudian melepas kacamatanya.
“Eh, apaan sih, Nan?” dengan cepat Qika memakai kacamatanya kembali.
“Itu kacamata minus atau cuma buat gaya, Qik? Kalau cuma buat gaya mending dilepas aja. Kamu keliatan lebih cantik kalau nggak pake kacamata. Ya, walaupun dipakai juga cantik sih. Hahaha.” goda Ednan pada Qika.
“Eh, Ednan. Itu rambut kamu asli atau cuma wig? Kalau cuma wig mending dilepas aja. Kamu keliatan jelek kalau pake wig. Ya, walaupun dilepas tetap jelek sih. Hahaha.” balas Qika pada Ednan.
“Ah, sial. Hahaha.” Ednan mengusap rambut Qika.
“Udah malam, Nan. Aku mau tidur dulu. Itu kamar kamu disitu. Masih agak kotor, nanti kamu bersihin sendiri ya.” Qika menunjuk sebuah kamar yang ada di kanan mereka. Kemudian ia berjalan menuju kamarnya meninggalkan Ednan.
“Iya, Qik. Selamat tidur.” jawab Ednan. Kemudian Ednan membersihkan kamarnya dan tertidur pulas.

    Dini hari kembali lagi. Semua sunyi tanpa terkecuali. Ketika cinta meniti sebuah jalan yang pasti, maka tidak ada lagi yang akan menghalangi. Cinta yang bersemi dari dalam hati, mengantarkan dini hari menuju esok pagi. Namun yang pasti, cinta sejati akan mendampingi mereka hingga tua nanti.

    Hari pertama Ednan bangun dari tidurnya. Namun bukan terbangun di kamarnya sendiri. Ia baru sadar, sekarang ini ia sedang berada di kontrakan Qika. Selesai merapikan kasurnya, Ednan keluar kamar. Dilihatnya tidak ada orang diluar. Kemudian ia melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul enam pagi. Mungkin semuanya masih tertidur karena semalam. Ednan duduk di kursi ruang tamu. Kreekk….. terdengar suara pintu terbuka. Ternyata adalah Yola.
“Sudah bangun, Nan? Itu kalau kamu mau kopi bikin sendiri di dapur. Aku mau mandi dulu.” Yola menunjuk dapur lalu pergi ke kamar mandi.
   
    Perfect! Batin Ednan. Kopi di pagi hari adalah kebiasaan Ednan. Dengan segera ia menuju ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Saat mengaduk kopinya, Ednan dikagetkan oleh Qika dari belakang.
“Hei, rambut panjang. Sudah bangun aja nih. Hehe.” Qika mengangetkan Ednan.
“Eh, Qik. Mau kopi? Aku buatin nih. Kamu tunggu aja di ruang tamu ya.”
“Makasih Ednan. Aku tunggu ya.” Qika pergi meninggalkan Ednan di dapur.
   
    Pagi itu mereka mengopi dan berbincang-bincang di ruang tamu. Sembari menunggu pelanggan yang memesan macaroni. Biasanya di Minggu pagi seperti ini banyak sekali yang memesan macaroni mereka untuk sarapan. Tiba-tiba telfon rumah mereka berbunyi. Qika mengangkatnya.
“Halo, selamat pagi. Disini Macaroni Schotel. Ada yang bisa dibantu?” sapa Qika pada seseorang diseberang sana.
“Saya pesan dua Macaroni Pasta. Dikirim ke alamat Jl.Hanoman no.23 ya.”
“Kebetulan mbak, kami sedang ada promo kecil-kecilan. Kalau mbak pesen dua macaroni, nanti akan ada bonusnya. Tunggu ya mbak, kami akan segera antarkan.” Qika menutup telfonnya.
“Yolaaa. Athayaaa. Dua Macaroni Pasta cepet dibuat ya.” teriak Qika dari ruang tamu.
“Oh, jadi begitu sistemnya. Yola dan Athaya yang memasak, kamu yang mengantarkan?” tanya Ednan pada Qika.
“Iya, kurang lebih seperti itu….” sebelum menyelesaikan bicaranya, Ednan memotong omongan Qika.
“Atau jangan-jangan kamu tidak bisa memasak? Hahaha.” ejek Ednan pada Qika.
“Enak aja. Aku bisa memasak tapi cuma sedikit. Hehe.”
   
    Dua Macaroni Pasta siap diantarkan. Ednan segera mengambil gitarnya dan mengantarkan pesanan bersama Qika. Mereka harus cepat, karena macaroni harus dalam keadaan hangat. Dengan diboncengkan Ednan, maka Qika yang membawa macaroninya. Akhirnya mereka sampai di alamat itu. Setelah Qika memberikan pesanan dan menerima bayaran dari pembeli, Ednan segera memainkan satu lagu dengan gitarnya. Dengan suaranya dan alunan gitar yang merdu, Ednan berhasil membuat pemesan pertama di Minggu pagi itu terpesona. Ditambah, Ednan mempunyai wajah yang tampan bagi kalangan wanita.
Sejak hari itu, angka pesanan macaroni mereka naik drastis. Tidak heran mayoritas pemesan adalah mahasiswi di kampus Qika dan Yola. Biasanya dua mahasiswi sengaja patungan untuk membeli dua macaroni agar mendapat bonus nyanyian dari Ednan. Namun Ednan dan Qika tidak hanya mengantarkan macaroni pada pembeli yang memesan dua macaroni. Hingga saat ini masih ada pembeli yang memesan satu macaroni.

    Hari berganti hari, Ednan masih membantu usaha Qika dan temannya. Ednan juga masih tinggal di kontrakan Qika. Pada siang sampai sore hari Ednan membantu mengantarkan pesanan. Tapi saat malam hari Ednan pergi ke Café Biru untuk bermain musik bersama Devi, David dan Noa. Jika ia tidak pergi ke café, maka Ednan tidak akan mendapatkan uang. Pernah Qika dan temannya ingin menggaji Ednan karena telah menaikkan omset mereka. Tetapi dengan halus Ednan menolaknya. Karena sudah diijinakn tinggal di kontrakan mereka saja sudah cukup bagi Ednan.

    Suatu hari saat Ednan dan Qika mengantarkan pesananan ke sebuah alamat, Qika kaget saat pemesan macaroni mereka keluar dari pintu rumah.
“Qika? Apa kabar?” sebelum Qika menjawab, Azka sudah memeluknya. Ednan kaget. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun saat dipeluk oleh Azka, Qika melihat wajah Ednan yang gelisah. Ada rasa bersalah bagi Qika.
“Jadi kamu ya penjual macaroni yang sedang hangat dibicarakan orang itu? Haha. Sini Qik masuk ke dalam.” ajak Azka dengan menarik tangan Qika. Tetapi Ednan hanya menunggu diluar duduk di kursi depan dengan memetik sembarang senar gitarnya. Pelan, bersuara, tapi tidak bernada. Lama Ednan menunggu. Samar-samar ia mendengar obrolan mereka kalau Azka masih cinta pada Qika dan akan terus mengejarnya. Ednan hanya diam dalam bisu. Ia tidak berhak berbuat apa-apa. Mengingat Ednan bukan siapa-siapa bagi Qika.
“Jangan lupa tanggal 24 Juni nanti datang ya. Hati-hati dijalan Qik.” Azka melambaikan tangan pada Qika. Kemudian Ednan dan Qika memacu motornya kembali ke kontrakan.
Selama perjalanan pulang yang biasanya diisi dengan canda tawa, kini mereka hanya diam tidak bicara. Ednan tidak berani membuka pembicaraan, tetapi Qika dengan berani mencoba mengajak Ednan bicara.
“Itu tadi mantan pacar aku. Azka namanya.” Qika membuka pembicaraan.
“Orang kayak kamu pernah punya pacar juga ya? Haha.” Ednan mencoba merubah suasana. Meskipun sebenarnya Qika tau apa yang Ednan pikirkan.
   
    Semenjak kejadian itu, hubungan Ednan dan Qika menjadi renggang. Padahal sebelumnya mereka sangat dekat. Mengetahui ada seseorang yang masih mencintai Qika, Ednan mencoba menjauh darinya. Ia tidak mau menghancurkan perasaan Azka pada Qika. Namun sebaliknya, Qika merasa bersalah pada Ednan. Ia terus mendekati Ednan seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sikap Ednan telah berubah pada Qika. Tidak seperti dulu lagi.

                                                                         

23 Juni 2015
  
    Pagi hari matahari kembali menyinari bumi. Ednan terbangun. Dia ingat betul hari ini hari apa. Tanggal 23 Juni ia harus mengisi acara ulang tahun saudara Lycan bersama Devi. Dia melirik jam dinding kamarnya. Masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pelan-pelan dia turun dari kasurnya. Pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian kembali lagi ke kamar untuk memberesi semua barang-barangnya. Dia sudah berniat untuk pergi dari kontrakan Qika. Bagi Ednan, kehadiran dirinya di kehidupan Qika justru akan menghancurkan perasaan Azka. Walaupun berat baginya untuk meninggalkan Qika. Seorang wanita yang dicintainya.
   
    Ednan sudah berjanjian dengan Devi agar menjemputnya di depan kontrakan Qika. Ia mengendap-endap keluar dari kontrakan. Akhirnya berhasil keluar tanpa sepengetahuan Qika dan teman-temannya. Saat membuka pagar, sudah ada mobil Devi yang siap menjemputnya. Maafkan aku, Qik. Batin Ednan.
   
    Perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Di dalam mobil Ednan bercerita tentang semuanya pada Devi sahabatnya. Malam nanti pintu rumah Devi terbuka lebar untuk Ednan bermalam. Orangtua Devi sudah kenal dekat dengan Ednan. Bahkan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.
   
    Acara ulang tahun saudara Lycan sudah dimulai. Dengan lancar Devi menggesek biolanya. Begitupun dengan Ednan. Ia bernyanyi sambil memainkan gitarnya untuk menghibur anak muda teman-teman saudara Lycan. Semua orang terhibur dengan mereka berdua. Kebanyakan Ednan membawakan lagu yang sedang ngehits di kalangan anak muda jaman sekarang. Selesai acara mereka berdua pamit kepada Lycan.
“Lycan, kami berdua pamit pulang dulu. Sudah malam ini.” Devi berpamitan pada Lycan.
“Iya. Makasih Devi dan Ednan. Sudah datang di acara punya saudara. Hati-hati dijalan ya.” Kemudian Devi dan Ednan pergi meninggalkan Lycan. Untuk teman sendiri, Ednan tidak meminta Lycan untuk membayarnya.
***
    Qika masih gelisah mencari Ednan. Dari pagi hingga malam ia tidak melihat pria berambut panjang itu. Yang ada dikepalanya adalah kenapa Ednan pergi meninggalkannya tanpa alasan seperti ini. Jika hanya karena masalah Azka kenapa ia tidak berterus terang? Qika masih menunggu Ednan kembali. Dia terduduk di kursi depan rumah. Hingga Yola dan Athaya merasa kasihan padanya.
“Qika, jika dilihat dari kamar Ednan mungkin dia tidak akan kembali. Semua barang sudah dikemasinya.” Yola mencoba menenangkan Qika.
“Bukan begitu Yola, kenapa Ednan pergi tanpa pamitan? Dia tidak mungkin pulang ke rumah. Dia pernah bercerita padaku sebelum dia masuk teve atau media cetak dia tidak akan pulang ke rumah. Sebelumnya aku juga baru ada masalah sama dia.” jelas Qika.
“Sudahlah, Qik. Masih ada kami disini.” Athaya memeluk Qika.
   
    Malam-malam berlalu. Dewi malam hari ini berwarna seperti biru. Meniupkan angin akan rindu. Rindu yang semu ini akankah tertiup angin menuju doa penghulu?
Hanya menunggu yang bisa Qika lakukan selama ini. Menunggu pria berambut panjang kembali padanya. Tetapi waktu yang dibuangnya untuk menunggu Ednan kembali tidak membuahkan hasil. Akhirnya karena lelah menunggu, hari ini Qika pergi ke Café Biru. Siapa tau ia dapat bertemu dengan Ednan. Hari itu Café Biru tidak begitu ramai. Mudah bagi Qika untuk menemukan seseorang. Betul apa yang dipikirnya, ia melihat seorang pria berambut panjang sedang bercanda dengan seorang wanita. Perlahan Qika menghampirinya.
“Ednannn.” panggil Qika. Benar pria itu adalah Ednan. Kemudian Ednan berdiri menghampiri Qika.
“Qika? Kenapa kamu disini?” tanya Ednan.
“Kenapa? Aku sudah menunggu kamu berhari-hari. Hari ini aku mencoba mencarimu Ednan. Tapi apa? Kamu malah bertanya kenapa aku disini?” Qika mendorong pelan tubuh Ednan. Ednan hanya diam.
“Kamu pergi begitu saja tanpa berpamitan. Dan sekarang kamu disini sudah membawa wanita lain? Ingat ini Ednan, aku dan Azka sudah tidak ada lagi hubungan apa-apa. Kamu tidak bisa pergi begitu saja dariku Ednan. Aku mencintaimu.” kali ini dorongan Qika pada tubuh Ednan semakin keras. Dan lagi, air matanya kini menetes.
“Dengar Qika. Aku tidak mau melukai perasaan Azka. Dia masih mencintaimu. Kalau kamu bilang kamu cinta padaku, aku juga. Soal wanita itu, itu adalah Devi sahabatku.” jelas Ednan pada Qika dengan memegang kedua bahunya.
“Jadi kamu meninggalkan seseorang yang kamu cintai begitu saja? Kalau benar-benar cinta aku, kamu tidak melakukan ini, Ednan.” Qika melepaskan tangan Ednan dari bahunya. Ia berlari pergi. Ednan tidak mengejarnya. Kata-kata barusan yang diomongkan Qika padanya benar-benar membuat Ednan merasa bersalah. Ia gegabah telah melakukan hal yang bodoh. Seperti tertiup angin, Qika hanya pergi begitu saja.
“Ada apa Ednan?” tanya Devi pada Ednan. Tapi Ednan hanya diam saja. Devi tau apa yang sedang dirasakan Ednan. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan memeluk sahabatnya itu.
   
    Semuanya sudah berlalu. Pergi begitu saja tanpa mengucapkan rindu. Tubuh yang sudah tidak ada lagi disini, tetapi perasaan mereka berdua masih menyatu. Hanya pada Devi, Ednan sekarang bergantung. Kini sudah genap seminggu ia tinggal dirumah Devi. Ada sedikit rasa malu karena selalu merepotkan orang lain. Mau kembali ke rumah juga tidak mungkin, karena Ednan belum bisa membuktikan kepada ibunya kalau musik itu tidak selalu buruk.
   
    Di esok pagi, ada wanita separuh baya datang ke rumah Devi dengan membawa selembar koran. Devi segera memanggil Ednan karena wanita itu adalah Ibu Ednan. Ednan pada awalnya kaget kenapa ibunya datang mencarinya. Kemudian ia menemui ibunya.
“Ednann. Ibu rindu sekali padamu, Nak.” Ibu Ednan memeluk Ednan sangat erat.
“Ednan juga kangen sama mamah.” ucapnya.
“Kamu berhasil, Nan. Tadi pagi ibu membaca koran. Ibu kaget, ada wajahmu di salah satu berita.” Ibu Ednan membuka koran yang dibawanya.
“Berita apa, mah?” Ednan melihat salah satu gambar yang ditunjuk ibunya. Memang benar disitu ada wajahnya, tetapi difoto itu ada Qika juga. Judul berita itu membuat Ednan kaget.
“Unik. Jika anda memesan dua macaroni, maka akan diantarkan tanpa ongkos kirim dan akan dinyanyikan sebuah lagu oleh penjualnya.” Dibawah berita itu ada foto Ednan bersama dengan Qika sedang mengantarkan pesanan. Seketika membuat Ednan rindu pada Qika. Wanita yang dulu dicintainya. Sekarangpun juga masih sama.
   
    Kemudian Ibu Ednan dan Ednan berterimakasih banyak kepada keluarga Devi karena telah mengizinkan Ednan untuk tinggal beberapa waktu.
“Terimakasih buat semuanya, Dev.” Ednan memeluk Devi erat.
“Sama-sama Ednan.” Devi melepaskan pelukan Ednan dan tidak lupa mencubit pipinya pelan.
   
    Semua kembali normal. Ednan kembali lagi kerumahnya. Dan sekarang tidak ada lagi beban karena ibunya sudah memberinya izin untuk serius dalam mendalami dunia musik. Ednan kaget ketika ibunya bertanya padanya.
“Ednan, siapa wanita yang bersamamu itu?” tanya Ibu Ednan. Ednan tidak tau harus menjawab apa. Akhirnya dengan menghela nafas ia menjawab.
“Dia wanita hebat yang telah mengajarkan Ednan banyak hal, Mah.” jawab Ednan dengan bangga pada ibunya.
“Besok ajak dia kemari, Nan. Mamah pengen ketemu sama dia.” pinta ibunya pada Ednan. Ednan bingung bagaimana caranya. Untuk bertemu saja Ednan malu. Akhirnya dia mempuyai ide untuk membawa Qika kerumahnya.
***
    Masih seperti biasa, Qika sibuk dengan pesanan yang harus diantarkan. Awalnya para pelanggan protes karena sekarang sudah tidak ada lagi bonus yang diberikan Ednan. Namun usaha mereka tetap ramai. Yola dan Athaya masih sibuk di dapur. Sedangkan Qika sibuk mengantarkan pesanan kesana-kemari.
“Halo, selamat sore. Disini Macaroni Schotel. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Qika pada seseorang diseberang sana.
“Saya pesan Macaroni Hot diantarkan ke alamat Jl.Manggis 9 no.85. Jangan lupa, harus masih dalam keadaan hangat ya.” kemudian telfon itu ditutup. Qika berpikir sejenak. Sepertinya alamat itu tidak asing lagi baginya. Tetapi pesanan harus diantarkan.
“Yolaaaa. Macaroni Hot satu. Cepet yaa.” teriak Qika.
   
    Setelah selesai, Qika mengantarkan pesanan ke alamat tadi. Dengan pelan ia menuju ke alamat itu. Ketika hampir sampai, ia ingat alamat itu adalah rumah Ednan. Tetapi saat ditelfon tadi suaranya adalah suara wanita. Qika bingung. Dia ingin segera putar balik dan kembali lagi ke kontrakan. Tapi dia takut reputasi usahanya menjadi jelek karena dia. Akhirnya dengan berani dia tetap menuju ke rumah itu.
“Selamat sore. Macaroni Hot sudah sampai.” teriak Qika dari luar sambil mengetuk pintu. Selang beberapa detik keluar wanita setengah baya. Yang tidak lain adalah Ibu Ednan.
“Memang betul cantik seperti difoto.” tutur Ibu Ednan pada Qika.
“Maaf bu, foto apa ya?” tanya Qika. Kemudian Ibu Ednan menunjukkan koran yang dibacanya kemarin. Qika kaget tidak percaya. Ada foto dirinya bersama Ednan. Dia berpikir, jika ada Ednan di koran itu, berarti sekarang ini Ednan berada dirumah. Memang betul, kemudian dari belakang keluar pria berambut panjang. Ednan.
“Ednan?” sapa Qika.
“Hei, Qika. Mah, ini dia wanita itu.” sapa Ednan pada Qika. Kemudian ia memperkenalkannya pada ibunya.

                                                                          EPILOG
   
    Tempat itu ramai sekali. Banyak sekali pengunjung yang datang dan pergi. Ednan dan Qika duduk bersantai menikmati dua gelas es tehnya. Begitupun dengan Yola dan Athaya. Kini usaha Macaroni Schotel mereka sudah berkembang pesat. Yang dulunya Qika mengantarkan pesanan pada pembeli, sekarang justru pembelinya yang datang ke tempat ini. Ibu Ednan telah memberikan modal pada mereka. Dengan jerih payah, akhirnya mereka berempat telah berhasil membangun café Macaroni Schotel yang dilengkapi dengan live acoustic. Semacam Café Biru namun khusus menyediakan berbagai makanan macaroni.
   
    Yola dan Athaya tidak perlu lagi memasak. Kini mereka telah mempunyai banyak karyawan. Tetapi tidak dengan Ednan, saat malam hari ia tetap bermusik bersama temannya disini. Sekedar untuk menghibur pengunjung yang datang. Tentang hubungan Qika dan Ednan, mereka sudah resmi berpacaran selama dua tahun ini. Dan mungkin beberapa bulan lagi mereka akan mendapatkan doa dari penghulu. Diatas panggung kecil mereka terdapat tulisan “Alunan Musik Macaroni Schotel.”


                                                                          ***
Baca Selengkapnya >>>