Untuk terkasih, tetaplah pada pendirianmu.
Jangan kau telan mentah-mentah omongan orang tentang buruknya diriku. Nilailah dari apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu dengar. Saat ini aku benar-benar butuh kedewasaanmu itu. Kedewasaan yang menumbuhkan rasa itu lagi. Kedewasaan yang membuatku berpandangan beda tentangmu.
Untuk terkasih, peganglah erat atau lepaskan.
Buanglah ragu yang selalu menyertaimu itu. Keraguan yang menciptakan kebingungan diriku. Buat apa ragu jika aku sudah menunjukkan semuanya? Buanglah. Percayalah. Kasih, dia akan rapuh jikalau kau memegangnya dengan ragu. Aku tahu, aku paham. Kau lebih memilih kata ‘ragu’ daripada sekadar kata ‘tidak’ untuk tidak menyakitiku. Terimakasih.
Untuk terkasih, ada batas-batas tertentu.
Kasih, usia itu berbatas. Wilayah juga berbatas. Begitu pun dengan perjuangan. Ada saatnya dimana seseorang terus berjuang atau berhenti berjuang. Terus berjuang karena seseorang itu mendapatkan respon balik atau hasil dari perjuangannya. Berhenti berjuang karena seseorang itu mendapatkan keraguan dari perjuangannya. Lucu, bukan?
Untuk terkasih, apakah kau masih ada disana?
Kasih, aku mendapati kau berbeda. Mungkinkah kau masih belum bisa bersemayam di rengkuhanku? Mungkinkah kau masih belum bisa lari dari seseorang yang sebelumnya sudah membuatmu nyaman? Kasih, aku sudah mencoba menerka-nerka apa yang ada dipikirmu. Alhasil, nihil. Aku benci dengan kemisteriusan ini.
Untuk terkasih, terimakasih.
Bukan sekadar melontarkan kata terimakasih kemudian pergi. Bukan. Tetapi terimakasih karena kau sudah ada. Terimakasih karena sudah membuatku berjuang. Kasih, aku akan terus mencoba.
No comments:
Post a Comment