Friday, July 24, 2015

Candik Ayu

    “Awwww.” jerit Nicholas lirih dilanjutkan dengan menggigit kecil bibirnya sendiri. Tepat dibelakang tubuh tengkurapnya ada seorang pria yang sedang sibuk menancapkan jarum-jarum kecil pada punggung Nicholas. Ini kali kedua Nicholas membuat tatto ditubuhnya. Tempo hari ia datang kesini untuk membuat tatto di kedua lengannya dan gambar love kecil dijari kelingkingnya. Tak perlu khawatir bagi Nicholas untuk mencari pekerjaan dengan tatto yang ada ditubuhnya. Ia memiliki sebuah distro ternama di kota Solo. Hanya dengan mengontrol pegawai-pegawainya dan duduk santai di rumah, Nicholas menerima uang setiap harinya. Dengan uang itu Nicholas bisa bersenang-senang dan menjalani rutinitasnya. “Sudah selesai bos Nicho.” ucap tukang tatto itu yang sekaligus melegakan Nicholas karena ia tak harus menggigit bibirnya lagi. Tukang tatto itu meninggalkan Nicholas dan kembali dengan membawa sebuah kaca besar. Kemudian Nicholas membalikkan tubuh dan kepalanya menengok kebelakang untuk melihat hasil tatto dipunggungnya. “Sesuai harapan.” ucap Nicholas tersenyum pada tukang tatto tersebut. Setelah membayar ia segera memacu motor 250 ccnya menelusuri jalan menuju distro miliknya yang berada sedikit jauh dari tempat itu.
    
    “Selamat siang, rik.” sapa Nicholas pada salah satu pegawainyanya yang sedang bekerja. “Oh, hei, siang juga, Nicho.” jawab Erik singkat. Nicholas sudah membuat perjanjian kepada seluruh pegawainya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan “bos” karena menurutnya semuanya adalah sama. Tidak memandang jabatan dan tidak memandang semua perbedaan. Walaupun Nicholas adalah bos disitu, namun ketika ia berkunjung untuk mengontrol pegawainya, seolah-olah ia juga pegawai di tempat itu. Nicholas juga melayani pengunjung yang datang dengan sangat ramah. Namun dibalik kebaikan hatinya, Nicholas mempunyai sifat yang sangat dibenci oleh kalangan wanita. Yap, genit. Setiap ada pengunjung yang cantik, Nicholas cepat-cepat mengambil topi dagangannya dan memakainya agar terlihat keren di depan wanita itu. Tetapi tidak sedikit wanita yang tertarik dengan Nicho saat digodanya. Karena dibalik sifatnya yang genit pada wanita, Nicho mempunyai paras wajah yang sangat tampan. Hidungnya yang setinggi Gunung Krakatau dan kumis tipisnya melengkapi ketampanan Nicho. Ditambah dengan jambangnya yang seperti artis Hollywood, membuat setiap wanita luluh dengannya. Meskipun Nicho dikenal hanya sebagai pegawai saja di distronya.
 
    “Nichoo.” panggil Erik mengagetkan Nicholas. Tiba-tiba Erik sudah berada dibelakangnya. “Ada apa, Rik?” tanya Nicholas. Namun Erik tidak menjawab. Ia hanya diam tetapi matanya berkedip mengisyaratkan ada sesuatu dibelakang Nicholas. Saat itu juga Nicholas membalikkan badan. Didapatinya ada seorang wanita cantik. Kemudian ia membalikkan badan lagi menghadap Erik. Nicholas tersenyum padanya. “Makasih men.” Saat Nicholas hendak pergi menghampiri wanita itu tiba-tiba Erik menghentikan langkahnya. Erik mengambil topi disampingnya dan mengenakannya pada Nicholas. Kemudian ia merapikan pakaian bosnya itu dan menepuk bahunya. “Good luck bos.” Nicholas hanya tersenyum kemudian pergi menghampiri wanita itu.
 
    “Kalau mau dicoba dulu bisa, kamar pas ada disebelah barat.” Nicholas membuka pembicaraan dengan berkedok sebagai pegawai. “Oh, enggak mas, saya mau lihat-lihat dulu.” jawab wanita itu tersenyum kemudian pergi meninggalkan Nicholas. Tetapi Nicholas tidak berhenti begitu saja, dikejarnya wanita itu sampai dapat. Atau setidaknya bisa mendapatkan nomor telponnya. “Mbak mau cari celana, baju, atau mungkin rok? Kalau baju ada di sebelah sana. Diskon 50% untuk pembelian diatas 250 ribu.” Sebelum wanita itu berbicara, Nicholas sudah membuka mulutnya lagi. “Kalau celana ada di sebelah timur mbak, kebetulan kemarin datang stock yang baru. Bisa dilihat-lihat dulu. Mari saya antar.” Wanita itu hanya menggelengkan kepala dan mengikuti Nicholas. “Silahkan dipilih dulu mbak, kalau ada yang cocok bisa dicoba di kamar pas.” Nicholas tersenyum. Setelah menunggu lama akhirnya wanita itu memilih sebuah celana berwarna cokelat. Dengan segera Nicholas berlari menuju kasir. “Sorry, ndre. Biar gue aja yang melayani pembeli satu ini.” Andre hanya tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Nicholas. “Ini mas.” Wanita itu memberikan celana yang dipilihnya tadi dan sejumlah uang. “Iya mbak, tunggu sebentar ya.” Nicholas lagi-lagi menunjukkan senyum manisnya pada wanita itu. “Ini mbak barangnya. Oh iya, kebetulan distro kami sedang mengadakan undian berhadiah motor bagi pembeli yang beruntung. Kalau berminat silahkan isi nama dan nomor telepon di kupon ini mbak.” Nicholas memberikan selembar kupon kecil dan sebuah bolpen. Wanita itu segera mengisinya. “Terimakasih mas.” Wanita itu tersenyum dan pergi meninggalkan Nicholas. Dilihatnya kupon yang berada di tangannya. Tercantun sebuah nama yang indah. Eva Diana. Nicholas cengar-cengir memandangi kupon itu. Dengan segera dicatatnya nomor telepon yang tercantum di kupon tersebut.
 
    “Nichoo Nichoo.” panggil Erik yang berdiri di dekat pintu keluar dengan suara lirih. Nicholas segera menghampirinya. “Ya?” jawab Nicho singkat dengan masih cengar-cengir. Erik menunjuk seorang perempuan diluar. Saat Nicholas melihatnya, tiba-tiba wajahnya yang tadinya penuh keceriaan dengan sekejap berubah menjadi murung. Wanita yang bernama Eva Diana tadi sedang berboncengan dengan pacarnya meninggalkan distro Nicho. Wajah Nicho bertambah murung ketika wanita itu mendapati Nicho sedang memperhatikannya dan ia tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Nicho. “Anda belum beruntung bos.” Erik menepuk pundak Nicho dan mengambil topi yang dikenakannya kemudian meletakkannya pada tempat asalnya. “Kenapa harus begini ya, rik?” tanya Nicho pada Erik dengan masih memandangi wanita itu pergi. “Percayalah bos, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah.” jawab Erik bijaksana. “Perasaan dari tadi lo manggil gue bos terus. Tapi inget ya, kalo cuma berdua lo gapapa panggil gue bos, tapi kalo di depan pegawai yang lain dan pengunjung, lo harus manggil gue Nicho. Oke?” “Siap bos!” Erik berdiri tegak dan memberi hormat pada Nicho. Kemudian ia berlalu meninggalkan Nicho untuk melanjutkan pekerjaannya.
 
    “Nitaaa Nitaaa.” Nicho memanggil salah seorang pegawai wanitanya yang sangat gemar tatto. “Iya, ada apa Nicho?” jawab Nita yang sudah berada disampingnya. Tanpa mengucap kata, Nicho langsung menggandeng tangan Nita dan membawanya ke sebuah ruangan di belakang. Setelah memasuki ruangan, Nicho mengunci pintunya. “Eh, mau ngapain Nicho?” tanya Nita bingung. Tanpa basa-basi Nicho dengan gesit membuka baju dan memamerkan tatto baru yang ada dipunggungnya. “Wahh, serius keren banget bos. Tapi sayangnya ada dipunggung. Orang-orang nggak bisa liat dong.” ucap Nita agak kecewa. “Bodo amat, Nit. Yang penting keren kan?” Nicho tersenyum. “Anu bos, sebenarnya Nita juga punya tatto baru.” jawab Nita lirih. “Serius? Mana coba liat.” Nicho penasaran. Tiba-tiba Nita hendak membuka bajunya. Nicho dengan cepat mencegahnya. “Ngapain kamu?” tanya Nicho bingung. “Katanya mau liat tatto Nita yang baru?” “Oalah... hah!?! Lo mau ngasih liat tatto lo ke gue? Gila lu! Kirain tatto-nya ada di tangan atau kaki. Udah nggak usah Nit.” bentak Nicho tidak percaya. Nita hanya tersenyum melihat ekspresi wajah bosnya yang lucu itu. Nicho segera mengenakan bajunya kembali dan pergi meninggalkan Nita. Saat berjalan, kepalanya bergeleng-geleng tidak percaya. Sejak saat itu Nicho tersadar, ternyata bukan hanya laki-laki saja yang mempunyai sifat genit.
 
    Pukul 16.30, Nicho berpamitan kepada seluruh pegawainya pulang ke rumah untuk sekedar melepas penat seharian. Yang pertama adalah masalah wanita yang ternyata sudah punya pasangan tadi dan yang kedua adalah soal Nita. “Rik, gue duluan dulu ya.” Nicho berpamitan pada pegawai favoritnya itu. “Siap bos. Naik motornya pelan-pelan aja, siapa tahu jodohnya ada di pinggir jalan.” goda Erik pada bosnya. Nicho hanya tersenyum dan melambaikan tangannya pada Erik.

***
   
     “Mbok Summ.” panggil Nicho pada pembantunya. “Iya den, ada apa?” “Si Tongki sudah dikasih makan?” tanya Nicho khawatir pada Tongki, hewan peliharaannya. Sejak kecil Nicho sangat suka hewan reptil. Terutama musang. Ia mempunyai cita-cita jika sudah besar nanti ingin memelihara seekor musang. Tetapi bukan musang pandan atau musang bulan yang biasa dipelihara oleh pecinta musang, melainkan ia ingin memelihara musang binturong yang statusnya kini adalah dilindungi negara. Tetapi Nicho bersikeras untuk bisa mendapatkan ijin memelihara hewan itu. Hingga akhirnya setelah mendapatkan ijin, Nicho membeli bayi binturong pada seorang seller dengan harga yang tidak murah. Tepat kemarin, Tongki sudah berumur dua tahun. Tongki dibebaskan di sekitar rumah layaknya seekor kucing. Kemungkinan Tongki hilang atau keluar rumah adalah nol. Karena Nicho sudah membesarkannya dari bayi. “Oke, makasih mbok.” Nicho memberikan senyum ramahnya pada Mbok Sum. “Sama-sama den.” kemudian Mbok Sum berlalu meninggalkan Nicho.
    
    “Tongkiiiiiii...” teriak Nicho memanggil Tongki. Tidak lama kemudian muncul seekor musang berlari dari lantai atas menuju ke arah Nicho berdiri. Tongki dengan gesit memanjat tubuh Nicho dan sekarang sudah berada di bahunya mengendus-endus telinga Nicho. Digendongnya Tongki menuju kamarnya untuk sekedar menghabiskan waktu bermain dengannya. Tidak lupa Nicho juga memberinya susu. Lelah bermain akhirnya mereka berdua tertidur.

***
    Hari-hari berlalu, Nicho masih seperti biasa menjalani rutinitasnya. Siang itu ia kembali ke distronya untuk mengecek sekaligus mencari mangsa. Didapati ada Nita yang sedang melayani pembeli. Nicho ingin menyapanya tetapi canggung karena kejadian tempo hari. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapanya. “Siang Nita.” Nicho melempar senyum padanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Siang juga Nicho.” jawab Nita dengan senyum yang berbeda. Senyum genit. Nicho dengan segera menambah kecepatan berjalannya agar cepat berlalu meninggalkan Nita. Sejak saat itu, menggoda Nicho sudah menjadi hobi Nita.
    
    Nicho berjalan melihat barang-barang dagangannya sendiri sekaligus melayani pembeli. Saat berjalan tiba-tiba ia dikagetkan oleh seorang wanita. “Mas, baju ini ada yang ukurannya M?” “Oh, pasti ada dong, kami punya stock yang ba...” belum selesai bicara, Nicho yang sudah membalikkan badannya dan langsung menatap mata wanita itu, dia hanya terbengong tidak melanjutkan ucapannya tadi. Seorang gadis berkulit putih dengan wajah yang sangat manis sedang berdiri di hadapannya. Ditambah dengan rambutnya yang dikucir ekor kuda membuat semua pria bisa jatuh cinta padanya dalam 5 detik. “Halo, mas? Kok malah bengong?” Wanita itu bingung dan tangannya melambai didepan mata Nicho yang masih terbengong. “Oh, ya mbak, ada yang bisa saya bantu?” Nicho tersadar dari lamunannya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengulangi pertanyaannya. “Baju ini ada yang ukurannya M?” “Oh, ada kok, sebentar saya ambilkan dulu. Mbak tunggu disini dulu ya.” Nicho pergi mengambilkan baju berukuran M untuk wanita itu. Setelah mendapatkan baju yang berukuran M, Nicho tidak langsung kembali pada wanita itu. “Eriikk Eriik.” panggil Nicho lirih pada Erik dari balik gudang. Dengan segera Erik menghampirinya. “Ada apa bos?” Nicho tidak menjawab, namun matanya berkedip mengisyaratkan  sesuatu. “Apa saya bilang bos, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah kan?” Nicho hanya tersenyum dan segera beranjak menghampiri wanita tadi. “Bos..” panggil Erik yang membuat Nicho kembali lagi. “Ada apa lagi sih?” tanya Nicho dengan nada suara agak tinggi. “Ehm, anu, bos keberatan nggak kalo saya aja yang kencan sama dia?” “Oh, tentu saja gue nggak keberatan Rik, tapi lo keberatan nggak kalo gue pecat?” Erik hanya diam dan kepalanya menunduk. “Bercanda Rik, yang ini jodoh gue, lo jangan macem-macem.” Nicho menepuk pundak Erik dan segera berlalu menghampiri wanita tadi. “Siap bos.” jawab Erik mantab.
    
    “Maaf mbak nunggu lama, ini yang ukuran M. Bisa dicoba dulu, kamar pas ada di sebelah barat.” ucap Nicho sembari memberikan celana cokelat pesanan wanita itu. Tentu saja Nicho tidak lupa memberikan senyum manisnya. Tanpa mengucap kata wanita itu segera pergi ke kamar pas. Nicho menunggu agak jauh dari situ. Setelah wanita itu keluar, Nicho segera menghampirinya. “Kasir ada di sebelah utara.” Nicho menunjuk ke arah kasir. Namun wanita itu tidak segera pergi. Ia malah tersenyum memandangi tingkah Nicho. “Kok malah senyum mbak? Tidak jadi beli yang itu? Silahkan pilih-pilih lagi.” Nicho kebingungan. “Oh, jadi kok. Cuma sekarang saya sudah tahu.” Wanita itu tersenyum lagi. “Tahu apa mbak?” Nicho semakin bingung. “Sebelum kesini, teman saya menyuruh saya untuk hati-hati karena ada salah satu pegawai yang genit.” Wanita itu tidak berhenti untuk tersenyum. Jedyarr. Jantung Nicho berdegup kencang. Ia tidak percaya dirinya dicap genit oleh kalangan wanita yang pernah membeli di distronya. Ia hanya terdiam merasa bersalah. “Tapi kalau menurut saya mas ini nggak genit kok. Cuma temen-temen saya aja yang nggak bisa bedain mana cowok baik sama cowok genit.” lanjut wanita itu yang membuat hati Nicho seperti mendung yang tergantikan oleh pelangi. Nicho masih tidak pecaya wanita itu malah membela dirinya bukan membela temannya. Tanpa mengucap kata wanita itu pergi meninggalkan Nicho menuju kasir untuk membayar kemudian pergi. Nicho masih terdiam dengan senyumnya yang masih tidak percaya apa yang terjadi barusan. Akhirnya ia tersadar belum sempat menanyakan namanya dan nomor telponnya. Nicho berlari keluar mengejar wanita tadi. Namun sayang, wanita itu sudah tidak tampak lagi. Kepala Nicho tertunduk kecewa.
    
    “Kenapa kok murung gitu bos?” ucap Andre mengagetkan Nicho yang sedang duduk diam di kursi. Sebelum Nicho menjawab, tiba-tiba Andre memberikan selembar kupon yang tercantum nama Candik Ayu beserta nomor teleponnya. Dengan spontan Nicho berdiri dari duduk murungnya dan mencium pipi kanan dan kiri Andre. Andre hanya menggelengkan kepala dan muncul pemikiran untuk berhenti bekerja disitu karena dia tidak ingin mempunyai bos yang semi gay.
 
***
    Berjalan mondar-mandir di kamar dengan tangannya yang menggenggam ponsel. Nampaknya Nicho bingung untuk menelpon wanita yang bernama Candik Ayu itu atau tidak. Lama Nicho mondar-mandir hingga Tongki sudah terlelap di sofa. Akhirnya ia menghentikan langkahnya dan memutuskan untuk menelponnya malam ini. Nicho mengeluarkan kupon dikantongnya dan mencatat nomor telepon Ayu. Dengan masih sedikit takut akhirnya dia memencet tombol call. Tidak lama kemudian terdengar suara indah dari seberang. “Halo?” Nicho terlihat kegirangan mendengar suara Ayu. “Oh, hai. Selamat malam, Ayu.” jawab Nicho dengan suara yang terbata-bata. “Malam, dengan siapa disana?” Ayu kebingungan karena nomor itu tidak tersimpan di kontaknya. “Pria baik hati yang melayani pembelian celana warna cokelat.” Ayu tersenyum sejenak. “Oh, ternyata kupon itu bukan buat undian toh. Jadi, udah berapa cewek yang kamu telpon hari ini?” Nicho panik bagaimana menjelaskannya pada Ayu. “Oh tidakk, itu kuponnya tetap diundi kok. Berapa cewek? Tadi aja pas mau nelpon kamu, aku mikir berjam-jam lho.” “Oke, cukup jelas. Jadi, ada perlu apa kamu nelpon aku?” Ayu bertanya pada Nicho walaupun dia sendiri sudah tahu apa alasan Nicho menelpon dirinya. “Emm, bisa nggak kita ketemu lagi?” satu kalimat yang keluar dari mulut Nicho yang membuat hatinya berdebar-debar. “Hahaha, kalo aku jawab nggak pasti besok-besok kamu nelpon aku lagi sampai aku bilang iya kan? Oke, besok jam tujuh malam di Ngopi Serius. Aku tunggu disana ya pegawai genit.” Ayu memberikan jawaban yang tidak terpikirkan oleh Nicho. Nicho sangat gembira mendengar itu. “Oke Ayu. Aku pasti datang kesana. Makasih ya, selamat malam.” Nicho menutup telponnya kemudian ia melompat-lompat di kasur empuknya karena sangat senang.
 
***
    Siang hari saat Nicho ke distro miliknya, sifatnya berubah drastis. Saat ia berjalan, wajahnya seperti mengeluarkan cahaya yang menandakan kebahagiaan dalam dirinya. Semua pegawainnya ia sapa. Tak terkecuali Nita. “Selamat siang Pingkan.” “Selamat siang Nicho.” “Selamat siang Hendra.” “Siang Nicho.” langkahnya terhenti saat dia melihat Nita. Namun dia tidak berpikir panjang. “Selamat siang Nita sayang.” sapaan spesial dari Nicho dengan tangannya yang mencolek dagu Nita. “Waduh, hahaha. Siang juga Nicho.” kemudian ia berjalan lagi. “Selamat siang Erik.” “Wuihh, siang juga bos. Kayaknya ada yang beda nih.” Erik curiga. “Nanti malem, gue mau keluar sama cewek yang kemarin.” bisik Nicho pelan pada Erik. Erik hanya tersenyum. “Mantab bos.”
    
    Pukul lima sore Nicho sudah pulang ke rumah karena tidak sabar ingin segera bertemu dengan Ayu. Sesampai dirumah Nicho bermain sebentar dengan Tongki. Setelah itu ia membersihkan diri alias mandi. Yang biasanya cuma menghabiskan waktu sekitar lima menit, sekarang Nicho perlu mandi selama lima belas menit. Ia ingin terlihat perfectdimata Ayu. Selesai mandi ia segera menghidupkan motornya dan pergi menuju Ngopi Serius.
    
    Sedikit langkah menuju cinta yang cerah. Bukan cinta yang pecah karena amarah. Tidak perlu cinta yang mewah, karena percayalah cinta yang cerah lebih indah daripada cinta yang mewah. Jangan merasa bersalah dengan segala kekurangan, karena cinta adalah sebuah anugerah bukan musibah.
 
***
    Keramaian orang membuat Nicho kesusahan mencari Ayu. Ditengoknya ke arah kiri nampak ada sepasang kekasih yang sedang mengobrol serius. Mungkin mereka sedang membicarakan hubungan mereka ke jenjang selanjutnya. Ditengoknya ke arah kanan terlihat seorang pria duduk sendiri yang sedang memandangi kopinya yang masih utuh tidak berkurang. Seperti cintanya yang masih utuh belum tergores luka sedikitpun (jomblo). Nicho berjalan jauh kedepan memandangi semua orang yang berada disana. Seperti seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang. Atau lebih tepatnya seperti seorang pria yang sedang mencari belahan jiwanya. Keringatnya yang bercucuran tidak terbuang sia-sia, akhirnya Nicho melihat Ayu sedang duduk sendiri seperti orang gelisah yang sedang mencari seseorang yang tidak lain adalah Nicho. Dengan cepat Nicho segera menghampiri cintanya itu.
    
    “Mau pesan apa mbak?” goda Nicho pada Ayu. Sekilas Ayu nampak kaget, tapi setelah melihat wajah Nicho, kegelisahan di wajahnya perlahan hilang. “Saya mau pesan pegawai genit yang terlambat 15 menit di kencan pertamanya.” balas Ayu menyindir Nicho. Kemudian kedua nyawa itu tertawa lepas. Setelah bersalaman dan duduk berseberangan, mata Ayu dan Nicho saling menatap. Hening. Mereka tidak mengucap kata sedikitpun. Ayu yang sudah tidak tahan akhirnya mengeluarkan senyum manisnya. “Kenapa senyum?” tanya Nicho polos pada Ayu. “Aku nggak percaya kencan sama pria yang aku sendiri belum tahu namanya.” kemudian Ayu meminum kopi yang ada di depannya. Sebelum mengucap kata, Nicho juga meminum kopinya. “Nicholas.” Nicho mengulurkan tangannya pada Ayu. “Candik Ayu.” mereka berdua berjabat tangan.  Selesai melepas tangan Ayu yang halus itu, Nicho tertawa terbahak-bahak. “Serius kamu belum tahu namaku? Emangnya dulu aku nggak ngasih tahu kamu ya? Hahaha.” Nicho tidak percaya Ayu belum tahu namanya hingga sekarang ini. “Serius. Baru sekarang aku tahu nama kamu Nicholas. Hahaha. Jadi, kamu sudah berapa lama kerja disana?” tanya Ayu pada Nicho.
    
    Dua cangkir cappucino menjadi saksi bisu obrolan mereka. Membicarakan banyak hal tentang diri mereka masing-masing atau membicarakan berita-berita yang sedang panas seputar dunia selebriti. Setiap mereka mengganti topik pembicaraan, mata mereka selalu bertatap beberapa detik. Bukan tatapan biasa. Tatapan mata itu seolah-olah seperti ingin mengenal lebih jauh seseorang yang sedang ditatapnya. Setelah menyadari mata mereka saling bertatap, Nicho dan Ayu memalingkan wajahnya masing-masing dan meminum kopi yang ada di depan mereka.
    
    Namanya Candik Ayu, gadis berumur 24 tahun yang bulan lalu baru saja wisuda dan sekarang menyandang gelar sarjana ekonomi. Tinggal beberapa kilometer dari rumah Nicho. Terlahir dari keluarga yang sederhana, tidak seperti Nicho yang sukses karena diberi modal oleh orangtuanya. Semua seluk beluk Ayu sudah Nicho ketahui dari obrolan mereka malam ini di Ngopi Serius. Hanya tinggal satu hal yang belum Nicho lakukan. Membuat Ayu jatuh cinta padanya.
    
    “Yuk, aku antar pulang. Rumah kamu cuma daerah Jagalan kan? Deket kok.” Nicho menawari Ayu tumpangan sampai rumahnya. Dan yang pasti tidak ada maksud terselubung didalamnya karena Nicho tulus ingin mengantarkan Ayu ke rumahnya. “Kalau nggak ngerepotin sih gapapa Nicho.” “Alah, lebay kamu. Ya nggak ngerepotin lah. Yuk aku antar pulang.” mereka berdua berjalan keluar dari kafe itu menuju motor Nicho yang terparkir di sudut yang jauh dari keramaian.
    
     Menyusuri jalanan kota Solo yang sangat ramai, mengingat ini adalah sabtu malam dimana orang-orang keluar rumah untuk mencari kesenangan karena minggu mereka diisi dengan kesibukan. Malam itu bukan hanya lampu saja yang menyinari kota Solo, namun sang dewi malam dengan gagahnya ikut serta menyinari kota Solo dan menyinari setiap senyum penduduknya. Bulan malam ini tampak lebih bersinar daripada malam-malam biasanya. Mungkin bulan juga merestui cinta Nicho dan Ayu. Lengkap sudah indah malam itu.
    
    “Nanti setelah pertigaan belok ke gang kecil warna merah itu ya.” ucap Ayu pada Nicho sembari tangannya menunjuk sebuah gang didepannya. “Oke, Ayu.” jawab Nicho seakan paham apa yang dimaksudkan Ayu. Mereka berhenti di sebuah rumah yang memiliki pagar berwarna hitam dengan cat tembok yang berwarna hijau. Ayu turun dari motor Nicho. “Makasih tumpangannya Nicho.” “Sama-sama, Ayu. So, thanks for tonight ya.” Nicho melempar senyum pada Ayu. “Iya, Nicho. Malam ini asyik banget. Makasih ya.” Nicho mendapat balasan senyuman yang sangat manis dari Ayu. Kemudian Nicho menyalakan motornya dan siap untuk pergi. “Bye, Ayu. Nanti aku telpon ya.” Nicho melambaikan tangan pada Ayu dan kemudian pergi dengan meninggalkan suara knalpotnya yang terdengung di telinga Ayu.
 
***
    Sebelum terlelap, Ayu menunggu telpon dari Nicho yang sudah berjanji akan menelponnya sesampai di rumah. Lama ia menunggu tetapi tidak ada juga telpon dari Nicho. Mungkin dia sudah tidur karena kecapekan, batin Ayu. Ditariknya selimut menutupi tubuhnya. Matanya terpejam, tetapi bukan terlelap tidur. Ayu sedang berdoa agar tidurnya nyenyak dan berharap matanya bisa terbuka di esok pagi.
    
    “Kriiiiingg....kriinggg.” suara dari hp Ayu membangunkan tidurnya yang lelap. Dengan malas, dibukanya mata yang masih ngantuk itu dan segera bangkit untuk mengangkat telpon yang membangunkan Ayu dari tidur lelapnya. “Halo?” sapa Ayu dengan suara lemas. “Halo, Ayu. Selamat pagi. Maaf kemarin nggak jadi nelpon kamu karena kecapekan.” Mata Ayu yang awalnya masih mengantuk setelah mendengar suara Nicho langsung semangat mengawali harinya. “Oh, Nicho. Selamat pagi. Gapapa kok, kemarin aku juga langsung tidur. Udah dulu ya, aku mau mandi, hari ini mau pergi sama kakak.” “Eh, tunggu bentar. Emm, minggu depan bisa pergi lagi nggak? Aku ajak ke tempat yang indah jauh dari kota, mau?” tangan Nicho gemetaran mengharapkan kata “iya” dari Ayu. Lama tidak terdengar jawaban dari Ayu. Mungkin dia sedang berpikir. “Iya deh, tapi jemput aku dirumah ya.” “Oke, siap. Dah, Ayu.” Nicho menutup teleponnya.
    
    Ayu berjalan keluar kamar mencari kakak perempuannya yang hari ini mengajak dia pergi. Tetapi saat melihat jam dinding di ruang tamu, Ayu terkejut. Jam itu menunjukkan pukul sembilan pagi, padahal kemarin rencananya akan pergi pukul delapan. “Ehh, si kebo udah bangun.” sapa Niken mengagetkan Ayu dari belakang. Niken adalah kakak perempuan satu-satunya yang dimiliki Ayu. Umurnya hanya terpaut dua tahun dari Ayu. “Lho? Kakak nggak jadi pergi? Tadi kok Ayu nggak dibangunin?” tanya Ayu bingung. Niken menghela nafas sebentar kemudian tersenyum lebar. “Kamu lagi deket sama cowok?” pertanyaan yang membuat Ayu bingung untuk menjawabnya. Kalau dijawab deket sebenernya juga tidak. Tapi kalau dijawab tidak namanya munafik. Lama Ayu terdiam. “Tadi pas kakak mau bangunin, kamu senyum-senyum sendiri. Nggak mungkin kalo lagi nggak deket sama cowok. Sini dong cerita sama kakak.” lanjut Niken. “Jadi gini kak, kemarin Ayu beli celana di distro, terus dilayani sama pegawai cowok gitu. Cowoknya itu kayak ngasih perhatian lebih ke Ayu, beda sama pembeli yang lain. Gimana Ayu nggak nanggepin coba? Orang cowoknya juga ganteng.” jawab Ayu panjang dilanjutkan dengan senyum malunya. “Terus kamu udah jalan sama dia?” tanya Niken penasaran. “Udah, kemarin kami kencan di Ngopi Serius.” “Begini Ayu, kakak cuma mau ngasih tau, kalo kamu beneran sayang sama dia, kamu nggak usah malu kalo dia kerjanya cuma jadi pegawai distro. Yang penting kerjanya halal dan…” Niken menasehati adek kandung satu-satunya itu. “Dan apa kak?” Ayu penasaran. “Dan dia kan juga ganteng. Hehehe.” Niken tertawa genit. “Yaelah, kakak yang dicari cuma gantengnya aja. Hari ini jadi pergi nggak? Ayu mau mandi dulu.” “Jadi dong, cepet mandi sana.” Ayu berlari kecil menuju kamar mandi.
 
***
    Siang itu Nicho masih sibuk menghitung pengeluaran dan pemasukan di distronya. Wajahnya terlihat sangat serius karena dari hasil data pemasukan dan jumlah uang sangat berbeda. Kemudian ia berjalan menghampiri Andre. “Ndre, ini dari hasil data kok beda banget sama uang yang kita terima?” Nicho bertanya dengan halus pada Andre. Sekilas wajah Andre terlihat panik. Kemudian Andre mengajak Nicho keluar dari distro. “Sorry Nicho, waktu itu aku butuh banget buat biaya rumah sakit anakku.” kepala Andre tertunduk malu. Wajah Nicho terkagetkan dengan pengakuan Andre. “Bulan depan potong aja gajiku.” Andre melanjutkan. Nicho masih terdiam. “Tapi tolong jangan pecat aku Nicho. Aku butuh pekerjaan ini.” Andre memohon. “Tapi lo kan bisa ngomong ke gue, Ndre. Kita semua disini keluarga, kita bisa saling membantu. Lo tau sendiri kan perbuatan lo itu berdosa? Sekarang anak lo masih opname?” “Masih bos.” kepala Andre masih tertunduk malu. “Yuk, sekarang kita kesana.” Nicho berjalan memasuki distronya untuk meminta Erik menggantikan Andre sebagai penjaga kasir. Kemudian mereka berdua berboncengan menaiki motor Nicho menuju rumah sakit dimana anak Andre dirawat.
    
    “Itu bos anak saya, namanya Clara. Umurnya baru dua tahun.” Andre menunjuk seorang anak kecil yang berada di depannya. Nicho langsung menghampirinya. “Selamat siang.” sapa Nicho pada istri Andre. “Selamat siang bos Nicho. Mari silahkan duduk.” Santi, istri Andre mempersilahkan Nicho untuk duduk. “Jadi, bagaimana ceritanya?” tanya Nicho pada Santi dan Andre sementara Clara anak mereka masih tertidur lelap. Mereka menceritakan pada Nicho awal mula Clara bisa jadi seperti ini. Clara terkena penyakit DBD karena tergigit nyamuk saat tidur siang. Selain itu, mereka juga membicarakan banyak hal. Ditengah-tengah perbincangan mereka diam-diam Nicho menaruh amplop dibawah bantal Clara. Kemudian Nicho dan Andre berpamitan pada Santi untuk kembali bekerja.
    
    “Habis darimana bos?” tanya Erik pada Nicho. “Cari makan siang sama Andre.” jawab Nicho singkat kemudian lanjut bekerja. “Bos…bos…tunggu dulu.” Erik mengejar Nicho. “Ada apa?” tanya Nicho sembari bekerja. “Tadi mbak Liza kesini nyariin bos.” Nicho langsung menghentikan pekerjaannya. “Ada perlu apa dia kesini?” “Nggak tau bos. Tapi dia titip pesan pada bos untuk menemuinya di tempat biasa jam enam sore.” Erik menjelaskan. “Oke, makasih infonya, Rik.” Nicho terdiam sejenak. Dia bimbang akan menemui mantan pacarnya itu atau tidak. Karena penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk menemuinya di tempat biasa yang tak asing adalah tempat kencan pertama mereka.
 
***
    “Nichooo.” teriak seorang wanita dari kejauhan memanggil Nicho. Mengetahui namanya dipanggil, Nicho langsung menghampiri wanita itu yang tidak lain adalah Liza, mantan pacarnya. “Selamat malam, Nicho.” Liza menyapanya dengan senyuman yang sama seperti dulu saat Nicho jatuh cinta padanya. Tetapi Nicho tidak menjawab. Kemudian ia duduk berseberangan dengan Liza. “Ada perlu apa?” tanya Nicho cuek. “Sudah enam bulan ya.” Liza mencoba mengingatkan Nicho bahwa sudah enam bulan sejak mereka putus. “Dan kamu tahu? Enam bulan tanpa kamu itu membuat hidupku jadi terasa lebih indah.” ucapan yang keluar dari mulut Nicho barusan seolah-olah seperti menampar langsung pipi Liza. “Nicho, tolong dengarkan aku dulu. Aku masih sayang kamu, Nicho. Maafkan kelakuanku yang dulu. Sekarang aku sudah berbeda. Aku nggak bisa lupain kamu, Nicho.” wajah Liza memohon pada Nicho agar memberinya kesempatan. “Maaf Liza, sekarang aku sudah punya harapan baru. Dan lagi, dia mencintaiku dengan tulus. Kalau kamu menemuiku hanya untuk mengatakan itu, aku akan pergi sekarang.” Nicho berdiri dari duduknya kemudian meninggalkan Liza. “Nichoo, tunggu dulu. Aku pasti akan menemuimu lagi.” teriak Liza dari kejauhan. Tetapi Nicho tidak menghiraukannya.


Rabu,  pukul 08.00
    
    Nicho sudah berdiri di depan pintu rumah Ayu dan bersiap mengetuknya. “Tok..tok..tok..” Tidak lama keluarlah seorang wanita tetapi bukan Ayu. “Cari siapa nak?” tanya wanita itu. “Ayu ada, buk?” tanya Nicho balik dengan suara yang sangat sopan. “Oh, sebentar nak. Mari silahkan masuk dulu.” Kemudian Nicho masuk ke rumah Ayu dan duduk di sofa ruang tamu. Lama menunggu akhirnya Ayu keluar dari dalam. “Hai, Nicho. Maaf nunggu agak lama ya.” Nicho terbengong melihat Ayu yang sangat cantik hari itu. “Bentar ya aku panggilin ibu sama kakakku dulu.” Ayu kembali masuk ke dalam. Kemudian ia kembali dengan ibu dan kakaknya. “Nicho, kenalin ini ibu aku dan ini kakak aku.” Nicho beranjak dari duduknya dan menghampiri ibu Ayu dan mencium tangannya. “Kula Nicho buk, temannya Ayu.” “Oh, ini nak Nicho yang sering diceritain Ayu itu toh.” Nicho menengok ke arah Ayu.  Dengan cepat Ayu memalingkan wajahnya karena malu. Nicho hanya tersenyum kecil. “Nicho.” Nicho berjabat tangan dengan Niken kakak Ayu. “Niken.” Niken tidak melepas tangan Nicho dan terus memandangi wajahnya. Kemudian Ayu mencubit paha kakaknya itu dan berbisik “Lepasin kak.” Niken dengan cepat melepas tangannya. “Bu, Ayu berangkat dulu ya.” Ayu mencium tangan ibunya. “Mari bu.” Nicho juga demikian. Kemudian mereka berdua berjalan keluar. Saat berjalan Nicho berbisik pada Ayu “Kamu cerita apa aja sama ibu kamu?” Ayu tidak menjawab dan wajahnya memerah. Nicho tertawa lepas. Ayu memukul pelan bahu Nicho. Akhirnya mereka berdua berangkat menaiki motor Nicho ke tempat yang sudah dijanjikan Nicho pada Ayu.
    
    “Jadi, kita mau kemana?” tanya Ayu dari belakang saat mereka mengendarai motor di jalanan yang berliku. “Udah, kamu nggak usah bawel. Cukup pegangan aja sambil melihat pemandangan di kanan kiri jalan.” goda Nicho pada Ayu sambil tertawa. Ayu dengan spontan memukul pelan helm yang dikenakan Nicho. “Aduh.” Nicho kesakitan. “Siapa juga yang bawel.” Ayu ngambek dan melepas pegangannya pada Nicho. Mengetahui hal itu, dengan cepat Nicho menghibur Ayu. “Eh, Ayu. Coba lihat bukit yang ada di sebelah sana. Indah kan?” Nicho menunjuk sebuah bukit yang tinggi yang berada di kanan mereka. “Hmm.” Jawab Ayu singkat. “Semua pemandangan yang aku lihat disini tidak akan indah kalau aku ngeliatnya sendirian.” Ayu tersenyum geli. Tidak lama Ayu berpegangan lagi pada Nicho. Yes, berhasil. Batin Nicho.
    
    30 menit kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dijanjikan oleh Nicho. Sebuah waduk yang sangat luas dengan pemandangan yang sangat indah. Dan tidak sedikit pengunjung yang berada disitu. Setelah memarkirkan motornya, mereka berdua duduk dipinggiran waduk sambil memakan sepiring siomay. Terlihat sederhana tetapi romantis.
    
    “Eh, coba lihat burung merpati yang ada diatas sana.” Nicho menujuk sepasang burung merpati yang sedang bertengger diatas pohon di depan mereka. “Iya aku lihat. Tau nggak kalo mereka itu cuma mempunyai pasangan hidup sekali seumur hidup?” tanya Ayu pada Nicho. “Dan apabila kekasihnya mati mereka tidak akan mencari penggantinya. How sweet.” jawab Nicho sembari memandangi wajah Ayu. Begitupun dengan Ayu. Kedua insan itu tersenyum malu. “Eh, kamu pakai akik ya?” Ayu memegang jari kelingking Nicho. “Iya. Tapi ini akik bukan sembarang akik. Coba liat, didalamnya ada gambar orang yang sedang sholat.” Kemudian Ayu memperhatikan dengan seksama. “Mana? Kok nggak ada?” Ayu penasaran. “Waduh, berarti sholatnya udah selesai. Hahaha.” Nicho tertawa lepas karena berhasil mengerjai Ayu. Merasa dikerjai, Ayu mengambil sedikit saus siomay dan menaruhnya di wajah Nicho. “Hahaha.” Sekarang Ayu yang tertawa terbahak-bahak.
    
    Selesai makan siomay, Nicho mengambil rokok yang ada di sakunya. “Kamu ngerokok ya?” tanya Ayu. “Iya.” jawab Nicho singkat kemudian menyalakan rokoknya. “Pasti alasan kamu ngerokok karena kalo nggak ngerokok itu mati, ngerokok juga mati, mendingan ngerokok sampai mati kan?” Ayu mencoba menebak. “Kurang lebih seperti itu.” jawab Nicho singkat yang masih menikmati rokoknya. “Perokok itu tidak menghargai hidup ya.” Ayu tertunduk seperti kecewa dan menyembunyikan sesuatu. Nicho berhenti menghisap rokoknya. “Kamu kenapa, Ayu? Oke, aku akan mencoba berhenti merokok demi diriku sendiri dan demi kamu.” Nicho memasang wajah ceria pada Ayu. Ayu terlihat senang mendengar hal itu. Nicho berdiri kemudian berjalan kembali ke motornya untuk mengambil setangkai mawar yang ia beli sebelum ke rumah Ayu.
    
    “Ayu, mungkin terlalu cepat mengatakan ini, tetapi aku yakin aku benar-benar jatuh cinta padamu. Ambil mawar ini kalau kamu mau jadi pacarku.” Semua yang sudah Nicho lakukan dipertaruhkan dengan setangkai mawar merah ini. Lama Ayu tidak merespon. Akhirnya mawar itu diambilnya dari tangan Nicho. “Mungkin aku juga terlalu cepat jatuh cinta padamu, Nicho.” Ayu mencium harum mawar itu dalam-dalam. Tiba-tiba tubuhnya dipeluk oleh Nicho. “Terimakasih, Ayu.” Ayu membalas pelukan Nicho pada dirinya. “I love you, Nicho.” Kemudian mereka melepaskan pelukan mereka.    

   “Nicho, apakah surga lebih indah dari waduk ini?” tanya Ayu pada Nicho sembari memandangi pemandangan yang ada di depan mereka. “Surga jauh lebih indah dari segala hal di dunia ini, Ayu.” jawab Nicho meyakinkan Ayu. Kemudian Nicho merangkul Ayu dari samping. Kepala Ayu bersandar di bahu Nicho. Hingga sore hari saat matahari terbenam, semua pengunjung pulang ke rumah masing-masing. Begitupun dengan Ayu dan Nicho. Mengendarai motor melewati jalanan yang berliku-liku, tetapi tidak dengan cinta mereka. Setelah kurang lebih satu jam akhirnya mereka sampai di rumah Ayu.
    
    “Makasih untuk hari ini, Nicho. Serius aku seneng banget.” “Sama-sama, Ayu. Makasih juga udah nerima cintaku. Hahaha. Yaudah, aku pulang dulu ya.” Ayu hanya tersenyum malu dan mengaggukkan kepalanya. Kemudian Nicho pergi. “Nichoooo..” teriak Ayu dari belakang. Nicho segera menghentikan motornya dan melepas helmnya. “Ada a..” Muah. Sebuah ciuman manis mendarat di pipi kanan Nicho. Kemudian Ayu tersenyum malu dan segera berlari kecil masuk rumahnya. Nicho masih diam mematung. Dia tidak percaya apa yang terjadi barusan. Setelah ia sadar, ia segera menyalakan motornya lagi dan pulang ke rumah.
    
    Sebelum memasuki rumah, Ayu dihentikan oleh ayahnya di depan pintu. “Ayu, sudah kau beritahu pada pria itu?” tanya ayahnya. Ayu hanya menggelengkan kepala. “Belum, yah. Ayu nggak mau dia kecewa.” jawab Ayu lirih. “Segera beritahu dia sebelum semuanya jadi lebih buruk.”
 
***
    Sudah lima bulan berlalu semenjak hari mereka jadian. Semuanya berjalan dengan baik. Tidak ada pertengkaran atau masalah lainnya, yang ada justru mereka semakin menyayangi satu sama lain. Siang ini Nicho menjalani rutinitasnya untuk berkedok menjadi pegawai di distronya. Seperti biasa, Nicho melayani setiap pembeli dengan sangat ramah. “Mari silahkan mbak. Mau cari baju, celana, atau mungkin rok?” tanya Nicho pada salah satu pengunjung. “Bos..bos…” panggil Erik lirih pada Nicho. “Ada apa sih, rik? Lo gak liat gue lagi sibuk?” Nicho tidak memperdulikan Erik. “Ehemmm…” Nicho berbalik badan. Dia nampak kaget. “Eh, Ayu. Ada apa kesini?” tanya Nicho pada Ayu dengan meringis. “Nicho, aku perlu ngomong sesuatu sama kamu, tapi tidak disini.” wajah Ayu terlihat serius. “Oke, kita sekalian cari makan siang yuk.” Kemudian mereka berdua pergi ke sebuah warung makan di dekat situ.
    
    “Mau ngomong apaan sih? Kok kayaknya serius gitu.” tanya Nicho pada Ayu sembari meminum es tehnya. “Aku mau kita putus, Nicho.” Nicho tersedak mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ayu. “Kamu nggak lagi serius kan?” Nicho masih kaget. “Aku serius, Nicho. Maaf ya kalo selama ini aku banyak merepotkan kamu.” Ayu berdiri dan pergi meninggalkan Nicho sambil mengusap air matanya. “Ayuuu…tunggu dulu.” Nicho mengejar Ayu tetapi Ayu sudah pergi duluan dengan bus. Seketika badan Nicho melemas. Ia tidak percaya apa yang terjadi barusan. Karena masih tidak percaya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Ayu.
    
    “Tok..tok..tok..” Tidak ada seseorang yang membukakan pintu. Akhirnya setelah mengetuk pintu yang kedua kalinya, keluarlah Niken kakak Ayu. Dengan segera Niken menggandeng tangan Nicho untuk menjauh beberapa meter dari rumahnya. “Nicho, mungkin berita ini akan mengagetkanmu, tetapi aku harus memberitahumu. Sejak berumur 12 tahun, Ayu divonis dokter menderita kanker otak. Umurnya tidak akan lebih dari 25 tahun. Jika dari sekarang, mungkin Ayu akan bertahan selama satu bulan lagi.” Selesai menceritakan semuanya pada Nicho, air mata Niken menetes keluar dari matanya. Begitupun dengan Nicho. Dari kejauhan Ayu melihat kakaknya sedang berbincang dengan Nicho lewat jendela kamarnya. Ayu juga tidak bisa menahan air matanya keluar. Ia kembali ke kasurnya memeluk guling dan menangis.
    
    “Boleh aku bertemu dengan Ayu?” tanya Nicho pada Niken dengan suara yang sangat pelan. Niken hanya menggelengkan kepala. Nicho segera menghapus air matanya dan pergi dari situ.
    
    Sesampai rumah, Nicho duduk diam termenung di sofa ruang tamu. Ia menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Walaupun Nicho bersedih, tetapi ia tahu Ayu lah yang lebih sedih saat ini. Ingin dia menghibur hari-hari Ayu untuk yang terakhir kalinya, tetapi apa daya, Ayu mencoba menghindar dari dirinya. Ayu tidak ingin berbagi kesedihan dengan kekasihnya. Nicho sempat marah dengan Tuhan atas semua yang terjadi, tetapi dengan cepat ia buang jauh-jauh pemikiran itu.
    
    Esok hari saat bangun tidur, Nicho mendapat kabar dari Niken melalui pesan singkat bahwa Ayu sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit. Nicho langsung bergegas dari kasurnya menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. “Mbok Sum, Nicho pergi dulu ya. Jangan lupa Tongki dikasih makan.” Nicho berpamitan kepada Mbok Sum. “Iya den.” teriak Mbok Sum dari kejauhan.
 
***
    Sampai rumah sakit, Nicho berlari menuju nomor kamar yang sudah diberitahukan Niken melalui pesan singkat tadi. Ia berlari kencang menerobos orang-orang yang sedang mengantri. Tak luput ia menabrak seorang pasien. “Maaf pak, saya buru-buru.” Orang itu hanya menggeleng keheranan. Dari kejauhan Nicho melihat Niken dan keluarga Ayu sedang menunggu diluar ruangan dengan wajah gelisah. “Niken, dimana Ayu?” tanya Nicho dengan nafas yang terpenggal. Niken menunjuk ke dalam ruangan dimana Ayu sedang berbaring tidak sadarkan diri. Niken langsung memeluk Nicho erat dan menumpahkan air matanya di bahu Nicho. Dengan nalurinnya, Nicho mengelus punggung Niken mencoba untuk menenangkannya. Kemudian mereka berdua duduk di kursi bersama dengan ayah dan ibu Ayu. Kini keempat orang itu sedang berdoa kepada Tuhan untuk meminta mukjizat-Nya.
    
    “Bu, kenapa dulu ibu memberi nama “Candik Ayu”?” tanya Nicho kepada ibu Ayu dengan nada bicara yang sangat pelan karena sedang bersedih. “Dulu, Ayu lahir pada sore hari dimana langit-langit tampak cerah berwarnya oranye. Lalu, kami sekeluarga sepakat memberinya nama “Candik Ayu” seperti orang jawa yang menyebut peristiwa dimana langit pada sore hari berwarna oranye dan cerah. Dan kami berharap dalam nama itu Ayu selalu mempunyai hari-hari yang cerah.” Setelah menceritakan kepada Nicho, ibu Ayu menangis sejadi-jadinya. Kemudian suaminya menenangkannya.
    
    “Apakah disini ada yang bernama Nicho?” tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Ayu. “Iya, saya sendiri, dok. Ada apa?” Nicho bangkit dari duduknya. “Pasien di dalam mencoba memanggil nama Nicho daritadi.” Nicho segera memasuki ruangan untuk menemui Ayu. “Ayu, aku disini. Kamu nggak perlu khawatir.” ucap Nicho sambil memegangi tangan Ayu. Sekilas Ayu terlihat tersenyum. Melihat itu Nicho tampak senang. “Tenang Ayu, kamu nggak akan kenapa-napa.” Nicho mencoba menenangkan Ayu yang masih terbaring lemas. “Nicho, maafin aku kalo selama ini aku sering bawel sama ngerepotin kamu.” ucap Ayu dengan suara lirih yang hampir tidak bisa didengar oleh Nicho. “Aku sayang kamu, Ayu.” Nicho mencium tangan Ayu.
    
    Sepanjang hari Nicho menemani Ayu dengan duduk disampingnya, sementara Ayu masih tidak sadarkan diri.  Hanya kadang-kadang Ayu  mengucapkan kata yang hampir tidak bisa didengar. Ayu ingin semua orang memaafkan kesalahannya. Lelah menemani Ayu, Nicho digantikan oleh orang tua Ayu dan Niken. Sementara digantikan, Nicho pulang ke rumah untuk mengistirahatkan badan.
    
    Di rumah, Nicho tidak bisa tenang. Ia sangat khawatir dengan keadaan Ayu. Nicho tidak ingin Ayu meninggalkan dirinya karena Nicho sangat menyayangi Ayu lebih dari apapun. Banyak pikiran yang ada di kepalanya membuat Nicho susah untuk memejamkan matanya.  Hingga pada pukul  dua dini hari, akhirnya ia terlelap. Esok hari ketika ia bangun, Nicho mendapat berita yang sangat buruk dari Mbok Sum. Berita yang sangat ia takutkan akan benar-benar terjadi. Dan apabila itu benar terjadi, berarti Tuhan tidak mengabulkan doa Nicho. Saat Nicho masih terlelap, Mbok Sum mendapatkan telepon dari Niken bahwa Ayu sudah pergi. Bukan pergi untuk beberapa waktu, tetapi pergi untuk selamanya dan tak pernah kembali lagi. Mendengar berita itu, jantung Nicho berdetak kencang sekali. Ia tidak percaya, gadis yang sangat dicintainya telah meninggalkan semua yang ada di dunia ini. “Pemakamannya nanti sore jam tiga, den.” tambah Mbok Sum. Nicho tidak menjawab. Ia hanya diam saja dan kembali ke kamarnya. Nicho diam memaku di pojokan kasur. Mungkin ia sedang berpikir kenapa Tuhan melakukan semua ini padanya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Tapi yang pasti, Nicho benar-benar kacau saat itu. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke pemakaman Ayu.
 
***
    Nicho memeluk Niken yang baru saja membukakan pintu untuknya. “Maaf, aku tidak bisa datang. Aku benar-benar kacau.” ucap Nicho dengan suara yang tersendal-sendal. Niken hanya bisa menenangkannya dan mempersilahkannya masuk. “Dengar Nicho, semua makhluk hidup di dunia ini pasti akan mati. Jadi, kita harus mengikhlaskannya walaupun terasa sangat sulit.” Niken memberikan segelas teh pada Nicho kemudian duduk disampingnya. “Aku sudah coba mengikhlaskan semuanya tapi hanya sia-sia,” kepala Nicho tertunduk bersedih. “aku benar-benar mencintai adikmu itu, bahkan aku sudah merencanakan akan melamarnya akhir tahun ini.” lanjut Nicho. Niken pergi meninggalkan Nicho sendirian di ruang tamu. Kemudian ia kembali dengan membawa secarik kertas. “Ayu memintaku untuk memberikannya padamu.” Niken memberikan secarik kertas itu pada Nicho. Nicho segera menerimanya dan membacanya.
“Hai pegawai genit, kalau kamu sedang membaca surat ini berarti kita tidak akan bertemu lagi. Sekarang aku sedang berada di surga yang indahnya melebihi apapun di dunia ini seperti katamu dulu. Aku mencintai kamu lebih dari apapun, Nicho. Walaupun kamu adalah cinta pertamaku. Tapi apa daya, penyakitku ini sepertinya tidak suka jika kita bersama. Aku akan bahagia jika melihat kamu bahagia, jadi tolong jangan bersedih. Kamu tega melihat aku bersedih disini? Dan, aku tidak ingin cinta kita seperti sepasang merpati yang ada di waduk itu. Kamu harus mencari penggantiku dan cintailah dia seperti kamu mencintaiku. Hey, Nicho! Kamu sudah tau arti namaku kan? Jadi, kalo kamu merindukan aku, tengoklah langit pada sore hari.  Aku akan berada disana untuk melihatmu.”
                                                                                                                                          Love,
                                                                                                                                           Ayu


    Nicho menangis tersedu-sedu setelah membaca surat itu. Tetapi Niken segera menenangkannya. Dibacanya kembali surat itu berkali-kali oleh Nicho sambil menahan air matanya keluar lagi. Nicho tersadar, Ayu benar-benar mengingat semua kenangan yang telah mereka ukir bersama. Dengan dibantu Niken, hari-hari berlalu, bulan-bulan berlalu, akhirnya Nicho berhasil mengikhlaskan Ayu. Meskipun dia tidak bisa melupakannya. Sekarang, semuanya kembali normal seperti dulu lagi. Dan apabila Nicho teringat dengan Ayu, ia tinggal menengok langit pada sore hari dan terjawab sudah rasa rindunya.
 
***
Beberapa tahun kemudian,
    
    Seorang anak kecil sedang berlari lucu menuju ke arah ayahnya. “Yah, itu langit kok warnanya oranye?” tanya anak kecil itu lugu pada ayahnya sambil menunjuk ke arah atas. Pria itu hanya tersenyum, kemudian menggendong anaknya. “Itu namanya Candik Ayu.” Sudah delapan tahun, semenjak kamu pergi meninggalkanku. Sekarang aku sudah berkeluarga dan aku bahagia. Sama seperti katamu dulu, kamu akan bahagia jika aku bahagia. Aku tau kamu sedang bahagia diatas sana. Aku tidak akan pernah melupakanmu, Candik Ayu. Batin Nicho, sambil menggendong anaknya pergi.

No comments:

Post a Comment