Rabu, 6 April 2016
Gemercik air hujan masih terdengar lantang di pagi hari ini yang kehadirannya sebenarnya tidak diinginkan semua orang. Dinginnya memaksa orang yang masih terlelap untuk menarik selimut lebih tinggi lagi. Belum lagi anginnya yang semilir kencang menerpa kulit. Membangunkan bulu-bulu halus. Menggigil.
Tetapi tidak denganku, sementara orang-orang masih tertidur, aku sudah berpakaian rapi terduduk manis di kursi depan rumah dengan koper berukuran sedang dan tas ransel kecil yang aku kenakan. Melihat ke depan ke arah butir-butir hujan yang jatuh beramai-ramai menghujam tanah. Aku masih setia menunggu mereka reda. Tetapi sayang, waktu berkata lain. Seiring jarum jam berputar ke arah kanan, hujan diluar semakin menderas. Aku harus segera bergegas atau akan ketinggalan bus.
“Ayo Tok, pakai mantol.” Suara seorang lelaki berbadan besar dengan nada bicara berwibawa yang selama ini aku panggil Ayah itu mengagetkanku. Tiba-tiba saja beliau sudah berada di teras rumah menaiki motor bersiap untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku segera beranjak dari dudukku. Tentu saja sebelumnya aku sudah berpamitan pada Ibu dan adikku. Ibuku terlihat cantik pagi ini.
***
Pukul enam lebih aku sudah tiba di sekolah. Ayahku pergi menerobos hujan setelah tangan kanannya aku cium. Roda koper berderit pelan saat aku menariknya menuju parkiran sekolah tempat semua siswa berkumpul sebelum keberangkatan. Ternyata sudah banyak yang berdatangan saat itu. Aku segera berbaur dengan teman sekelasku. Sedikit mengobrol tentang apa saja yang dibawa dan berapa uang saku yang dikantongi. Terlihat wajah mereka bercahaya penuh semangat karena hari ini kami akan melakukan study tour menuju pulau dewata. Perbincangan kami hanya terdengar samar-samar karena kalah dengan suara hujan yang masih turun deras. Wajah mereka yang tadi bercahaya kini menjadi gelisah karena hujan masih saja belum reda. Aku juga gelisah karena dia belum juga datang. Ya, dia adalah seorang wanita yang selama ini aku menaruh kasih padanya.
Dia adalah kekasihku, seorang wanita yang seumuran denganku. Dan kebetulan kami adalah teman sekelas. Sifat keibuannya berkali-kali membuatku terkagum dengan dirinya. Dari rasa kagum yang setiap hari semakin bertambah itulah akhirnya aku jatuh hati dengannya. Meski pun sebelumnya aku sudah tidak percaya lagi dengan cinta karena terbebani luka dulu, namun dia berhasil membangunkan rasa percaya itu lagi dengan nuansa kasih yang baru. Tidak perlu ditanyakan lagi, aku sangat mencintai dirinya. Tetapi, sialnya, saat ini hubungan kami sedang diambang kehancuran. Tempo hari aku membuat sebuah kesalahan. Kesalahan besar yang aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukannya. Pagi ini, sebelum keberangkatan, aku ingin menjelaskan padanya tentang masalah itu, sekaligus meminta maaf karena telah melakukan hal bodoh.
Tiba-tiba saja, ya, tiba-tiba saja saat aku menoleh ke arah kanan aku melihatnya berjalan anggun menarik koper menuju rombongan kelasku. Saat itu aku sadar, matahari baru saja terbit. Entah kenapa dia selalu terlihat berbeda di mataku meski pun orang lain selalu berkata dia biasa saja. Ingin saat itu juga aku menghampirinya dan menjelaskan semuanya. Tetapi tidak, dia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya—juga temanku. Tidak mungkin aku menariknya keluar untuk berbicara denganku. Dari dulu tidak pernah sekali pun terbesit di pikiranku untuk mengganggu waktunya saat sedang sibuk. Begitu pun dengannya, dia tidak pernah menggangguku saat aku berkumpul dengan teman-temanku.
Wakil kepala sekolah menyampaikan beberapa pesan sebelum berangkat dan diakhiri dengan doa bersama. Rombongan kelasku berjalan keluar dari parkiran menuju bus satu yang berisi campuran dari beberapa kelas. Beruntungnya kelasku berada di bus yang sama. Hanya ditambah beberapa siswa laki-laki dari kelas sebelah yang beruntungnya lagi sangat akrab dengan kelasku. Bus berangkat pukul tujuh lebih. Aku duduk empat kursi dari belakang bersebelahan dengan Adit. Aku berada di sisi kanan, Adit di sisi kiri. Dia duduk tepat di depanku. Suatu kebetulankah?
Perjalanan dimulai, bus melaju perlahan meninggalkan sekolah. Sebelumnya aku melihat dia berpamitan dengan seorang pria di luar bus. Tangan kanan pria itu diciumnya dengan lembut. Melihat itu senyumku mengembang sendirinya. Dia adalah wanita yang baik. Dan, ya, aku jelas tahu pria itu adalah ayahnya. Rintik hujan berubah menjadi embun yang melekat pada dinding kaca bus. Hujan masih mengguyur diluar. Awal keberangkatan suasana didalam bus masih ramai. Gejolak semangat masih menyertai semua orang didalam bus. Beberapa jam perjalanan diisi dengan canda tawa dan gurauan yang menyenangkan. Aku sendiri hanya bermain gitar dan menyanyi bersama teman-teman yang berada di tempat duduk belakang. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Dia sedang bercanda dengan temannya, senyumnya terlihat dan tawanya terdengar olehku. Saat ini, senyum dan tawa itu masih menjadi milikku. Meski pun sedang diambang kelayuan. Aku belum berbicara sepatah kata pun dengan dia.
Pukul dua belas siang bus menepi di sebuah rumah makan di daerah Jawa Timur. Sesuai dengan run down yang dibagikan oleh biro, kami akan makan siang dan melaksanakan kewajiban empat rakaat disini. Aku turun dari bus. Berjalan memasuki rumah makan dan mengantre mengambil makanan prasmanan. Selesai makan bersama teman-teman, aku mengambil air wudhu untuk shalat. Oh, iya, aku sempat melihat dia dari kejauhan. Berjalan di depanku membawa mukena menuju ke mushola. Sama sepertiku, melaksanakan kewajiban empat rakaat.
Pukul setengah dua siang bus kembali melaju ke arah timur menerobos panas terik matahari yang menyengat. Ac didalam bus tidak begitu terasa siang itu karena matahari diluar sana berpancar dengan gagahnya. Suasana didalam bus tidak seramai seperti pagi tadi saat keberangkatan. Banyak yang menyandarkan kepalanya di kursi untuk bersantai. Kemudian perlahan mereka semua terlelap karena perut mereka yang sudah terisi. Aku dan teman-temanku masih bersendau-gurau tidak peduli dengan panas.
Adzan maghrib berkumandang. Tiba-tiba saja bus sudah menepi di rumah makan Jembrana, Situbondo, saat aku membuka mata terbangun dari tidurku. Seperti makan siang tadi, selesai shalat aku mengantre mengambil makanan prasmanan. Membawa piring dan segelas teh hangat, aku berjalan mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku melihat dia duduk di sudut ruang. Aku memutuskan untuk duduk di depannya yang masih kosong.
“Hei! Makan yang banyak ya!” Aku berdiri di depannya. Makananku sudah habis, aku memberanikan diri berbicara dengannya untuk pertama kali sejak hubungan kami goyah. Dia menghentikan makannya sejenak.
“Eh, hei, kamu juga makan yang banyak ya!” jawabnya disertai senyum tipis. Aku membalas senyumnya kemudian pergi. Aku tidak mau mengganggunya saat makan.
Langkah awal yang bagus untuk membenahi sebuah hubungan yang sedang goyah pikirku saat itu. Ya, pikirku saat itu.
***
Kamis, 7 April 2016
Pukul satu dini hari—tentunya sudah memasuki waktu indonesia bagian tengah—aku sudah berada di atas kapal menyeberangi selat bali. Berdiri bersandar memegangi besi yang ada di disamping kapal. Tangan kiriku memegang secangkir kopi. Rambutku beterbangan kecil tertiup angin laut yang pagi itu sangat kencang berhembus. Aku memandangi lautan luas yang masih gelap. Terdengar suara deburan ombak kecil karena kapal yang aku naiki menerjang laut. Sesekali aku menyeruput kopi yang aku bawa tadi. Sedikit hangat. Dia pernah berkata padaku untuk mengurangi kebiasaanku minum kopi. Katanya, kopi itu tidak baik bagi tubuh jika dikonsumsi terlalu banyak. Lagi-lagi senyumku mengembang dengan sendirinya mengingat kata-kata itu. Aku tidak tahu sekarang dia ada dimana. Mungkin saja dia sedang memandangi laut sepertiku. Atau mungkin dia kedinginan dan sekarang sedang berada di ruangan kapal. Aku tidak tahu. Yang jelas kami berada di kapal yang sama. Meski pun kami berada di ruang hati yang berbeda.
Kopi di tangan kiriku sudah habis. Aku membuang cangkir plastik wadah kopi tadi ke tempat sampah yang berada di kapal. Bisa-bisa aku terkena denda tiga ratus juta rupiah atau penjara minimal dua tahun jika saja aku membuangnya di laut. Kapal sudah melaju setengah perjalanan, aku kembali bercanda dengan teman-temanku selama waktu sisa penyeberangan. Kurang lebih pukul dua dini hari aku menginjakkan kaki di Pelabuhan Gilimanuk.
Selamat pagi, Bali!
***
Dari Pelabuhan Gilimanuk menuju rumah makan untuk sarapan dan shalat subuh membutuhkan waktu sekitar dua jam. Bus melaju kencang tanpa hambatan karena jalanan sangat sepi saat itu. Teman-teman yang berada di dalam bus memanfaatkan waktu dua jam itu untuk tidur karena memang suasananya sangat mendukung. Pagi itu hujan kembali turun.
Sarapan bagi ini berbeda, setelah selesai mandi dan shalat subuh, teman-teman sangat antusias mengantre mengambil makanan. Termasuk aku juga. Setelah perjalanan jauh dari Situbondo sampai kesini perutku belum terisi nasi. Hanya beberapa makanan ringan di bus. Selesai sarapan aku pergi meninggalkan meja makan untuk cuci muka. Saat berjalan kembali, aku menghampirinya sebentar.
“Hei, jangan lupa makan yang banyak.” Aku berdiri agak jauh dari tempat dia duduk. Suaraku mengagetkan semua orang yang sedang makan bersamanya. Mereka semua melihat ke arahku. Tetapi aku tidak malu.
“Kamu juga ya.” balasnya singkat disertai senyum kecil. Lagi-lagi aku hanya membalas senyumnya kemudian berjalan pergi.
Obyek wisata pertama di hari ini adalah Danau Brantan Bedugul. Tempatnya berada 1200 mdpl seperti yang Bli Komang katakan. Oh, iya, Bli Komang adalah tour guide asli orang Bali. Beliau mempunyai wawasan yang luas. Saat ini Bli Komang sedang berdiri di depan bus yang aku naiki untuk menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan selama kami di Bali. Seperti bagaimana cara menyikapi saat kita melihat menyan dan tata bahasa yang benar saat berbincang dengan orang Bali.
Bus melaju melewati jalan yang terjal. Meliuk-liuk membuat aku sedikit mual. Akhirnya setelah berjuang menahan mual, sekitar pukul sembilan pagi, bus yang aku naiki sudah menepi di parkiran Danau Bedugul. Pertama kali yang aku rasakan saat menuruni bus adalah kebebasan. Sejauh mata memandang hanyalah danau yang sangat luas dengan pepohohan hijau yang rindang mengelilinginya. Aku menghela nafas sebentar sebelum kembali melangkah mendekati danau.
Aku melihat dia di pinggir danau sedang mengambil gambar dengan kamera yang melilit di lehernya. Aku mendekatinya.
“Hei, foto bareng, yuk!”
Dia menoleh sedikit kaget.
“Maaf ya, aku sibuk.” Dia tertawa pelan mengejekku. Aku hanya menyernyitkan dahi melihat tingkahnya. Sayangnya sebelum kembali membujuknya untuk berfoto, temanku mengajakku untuk menaiki speed boat mengelilingi danau sejauh dua belas kilometer. Aku hanya berharap dia tadi hanya bercanda.
Aku sudah berada di speed boat dengan empat temanku. Tarifnya sebesar seratus lima puluh ribu untuk lima orang. Jadi setiap orang hanya dikenakan biaya tiga puluh ribu. Speed boat melaju kencang menerjang air danau yang tidak bersalah. Angin berhembus menerbangkan rambut kami. Aku berteriak histeris merasakan kebebasan yang luar biasa di Danau Bedugul ini. Meski pun ini kali kedua aku berada disini, tetapi keindahannya tidak berubah sejak tiga tahun yang lalu. Danau Bedugul pernah dikutip di sebuah majalah asing karena keindahannya. Di tengah danau speed boat berhenti. Bli yang mengendarai tadi mengambil foto kami berlima.
Sayang, waktu untuk menikmati kebebasan di Bedugul ini sudah habis. Kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum menuju obyek wisata selanjutnya, rombongan SMA-ku berhenti di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari Bedugul. Selesai makan siang, tidak seperti sebelumnya, karena ruang makan antara siswa laki-laki dan siswi perempuan dipisah, aku tidak bisa berkata ‘jangan lupa makan yang banyak’ padanya.
Jogger Jelek. Kata banyak orang, kita belum ke Bali kalau belum mengunjungi tempat ini. Sebuah pusat oleh-oleh khas Bali yang berupa sandang ini sangat terkenal. Yang membuatnya spesial adalah kata-katanya yang sedikit ngawur tetapi didalamnya disisipi kata bijak yang mengandung nilai moral. Aku hanya membeli beberapa barang saja disini. Tetapi tidak dengan dia, aku melihatnya sibuk memilih banyak barang untuk oleh-oleh. Saat itu hanya ada dua hal yang aku pikirkan : Yang pertama, naluri wanita untuk berbelanja itu sangat kuat. Jadi, mungkin bukan hanya dia yang begitu. Yang kedua, rasa sayangnya terhadap keluarga di rumah yang sangat besar membuat dia mempunyai pikiran untuk wajib membelikan mereka oleh-oleh.
Sebelum ke obyek wisata selanjutnya, aku harus melakukan kewajiban empat rakaat terlebih dahulu. Tetapi ada sedikit kejanggalan disini. Untuk shalat di mushola sebelah Jogger ini kami harus membayar dua ribu rupiah. Begini, oke kami disini adalah minoritas, tetapi bukan berarti untuk melaksanakan kewajiban kami harus membayar. Bukan tentang nominalnya, tetapi ini tentang menghargai agama lain untuk beribadah. Toleransi. Kecuali untuk buang air kecil atau buang air besar yang harus dikenakan tarif itu adalah hal wajar. Aku hanya ingin berfikir positif saja. Semoga dua ribu rupiah itu bukan tarif untuk melakukan shalat, tetapi tarif untuk air wudhu.
Siang itu saat mahari bersinar panas, rombongan SMA-ku sudah sampai di obyek selanjutnya yaitu Bajra Sandhi. Sebuah monumen perjuangan rakyat Bali yang terletak di Renon. Tempatnya sangat luas, dari parkiran menuju tempat utama kami harus berjalan ratusan meter. Ada jalan setapak menuju tempat utama, pinggirnya berupa lapangan hijau luas yang digunakan warga setempat untuk berolahraga. Seperti sepakbola, jogging, dan senam yoga. Banyak juga turis asing yang melakukan foto pre wedding disini. Tentunya dengan konsep khas negaranya sendiri. Aku hanya menaiki monumen itu sampai atas kemudian turun lagi untuk duduk beristirahat diluar. Aku masih kecapekan karena terlalu membuang banyak tenaga di Danau Bedugul tadi. Sebuah kebetulan lagi, dari kejauhan aku melihat dia sedang sibuk berfoto bersama teman-temannya dengan pose yang sedikit lucu. Memaksaku tersenyum di dalam hati.
***
Butir-butir pasir beterbangan kecil tertiup angin. Deburan ombak terdengar lirih dari pinggir pantai. Langit sudah tidak berawan lagi. Bahkan, saat itu turun gerimis. Beberapa meja panjang dengan kursi sudah disediakan untuk rombongan kami. Ya, kami sudah sampai di Pantai Jimbaran untuk makan malam. Baru kali ini aku merasakan sensasi makan di pinggir pantai dengan hidangan seafood. Kenikmatan seperti inilah yang disebut kenikmatan tiada tara. Dia ada di belakangku. Untuk kali ini bukan ketika makan, tetapi sebelum makan.
“Hei!” aku sedikit berteriak “Jangan lupa makan yang banyak ya!”
Semua orang yang mendengarnya langsung menoleh ke arahku. Bersorak ramai entah mengatakan apa aku tidak tahu. Yang aku tahu saat itu dia hanya tersenyum manis. Sepertinya dia sedikit malu. Tidak lama kemudian, makanan sudah siap. Kami semua makan bersama-sama.
Selesai makan, aku dan teman-temanku menyisihkan waktu sebentar untuk duduk bersantai di pinggir pantai menikmati keindahan.
“Kita adalah teman selamanya.” celoteh Danny dengan nada berteriak. Aku hanya tersenyum mengangguk. Momen itu adalah momen kebersamaan yang tidak pernah terlupa.
Makan malam di Jimbaran selesai. Bus kembali melaju menuju ke hotel Mars City tempat kami menginap selama ada di Bali. Kurang lebih pukul delapan malam bus sudah memakirkan diri di hotel. Kami semua turun dari bus membawa semua bawaan ke kamar masing-masing. Sebelumnya, setiap kamar berisi empat orang. Dan satu orang bertanggungjawab mengambil kunci kamar. Dia termasuk yang bertanggungjawab di kamarnya. Aku menarik koperku dari parkiran memasuki hotel. Di dekat pintu masuk aku berpapasan dengan dia. Wajahnya terlihat gelisah.
“Eh, tolong bawain jaket sama kameraku dulu dong. Aku mau ngambil koper dulu. Nanti aku ambil ya.” dia memberikan jaket dan kameranya padaku. Dan tentu saja aku tidak keberatan sama sekali. Dia berjalan meninggalkanku menuju parkiran.
Hotelnya cukup mewah seperti hotel bintang empat lainnya. Tempatnya nyaman dan fasilitasnya juga mewah. Di lantai dasar ada kolam renangnya. Adit yang membawa kunci kamar. Aku dan Gilang berjalan mengikutinya menuju kamar nomor 403. Farhan masih di belakang membawakan koper milik Adit. Setelah membuka pintu kamar, kami berlari ke arah spring bed. Tentu saja kami sangat merindukan kasur yang empuk. Sudah dua hari kami hanya tidur di kursi bus. Mandi adalah yang kedua setelah kasur empuk. Badan kami lengket penuh keringat seharian. Selesai mandi bergantian, Danny dari kelas sebelah mengajak kami keluar ke Pantai Kuta. Tapi aku sendiri sebenarnya kurang berminat karena malam ini aku berencana untuk menjelaskan semuanya tentang masalah hubunganku dengan dia. Tentu saja sekaligus meminta maaf telah melakukan kesalahan. Hanya Aku, Farhan, dan David yang tidak ikut ke Pantai Kuta. Danny dan yang lainnya beramai-ramai penuh semangat pergi ke Pantai Kuta malam itu.
Dengan perut yang masih lapar kami bertiga mencari makan di luar hotel. Saat itu juga dia memintaku lewat chat untuk membawakan jaket dan kameranya ke lobby. Yap, waktu yang tepat untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Kami turun dari lantai empat menuju ke lobby. Aku melihatnya sedang duduk disana. Dari belakang aku sedikit mengagetkannya dengan memberikan jaket dan kameranya.
“Eh, makasih ya.” ucapnya spontan. Aku sudah menyiapkan mental untuk menjelaskan semuanya dan meminta maaf.
“Ayo, Tok!” baru saja aku akan membuka mulut tiba-tiba Farhan menyuruhku untuk cepat karena sudah kelaparan. Kesempatanku lagi-lagi hilang. Aku pergi meninggalkannya.
Di Warung Jawa yang sederhana di dekat hotel, aku hanya memesan pop mie agar bisa cepat kembali ke hotel. Dan, sialnya, warung itu sedang ramai. Aku harus menunggu lama hanya untuk pop mie yang sebenarnya tinggal diseduh. David dan Farhan menunggu lebih lama lagi karena mereka memesan nasi telur. Akhirnya setelah menunggu lama, pop mie pesananku jadi juga. Sebelumnya aku berencana memakannya disini, tetapi karena tadi sudah menunggu terlalu lama akhirnya aku berlari menuju ke hotel dengan membawa pop mie yang masih panas jika dipegang. Urusan membayar aku serahkan pada Farhan, nanti di hotel aku tinggal menggantinya.
Aku berlari kecil membawa pop mie yang masih panas di pinggir jalan menuju hotel. Sampai di pintu masuk, aku melihatnya sedang duduk di lobby bersama teman-teman lainnya. Aku segera meletakkan pop mieku di meja dan duduk di sampingnya. Tetapi, dia sudah bukan dia beberapa menit yang lalu. Mimik wajahnya sangat berbeda dari sebelumnya. Bahkan, saat aku duduk di sampingnya, dia sedikit menghindar. Aku menjadi bingung dan gelisah. Akhirnya waktu untuk menjelaskan semuanya datang juga. Aku melihat matanya, tetapi dia melihat ke arah yang lain.
“Kamu kenapa kok kayak gitu?” tanyaku bingung.
“Kenapa to? Ya suka-suka aku lah.” jawaban yang membuatku semakin bingung lagi. Dia berpindah tempat dari sampingku ke sofa yang ada di sebelah. Aku mengejarnya.
“Hei, kamu kenapa?”
“Apa sih?” jawabnya singkat dengan wajah yang sepertinya benci padaku.
“Aku pengin ngomong sama kamu. Tapi aku nggak bisa ngomong kalo kamu lari-lari kayak gini.”
“Ngomong ya tinggal ngomong tapi nggak usah deket-deket.” sikapnya seketika menjadi sangat dingin.
Delivery McD yang baru saja datang menghentikan obrolan kami sejenak. Dia dan temannya memesan makanan dan kebetulan aku titip satu cola float. Setelah dia membayar, dia berjalan lagi memasuki hotel. Aku mengambil titipanku. Menghentikan langkahnya untuk menjelaskan semua. Akhirnya dia diam dan mau mendengarkanku.
“Kita sekarang gimana?” tanyaku.
“Aku nggak bisa kalau setiap kita ada masalah kamu langsung ngilang nggak ngasih kabar berhari-hari. Aku nggak suka kayak gitu.”
“Aku tahu aku yang salah udah kayak gitu ke kamu. Aku waktu itu masih bingung.”
“Iya, tapi apa harus ngilang dan nggak ngasih kabar berhari-hari?”
“Oke aku minta maaf. Aku nggak bakal kayak gitu lagi. Hei, aku janji bakal berubah. Kamu mau kan?”
“Ya gatau.”
“Sekarang kamu maunya gimana?” tanyaku dengan jantung yang sudah berdetak cepat sekali.
“Aku pengin kita break dulu.” jawaban singkat yang saat itu membuat aku mematung di tempat. Tidak berkedip.
“Kamu pengin kita break?” tanyaku memastikan.
Dia hanya mengangguk pelan.
“Makasih ya.” jawabku singkat dengan tubuh yang masih mematung. Aku sendiri tidak tahu kenapa saat itu aku hanya mengucapkan terimakasih. Kenapa saat itu juga aku tidak memperjuangkan hubunganku.
Dia mengangguk lagi kemudian berjalan pergi melewatiku. Suara langkah kakinya masih terdengar beberapa saat ketika meninggalkanku.
Gelap.
Sunyi.
Sepi.
Semuanya berhenti.
Semuanya mati.
Aku berjalan dengan tatapan kosong keluar hotel membawa cola float di tangan kiriku. Duduk termenung sendiri di taman depan hotel. Hanya rerumputan hijau menjalar luas yang menemaniku saat itu. Malam itu begitu pekat tidak bersahabat. Saat aku mencoba memperbaiki hubunganku tetapi justru diakhiri, kemana lagi aku harus bertumpu?
Nafasku terenggal-enggal, aku menggaruk kepala beberapa kali. Menyesal atas semuanya yang sudah terjadi. Jelas aku tidak ingin akhir yang seperti ini. Aku masih mencintai dirinya sama seperti dulu. Hanya saja sekarang ini dia tidak ingin dirinya dicintai olehku. Aku yang terlalu bodoh sudah melakukan sebuah kesalahan. Aku tidak menduga dia akan mengakhirinya seperti ini.
Tidak hanya dedaunan yang bergoyang-goyang saat itu, tubuhku juga melemas ditiup angin malam. Cola float tadi terasa hambar. Sama seperti pandanganku saat ini tentang cinta. Ketika kepercayaan diantara keduanya sudah memudar, maka tidak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Walau pun salah seorang diantaranya masih mencintai.
“Ada apa, Tok?” suara David dari belakang mengangetkanku yang sedang duduk terdiam memandangi jalanan yang sepi.
“Eh, tidak ada apa-apa, Vid.”
“Yakin nggak mau cerita?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. David hanya tersenyum kemudian meminum sedikit cola floatku lalu pergi.
***
Jumat, 8 April 2016
Pukul enam pagi aku sudah terbangun. Membuka selimut dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Saat aku sadar apa yang terjadi semalam, rasanya aku ingin menarik selimut itu lagi dan kembali terlelap. Kembali terlarut dalam mimpi-mimpi yang indah. Pagi itu hubunganku dengannya sudah berakhir. Dan aku sendiri belum siap menerima itu.
Selesai mandi bergantian, kami berempat turun kebawah untuk sarapan. Sampai dibawah ternyata semuanya sudah selesai sarapan. Hari ini kami bangun kesiangan. Dengan gesit kami segera mengambil makanan dan menghabiskannya secepat mungkin.
Pagi ini aku belum melihatnya.
Tujuan wisata yang pertama hari ini adalah melihat Tari Barong. Saat aku menaiki bus melewati pintu bagian belakang, ternyata dia sudah terduduk di depanku. Aku belum melihat wajahnya. Aku belum melihat senyumnya. Aku belum mendengar tawanya. Meski pun saat ini semuanya itu bukan lagi milikku.
Rombongan kami tiba di tempat pukul sembilan lebih. Sedangkan Tari Barong dimulai pukul setengah sepuluh sampai setengah sebelas. Aku sudah terduduk di tribun penonton. Sedari tadi aku menengok-nengok ke semua arah mencari dirinya. Tetapi belum saja terlihat. Setelah beberapa saat, dia bersama satu temannya muncul dari pintu masuk berjalan ke arah tribun. Saat itu juga duniaku berhenti. Hari ini dia terlihat sangat berbeda! Dia terlihat sangat cantik. Bibirnya yang selama ini sedikit berwarna kehitaman, pagi ini berwarna merah cerah. Membuat wajahnya bersinar bersih. Berpancar indah yang lagi-lagi membuatku tersenyum. Meski pun, dia sekarang bukan siapa-siapaku lagi.
Tari Barong dimulai. Semua penonton tertawa terbahak-bahak melihat tingkah penari yang konyol. Tari Barong ini lebih banyak mengandung unsur komedi daripada unsur tari itu sendiri. Tetapi, pertunjukan pagi itu begitu pecah. Aku sendiri sangat terhibur menikmatinya. Arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul sebelas siang yang berarti pertunjukan sudah selesai. Oh, iya, sebelum Tari Barong tadi dimulai, setiap kelas foto bersama di atas panggung. Termasuk kelasku juga. Dia berada paling sudut di sebelah kanan.
Obyek wisata selanjutnya adalah Cening Ayu. Pusat oleh-oleh khas Bali yang juga sangat terkenal. Tetapi aku tidak membeli apa-apa disini. Aku sudah memesan beberapa bungkus pie susu di tempat saudara guruku. Di lantai dua tempat ini ada sebuah cafe yang menyediakan berbagai macam kopi. Tentu saja itu sangat menarik minatku untuk kesana.
Satu gelas moccacino sudah berada di depanku. Siap untuk dinikmati sembari melihat pemandangan melalui kaca jendela yang ada di samping. Kegiatan di Cening Ayu siang ini bukan hanya untuk membeli oleh-oleh tetapi juga makan siang. Aku dan temanku yang sudah selesai menikmati kopi masing-masing segera mengambil makan karena hari ini adalah hari Jumat, kami yang beragama Islam wajib melaksanakan shalat jumat.
Bus satu dan dua berisi semua laki-laki rombongan kami yang beragama Islam. Aku berada di bus satu yang sedang melaju menuju masjid yang berada di dekat Pantai Sanur. Aku tidak tahu kenapa hari ini aku merasa tidak enak badan. Kepalaku pusing dan badanku sedikit panas. Mungkin karena kecapekan atau mungkin juga karena memikirkan hal yang lain. Entah, aku tidak tahu. Kami tiba di masjid, semuanya turun dari bus untuk shalat jumat.
***
Aku sudah berada di Pantai Sanur sekitar pukul setengah dua siang setelah shalat jumat bersama teman-teman. Disini aku hanya sekadar berjalan-jalan sebentar dan berfoto sembari menikmati angin pantai yang bersemilir. Sekaligus memandangi turis-turis asing yang mengenakan pakaian minim. Aku bukan orang yang munafik.
Aku tidak melihatnya sama sekali di Pantai Sanur ini. Baru saat aku kembali ke bus, aku melihatnya berada di dekat pintu belakang bus sedang bercengkerama dengan temannya. Aku memandanginya dari jarak agak jauh. Aku masih menyesal atas kesalahan yang aku buat.
Hei, aku masih sayang kamu.
***
Sekitar pukul setengah tiga sore aku sudah tiba di Pantai Tanjung Benoa. Sejauh mata memandang hanyalah bermacam-macam wahana permainan. Tetapi entah kenapa aku tidak tertarik sama sekali dengan semua wahana itu. Bukan karena aku tidak kuat untuk membayar, tetapi kesenangan yang aku cari bukanlah kesenangan yang seperti itu. Akhirnya aku bersama tujuh temanku memutuskan untuk mengunjungi pulau penyu.
Disini juga kali kedua aku berkunjung. Hanya sedikit saja yang berubah. Tempatnya masih indah. Di pinggir pantai yang sedang surut, aku berlari kecil mengejar gerombolan kepiting-kepiting bercapit satu. Mereka sangat lucu—seperti aku. Selanjutnya, aku melihat penyu-penyu yang ada di penangkaran. Disana ada banyak penyu dengan umur yang berbeda-beda. Mulai dari yang masih telur sampai yang berumur tujuh puluh tahun. Berbicara soal penyu, aku pernah membaca sebuah artikel di internet yang mengatakan bahwa delapan puluh persen penyu di dunia ini pernah merasakan sampah plastik yang dibuang manusia di laut. Mereka mengira sampah plastik itu adalah ubur-ubur. Kasihan ya?
Di Pantai Tanjung Benoa ini aku tidak melihatnya sekali pun. Kerinduan itu mulai muncul. Aku rindu bercanda dengannya. Aku rindu membuat sebuah lelucon untuk membuatnya tertawa. Aku rindu berbagi banyak hal dengannya. Aku rindu melihat mimik wajahnya yang cemberut saat marah denganku. Aku rindu mencubit pipinya yang menggemaskan.
Aku masih mencintainya.
***
Obyek wisata yang terakhir hari ini adalah Pantai Pandawa. Pantai indah yang katanya sering digunakan untuk shooting ftv. Disini banyak teman-temanku yang menaiki canoe. Mendayung-dayung bebas menikmati sensasi mengapung di atas laut dangkal. Keseruan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Tetapi aku sedang tidak enak badan. Aku hanya duduk di pinggiran pantai bersama teman-temanku yang lain.
Tidak lama, dia datang bersama dua temannya. Aku juga tidak tahu kenapa dia tidak ikut menaiki canoe bersama teman yang lain. Yang aku tahu saat itu, dia terlihat cantik seperti pagi tadi. Aku melihatinya berfoto dan bercanda dengan temannya dari jarak yang cukup dekat. Andai saja aku yang berada disana bersamannya. Andai saja hubunganku dengannya masih seperti dulu. Dan, andai saja dulu aku tidak membuat kesalahan.
“Hei, ayo foto-foto! Ngapain disini cuma duduk aja?” ucap salah seorang teman yang mengagetkanku yang sedang melihatinya.
Kami beranjak dari tempat kami duduk bersantai. Membersihkan sebentar celana yang terkena pasir. Berjalan bersama menuju perairan.
***
Pukul sepuluh malam di hotel, semua teman-temanku pergi meninggalkanku sendiri di dalam kamar ke Pantai Kuta. Tetapi mereka tidak sejahat itu. Sebelumnya aku sudah disuruh untuk berisitirahat yang cukup. Bahkan, temanku yang bernama Ryan ingin membelikan makanan apa saja yang aku inginkan saat itu. Tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku tidak ingin membuatnya repot. Inilah kami, seperti keluarga.
Aku berbaring di spring bed dengan selimut yang hangat. Mengistirahatkan badan sejenak. Berharap besok pagi saat bangun sudah bugar kembali. Berharap besok pagi ketika membuka mata aku masih bisa memperbaiki semuanya.
***
Sabtu, 9 April 2016
Hari ini setelah sarapan, kami membawa semua barang-barang ke dalam bus. Hari ini adalah hari terakhir berada di Bali. Kami harus check out dari hotel. Meninggalkan semua fasilitas mewah di hotel MarsCity.
Obyek wisata terakhir di pulau dewata yang akan kami kunjungi adalah Desa Penglipuran. Sebuah desa yang rating kebersihannya dari angka 1 sampai 10 adalah 11. Disini sejauh jalan yang dilewati tidak ada sampah sedikit pun. Saat itu aku berpikir daerah pertama yang berhasil menjalankan program pemerintah tentang bebas sampah adalah disini.
Aku dan teman-teman berjalan berkeliling untuk melihat-lihat dan berfoto-foto. Bangunannya masih antik, bernilai budaya yang tinggi. Disini juga banyak anjing entah liar atau tidak yang jelas mereka tidak ganas. Aku juga sempat berfoto dengan salah satu dari mereka.
Aku kembali melanjutkan berkeliling Desa Penglipuran ini. Aku belum melihat batang hidungnya sama sekali. Mungkin dia sedang sibuk berfoto-foto. Aku berjalan keluar dari belakang, sekarang aku berada seperti di hutan kecil. Banyak sekali yang mengambil gambar disini. Saat aku melihat sekitar, aku menemukan pemandangan yang sangat indah menurutku. Ya, aku melihat dia. Aku memandanginya agak lama, tanpa disadari dia menoleh ke arahku. Aku langsung memalingkan wajah melihat ke arah yang lain. Sungguh, aku merasa bodoh saat itu. Dulu kami selalu bertatap mata, sekarang kami selalu menghindari kontak mata. Perubahan yang sangat drastis.
Setelah puas berfoto-foto, kami semua kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan pulang kembali ke Pulau Jawa.
***
Sore hari kami sudah tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Hujan turun gerimis saat itu. Sebelum bus menyeberang, kami semua turun untuk berjalan kaki menuju kapal. Dia berada beberapa meter di depanku. Berjalan pelan bersama temannya. Aku terus melihatinya dari belakang. Entah suatu kebetulan apa tidak, yang jelas aku tidak berbohong, kepalanya berbalik melihat ke belakang ke arahku. Kami sempat saling memandang beberapa saat setelah akhirnya dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dariku. Saat itu aku bingung kenapa semuanya bisa menjadi seperti ini.
Kapal meninggalkan Pelabuhan Gilimanuk.
Selamat tinggal, Bali!
Tangan kiriku lagi-lagi memegang segelas kopi hangat. Sama seperti beberapa hari yang lalu, aku berada di pinggiran kapal memandangi laut yang sedang diguyur hujan saat itu. Sama seperti aku yang diguyur banyak penyesalan. Beberapa hari yang lalu, di kapal ini juga saat menyeberang dari Pelabuhan Ketapang, dia masih menjadi kekasihku. Tetapi saat ini, di kapal ini yang baru saja menyeberang dari Pelabuhan Gilimanuk, dia sudah bukan siapa-siapaku lagi.
***
Minggu, 10 April 2016
Sekitar pukul 02.00 WIB, bus sudah menginjakkan rodanya di pertengahan Jawa Timur. Semua orang didalam bus sudah terlelap. Aku masih terjaga mendengarkan musik dari hpku. Dia yang berada di depanku juga sudah tertidur. Beberapa saat berlalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Tangan itu dia sandarkan ke kursinya di bagian belakang, sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas.

Ah, tangan itu. Aku masih ingin menggenggamnya erat seperti dulu. Aku masih ingin berada di sampingnya seperti dulu. Aku masih ingin melindungi dirinya seperti dulu. Aku masih ingin menghabiskan waktuku bersamanya seperti dulu. Aku masih ingin bercanda dengannya seperti dulu.
Aku masih mencintainya.
Pukul tujuh pagi, bus sudah tiba di sekolahku yang berada di Solo, Jawa Tengah. Di dalam bus seketika ramai. Aku yakin mereka semua sangat merindukan rumah. Aku melihat keluar dari jendela kaca bus. Aku melihat sesosok pria yang tangannya dia cium saat itu. Ya, pria itu adalah ayahnya. Tapi kali ini beliau tidak datang menjemput sendiri. Adik kecilnya ikut menjemput hari ini. Dia turun dari bus, aku berada persis di belakangnya. Dia berjalan menghampiri ayah dan adiknya. Mataku tertuju pada adiknya. Dulu dia selalu bercerita banyak tentang adiknya. Dan sekarang, aku melihatnya langsung. Meski pun dia sudah bukan siapa-siapaku.
“Ini Farel ya?” tanyaku padanya sambil menunjuk adiknya.
“Iya.” jawabnya singkat lalu pergi mengambil koper.
Ayah dan adiknya berjalan pergi disusul dengan dia yang berada di belakang. Saat melewatiku dia melihatku sebentar.
“Aku pulang duluan ya.”
“Eh, iya, hati-hati ya.” jawabku sembari tersenyum. Lalu dia berjalan menjauh.
Itu adalah kalimat terakhir yang dia ucapakan padaku hingga saat ini. Aku masih menunggu jemputanku sebentar. Akhirnya dari jauh terlihat seorang pria berbadan agak besar menaiki motor beat merah menghampiriku. Aku pulang.
***
Untuk Pulau Bali, terimakasih atas semua cerita yang kau suguhkan selama aku berada disana. Entah itu cerita yang menyenangkan atau menyedihkan. Yang jelas, aku merasa senang selama berada disana. Terimakasih juga sudah menjadi tempat perpisahan.
Untuk kamu, terimakasih sudah ada. Terimakasih sudah menumbuhkan rasa itu kemudian memupuknya dalam-dalam lagi. Terimakasih sudah membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Terimakasih sudah membuang waktumu untukku. Terimakasih untuk setiap perhatian yang kau berikan. Terimakasih juga untuk setiap senyum yang kau berikan. Terimakasih untuk semuanya meski pun hanya sebentar.
Aku tahu untuk sekarang kamu benci untuk aku cintai, tapi aku tidak bisa menghilangkannya begitu saja. Kamu sudah memberikan kenyamanan di pelabuhanmu. Aku tidak bisa kembali berlayar begitu saja setelah mendapat kenyamanan. Tetapi mulai sekarang aku akan mencoba. Aku akan mencoba menaikkan jangkar kapalku bersiap untuk berlayar pergi dari pelabuhanmu. Meski pun untuk sekarang rasa itu masih sebesar dulu. Izinkan aku untuk menetap sebentar di pelabuhanmu karena memang sulit untuk pergi. Jika nanti aku menemukan pelabuhan lain yang ingin singgahi, aku akan pergi dari sini.
Terimakasih.
Gemercik air hujan masih terdengar lantang di pagi hari ini yang kehadirannya sebenarnya tidak diinginkan semua orang. Dinginnya memaksa orang yang masih terlelap untuk menarik selimut lebih tinggi lagi. Belum lagi anginnya yang semilir kencang menerpa kulit. Membangunkan bulu-bulu halus. Menggigil.
Tetapi tidak denganku, sementara orang-orang masih tertidur, aku sudah berpakaian rapi terduduk manis di kursi depan rumah dengan koper berukuran sedang dan tas ransel kecil yang aku kenakan. Melihat ke depan ke arah butir-butir hujan yang jatuh beramai-ramai menghujam tanah. Aku masih setia menunggu mereka reda. Tetapi sayang, waktu berkata lain. Seiring jarum jam berputar ke arah kanan, hujan diluar semakin menderas. Aku harus segera bergegas atau akan ketinggalan bus.
“Ayo Tok, pakai mantol.” Suara seorang lelaki berbadan besar dengan nada bicara berwibawa yang selama ini aku panggil Ayah itu mengagetkanku. Tiba-tiba saja beliau sudah berada di teras rumah menaiki motor bersiap untuk mengantarkanku ke sekolah. Aku segera beranjak dari dudukku. Tentu saja sebelumnya aku sudah berpamitan pada Ibu dan adikku. Ibuku terlihat cantik pagi ini.
***
Pukul enam lebih aku sudah tiba di sekolah. Ayahku pergi menerobos hujan setelah tangan kanannya aku cium. Roda koper berderit pelan saat aku menariknya menuju parkiran sekolah tempat semua siswa berkumpul sebelum keberangkatan. Ternyata sudah banyak yang berdatangan saat itu. Aku segera berbaur dengan teman sekelasku. Sedikit mengobrol tentang apa saja yang dibawa dan berapa uang saku yang dikantongi. Terlihat wajah mereka bercahaya penuh semangat karena hari ini kami akan melakukan study tour menuju pulau dewata. Perbincangan kami hanya terdengar samar-samar karena kalah dengan suara hujan yang masih turun deras. Wajah mereka yang tadi bercahaya kini menjadi gelisah karena hujan masih saja belum reda. Aku juga gelisah karena dia belum juga datang. Ya, dia adalah seorang wanita yang selama ini aku menaruh kasih padanya.
Dia adalah kekasihku, seorang wanita yang seumuran denganku. Dan kebetulan kami adalah teman sekelas. Sifat keibuannya berkali-kali membuatku terkagum dengan dirinya. Dari rasa kagum yang setiap hari semakin bertambah itulah akhirnya aku jatuh hati dengannya. Meski pun sebelumnya aku sudah tidak percaya lagi dengan cinta karena terbebani luka dulu, namun dia berhasil membangunkan rasa percaya itu lagi dengan nuansa kasih yang baru. Tidak perlu ditanyakan lagi, aku sangat mencintai dirinya. Tetapi, sialnya, saat ini hubungan kami sedang diambang kehancuran. Tempo hari aku membuat sebuah kesalahan. Kesalahan besar yang aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukannya. Pagi ini, sebelum keberangkatan, aku ingin menjelaskan padanya tentang masalah itu, sekaligus meminta maaf karena telah melakukan hal bodoh.
Tiba-tiba saja, ya, tiba-tiba saja saat aku menoleh ke arah kanan aku melihatnya berjalan anggun menarik koper menuju rombongan kelasku. Saat itu aku sadar, matahari baru saja terbit. Entah kenapa dia selalu terlihat berbeda di mataku meski pun orang lain selalu berkata dia biasa saja. Ingin saat itu juga aku menghampirinya dan menjelaskan semuanya. Tetapi tidak, dia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya—juga temanku. Tidak mungkin aku menariknya keluar untuk berbicara denganku. Dari dulu tidak pernah sekali pun terbesit di pikiranku untuk mengganggu waktunya saat sedang sibuk. Begitu pun dengannya, dia tidak pernah menggangguku saat aku berkumpul dengan teman-temanku.
Wakil kepala sekolah menyampaikan beberapa pesan sebelum berangkat dan diakhiri dengan doa bersama. Rombongan kelasku berjalan keluar dari parkiran menuju bus satu yang berisi campuran dari beberapa kelas. Beruntungnya kelasku berada di bus yang sama. Hanya ditambah beberapa siswa laki-laki dari kelas sebelah yang beruntungnya lagi sangat akrab dengan kelasku. Bus berangkat pukul tujuh lebih. Aku duduk empat kursi dari belakang bersebelahan dengan Adit. Aku berada di sisi kanan, Adit di sisi kiri. Dia duduk tepat di depanku. Suatu kebetulankah?
Perjalanan dimulai, bus melaju perlahan meninggalkan sekolah. Sebelumnya aku melihat dia berpamitan dengan seorang pria di luar bus. Tangan kanan pria itu diciumnya dengan lembut. Melihat itu senyumku mengembang sendirinya. Dia adalah wanita yang baik. Dan, ya, aku jelas tahu pria itu adalah ayahnya. Rintik hujan berubah menjadi embun yang melekat pada dinding kaca bus. Hujan masih mengguyur diluar. Awal keberangkatan suasana didalam bus masih ramai. Gejolak semangat masih menyertai semua orang didalam bus. Beberapa jam perjalanan diisi dengan canda tawa dan gurauan yang menyenangkan. Aku sendiri hanya bermain gitar dan menyanyi bersama teman-teman yang berada di tempat duduk belakang. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Dia sedang bercanda dengan temannya, senyumnya terlihat dan tawanya terdengar olehku. Saat ini, senyum dan tawa itu masih menjadi milikku. Meski pun sedang diambang kelayuan. Aku belum berbicara sepatah kata pun dengan dia.
Pukul dua belas siang bus menepi di sebuah rumah makan di daerah Jawa Timur. Sesuai dengan run down yang dibagikan oleh biro, kami akan makan siang dan melaksanakan kewajiban empat rakaat disini. Aku turun dari bus. Berjalan memasuki rumah makan dan mengantre mengambil makanan prasmanan. Selesai makan bersama teman-teman, aku mengambil air wudhu untuk shalat. Oh, iya, aku sempat melihat dia dari kejauhan. Berjalan di depanku membawa mukena menuju ke mushola. Sama sepertiku, melaksanakan kewajiban empat rakaat.
Pukul setengah dua siang bus kembali melaju ke arah timur menerobos panas terik matahari yang menyengat. Ac didalam bus tidak begitu terasa siang itu karena matahari diluar sana berpancar dengan gagahnya. Suasana didalam bus tidak seramai seperti pagi tadi saat keberangkatan. Banyak yang menyandarkan kepalanya di kursi untuk bersantai. Kemudian perlahan mereka semua terlelap karena perut mereka yang sudah terisi. Aku dan teman-temanku masih bersendau-gurau tidak peduli dengan panas.
Adzan maghrib berkumandang. Tiba-tiba saja bus sudah menepi di rumah makan Jembrana, Situbondo, saat aku membuka mata terbangun dari tidurku. Seperti makan siang tadi, selesai shalat aku mengantre mengambil makanan prasmanan. Membawa piring dan segelas teh hangat, aku berjalan mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku melihat dia duduk di sudut ruang. Aku memutuskan untuk duduk di depannya yang masih kosong.
“Hei! Makan yang banyak ya!” Aku berdiri di depannya. Makananku sudah habis, aku memberanikan diri berbicara dengannya untuk pertama kali sejak hubungan kami goyah. Dia menghentikan makannya sejenak.
“Eh, hei, kamu juga makan yang banyak ya!” jawabnya disertai senyum tipis. Aku membalas senyumnya kemudian pergi. Aku tidak mau mengganggunya saat makan.
Langkah awal yang bagus untuk membenahi sebuah hubungan yang sedang goyah pikirku saat itu. Ya, pikirku saat itu.
***
Kamis, 7 April 2016
Pukul satu dini hari—tentunya sudah memasuki waktu indonesia bagian tengah—aku sudah berada di atas kapal menyeberangi selat bali. Berdiri bersandar memegangi besi yang ada di disamping kapal. Tangan kiriku memegang secangkir kopi. Rambutku beterbangan kecil tertiup angin laut yang pagi itu sangat kencang berhembus. Aku memandangi lautan luas yang masih gelap. Terdengar suara deburan ombak kecil karena kapal yang aku naiki menerjang laut. Sesekali aku menyeruput kopi yang aku bawa tadi. Sedikit hangat. Dia pernah berkata padaku untuk mengurangi kebiasaanku minum kopi. Katanya, kopi itu tidak baik bagi tubuh jika dikonsumsi terlalu banyak. Lagi-lagi senyumku mengembang dengan sendirinya mengingat kata-kata itu. Aku tidak tahu sekarang dia ada dimana. Mungkin saja dia sedang memandangi laut sepertiku. Atau mungkin dia kedinginan dan sekarang sedang berada di ruangan kapal. Aku tidak tahu. Yang jelas kami berada di kapal yang sama. Meski pun kami berada di ruang hati yang berbeda.
Kopi di tangan kiriku sudah habis. Aku membuang cangkir plastik wadah kopi tadi ke tempat sampah yang berada di kapal. Bisa-bisa aku terkena denda tiga ratus juta rupiah atau penjara minimal dua tahun jika saja aku membuangnya di laut. Kapal sudah melaju setengah perjalanan, aku kembali bercanda dengan teman-temanku selama waktu sisa penyeberangan. Kurang lebih pukul dua dini hari aku menginjakkan kaki di Pelabuhan Gilimanuk.
Selamat pagi, Bali!
***
Dari Pelabuhan Gilimanuk menuju rumah makan untuk sarapan dan shalat subuh membutuhkan waktu sekitar dua jam. Bus melaju kencang tanpa hambatan karena jalanan sangat sepi saat itu. Teman-teman yang berada di dalam bus memanfaatkan waktu dua jam itu untuk tidur karena memang suasananya sangat mendukung. Pagi itu hujan kembali turun.
Sarapan bagi ini berbeda, setelah selesai mandi dan shalat subuh, teman-teman sangat antusias mengantre mengambil makanan. Termasuk aku juga. Setelah perjalanan jauh dari Situbondo sampai kesini perutku belum terisi nasi. Hanya beberapa makanan ringan di bus. Selesai sarapan aku pergi meninggalkan meja makan untuk cuci muka. Saat berjalan kembali, aku menghampirinya sebentar.
“Hei, jangan lupa makan yang banyak.” Aku berdiri agak jauh dari tempat dia duduk. Suaraku mengagetkan semua orang yang sedang makan bersamanya. Mereka semua melihat ke arahku. Tetapi aku tidak malu.
“Kamu juga ya.” balasnya singkat disertai senyum kecil. Lagi-lagi aku hanya membalas senyumnya kemudian berjalan pergi.
Obyek wisata pertama di hari ini adalah Danau Brantan Bedugul. Tempatnya berada 1200 mdpl seperti yang Bli Komang katakan. Oh, iya, Bli Komang adalah tour guide asli orang Bali. Beliau mempunyai wawasan yang luas. Saat ini Bli Komang sedang berdiri di depan bus yang aku naiki untuk menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan selama kami di Bali. Seperti bagaimana cara menyikapi saat kita melihat menyan dan tata bahasa yang benar saat berbincang dengan orang Bali.
Bus melaju melewati jalan yang terjal. Meliuk-liuk membuat aku sedikit mual. Akhirnya setelah berjuang menahan mual, sekitar pukul sembilan pagi, bus yang aku naiki sudah menepi di parkiran Danau Bedugul. Pertama kali yang aku rasakan saat menuruni bus adalah kebebasan. Sejauh mata memandang hanyalah danau yang sangat luas dengan pepohohan hijau yang rindang mengelilinginya. Aku menghela nafas sebentar sebelum kembali melangkah mendekati danau.
Aku melihat dia di pinggir danau sedang mengambil gambar dengan kamera yang melilit di lehernya. Aku mendekatinya.
“Hei, foto bareng, yuk!”
Dia menoleh sedikit kaget.
“Maaf ya, aku sibuk.” Dia tertawa pelan mengejekku. Aku hanya menyernyitkan dahi melihat tingkahnya. Sayangnya sebelum kembali membujuknya untuk berfoto, temanku mengajakku untuk menaiki speed boat mengelilingi danau sejauh dua belas kilometer. Aku hanya berharap dia tadi hanya bercanda.
Aku sudah berada di speed boat dengan empat temanku. Tarifnya sebesar seratus lima puluh ribu untuk lima orang. Jadi setiap orang hanya dikenakan biaya tiga puluh ribu. Speed boat melaju kencang menerjang air danau yang tidak bersalah. Angin berhembus menerbangkan rambut kami. Aku berteriak histeris merasakan kebebasan yang luar biasa di Danau Bedugul ini. Meski pun ini kali kedua aku berada disini, tetapi keindahannya tidak berubah sejak tiga tahun yang lalu. Danau Bedugul pernah dikutip di sebuah majalah asing karena keindahannya. Di tengah danau speed boat berhenti. Bli yang mengendarai tadi mengambil foto kami berlima.
Sayang, waktu untuk menikmati kebebasan di Bedugul ini sudah habis. Kami harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum menuju obyek wisata selanjutnya, rombongan SMA-ku berhenti di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari Bedugul. Selesai makan siang, tidak seperti sebelumnya, karena ruang makan antara siswa laki-laki dan siswi perempuan dipisah, aku tidak bisa berkata ‘jangan lupa makan yang banyak’ padanya.
Jogger Jelek. Kata banyak orang, kita belum ke Bali kalau belum mengunjungi tempat ini. Sebuah pusat oleh-oleh khas Bali yang berupa sandang ini sangat terkenal. Yang membuatnya spesial adalah kata-katanya yang sedikit ngawur tetapi didalamnya disisipi kata bijak yang mengandung nilai moral. Aku hanya membeli beberapa barang saja disini. Tetapi tidak dengan dia, aku melihatnya sibuk memilih banyak barang untuk oleh-oleh. Saat itu hanya ada dua hal yang aku pikirkan : Yang pertama, naluri wanita untuk berbelanja itu sangat kuat. Jadi, mungkin bukan hanya dia yang begitu. Yang kedua, rasa sayangnya terhadap keluarga di rumah yang sangat besar membuat dia mempunyai pikiran untuk wajib membelikan mereka oleh-oleh.
Sebelum ke obyek wisata selanjutnya, aku harus melakukan kewajiban empat rakaat terlebih dahulu. Tetapi ada sedikit kejanggalan disini. Untuk shalat di mushola sebelah Jogger ini kami harus membayar dua ribu rupiah. Begini, oke kami disini adalah minoritas, tetapi bukan berarti untuk melaksanakan kewajiban kami harus membayar. Bukan tentang nominalnya, tetapi ini tentang menghargai agama lain untuk beribadah. Toleransi. Kecuali untuk buang air kecil atau buang air besar yang harus dikenakan tarif itu adalah hal wajar. Aku hanya ingin berfikir positif saja. Semoga dua ribu rupiah itu bukan tarif untuk melakukan shalat, tetapi tarif untuk air wudhu.
Siang itu saat mahari bersinar panas, rombongan SMA-ku sudah sampai di obyek selanjutnya yaitu Bajra Sandhi. Sebuah monumen perjuangan rakyat Bali yang terletak di Renon. Tempatnya sangat luas, dari parkiran menuju tempat utama kami harus berjalan ratusan meter. Ada jalan setapak menuju tempat utama, pinggirnya berupa lapangan hijau luas yang digunakan warga setempat untuk berolahraga. Seperti sepakbola, jogging, dan senam yoga. Banyak juga turis asing yang melakukan foto pre wedding disini. Tentunya dengan konsep khas negaranya sendiri. Aku hanya menaiki monumen itu sampai atas kemudian turun lagi untuk duduk beristirahat diluar. Aku masih kecapekan karena terlalu membuang banyak tenaga di Danau Bedugul tadi. Sebuah kebetulan lagi, dari kejauhan aku melihat dia sedang sibuk berfoto bersama teman-temannya dengan pose yang sedikit lucu. Memaksaku tersenyum di dalam hati.
***
Butir-butir pasir beterbangan kecil tertiup angin. Deburan ombak terdengar lirih dari pinggir pantai. Langit sudah tidak berawan lagi. Bahkan, saat itu turun gerimis. Beberapa meja panjang dengan kursi sudah disediakan untuk rombongan kami. Ya, kami sudah sampai di Pantai Jimbaran untuk makan malam. Baru kali ini aku merasakan sensasi makan di pinggir pantai dengan hidangan seafood. Kenikmatan seperti inilah yang disebut kenikmatan tiada tara. Dia ada di belakangku. Untuk kali ini bukan ketika makan, tetapi sebelum makan.
“Hei!” aku sedikit berteriak “Jangan lupa makan yang banyak ya!”
Semua orang yang mendengarnya langsung menoleh ke arahku. Bersorak ramai entah mengatakan apa aku tidak tahu. Yang aku tahu saat itu dia hanya tersenyum manis. Sepertinya dia sedikit malu. Tidak lama kemudian, makanan sudah siap. Kami semua makan bersama-sama.
Selesai makan, aku dan teman-temanku menyisihkan waktu sebentar untuk duduk bersantai di pinggir pantai menikmati keindahan.
“Kita adalah teman selamanya.” celoteh Danny dengan nada berteriak. Aku hanya tersenyum mengangguk. Momen itu adalah momen kebersamaan yang tidak pernah terlupa.
Makan malam di Jimbaran selesai. Bus kembali melaju menuju ke hotel Mars City tempat kami menginap selama ada di Bali. Kurang lebih pukul delapan malam bus sudah memakirkan diri di hotel. Kami semua turun dari bus membawa semua bawaan ke kamar masing-masing. Sebelumnya, setiap kamar berisi empat orang. Dan satu orang bertanggungjawab mengambil kunci kamar. Dia termasuk yang bertanggungjawab di kamarnya. Aku menarik koperku dari parkiran memasuki hotel. Di dekat pintu masuk aku berpapasan dengan dia. Wajahnya terlihat gelisah.
“Eh, tolong bawain jaket sama kameraku dulu dong. Aku mau ngambil koper dulu. Nanti aku ambil ya.” dia memberikan jaket dan kameranya padaku. Dan tentu saja aku tidak keberatan sama sekali. Dia berjalan meninggalkanku menuju parkiran.
Hotelnya cukup mewah seperti hotel bintang empat lainnya. Tempatnya nyaman dan fasilitasnya juga mewah. Di lantai dasar ada kolam renangnya. Adit yang membawa kunci kamar. Aku dan Gilang berjalan mengikutinya menuju kamar nomor 403. Farhan masih di belakang membawakan koper milik Adit. Setelah membuka pintu kamar, kami berlari ke arah spring bed. Tentu saja kami sangat merindukan kasur yang empuk. Sudah dua hari kami hanya tidur di kursi bus. Mandi adalah yang kedua setelah kasur empuk. Badan kami lengket penuh keringat seharian. Selesai mandi bergantian, Danny dari kelas sebelah mengajak kami keluar ke Pantai Kuta. Tapi aku sendiri sebenarnya kurang berminat karena malam ini aku berencana untuk menjelaskan semuanya tentang masalah hubunganku dengan dia. Tentu saja sekaligus meminta maaf telah melakukan kesalahan. Hanya Aku, Farhan, dan David yang tidak ikut ke Pantai Kuta. Danny dan yang lainnya beramai-ramai penuh semangat pergi ke Pantai Kuta malam itu.
Dengan perut yang masih lapar kami bertiga mencari makan di luar hotel. Saat itu juga dia memintaku lewat chat untuk membawakan jaket dan kameranya ke lobby. Yap, waktu yang tepat untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Kami turun dari lantai empat menuju ke lobby. Aku melihatnya sedang duduk disana. Dari belakang aku sedikit mengagetkannya dengan memberikan jaket dan kameranya.
“Eh, makasih ya.” ucapnya spontan. Aku sudah menyiapkan mental untuk menjelaskan semuanya dan meminta maaf.
“Ayo, Tok!” baru saja aku akan membuka mulut tiba-tiba Farhan menyuruhku untuk cepat karena sudah kelaparan. Kesempatanku lagi-lagi hilang. Aku pergi meninggalkannya.
Di Warung Jawa yang sederhana di dekat hotel, aku hanya memesan pop mie agar bisa cepat kembali ke hotel. Dan, sialnya, warung itu sedang ramai. Aku harus menunggu lama hanya untuk pop mie yang sebenarnya tinggal diseduh. David dan Farhan menunggu lebih lama lagi karena mereka memesan nasi telur. Akhirnya setelah menunggu lama, pop mie pesananku jadi juga. Sebelumnya aku berencana memakannya disini, tetapi karena tadi sudah menunggu terlalu lama akhirnya aku berlari menuju ke hotel dengan membawa pop mie yang masih panas jika dipegang. Urusan membayar aku serahkan pada Farhan, nanti di hotel aku tinggal menggantinya.
Aku berlari kecil membawa pop mie yang masih panas di pinggir jalan menuju hotel. Sampai di pintu masuk, aku melihatnya sedang duduk di lobby bersama teman-teman lainnya. Aku segera meletakkan pop mieku di meja dan duduk di sampingnya. Tetapi, dia sudah bukan dia beberapa menit yang lalu. Mimik wajahnya sangat berbeda dari sebelumnya. Bahkan, saat aku duduk di sampingnya, dia sedikit menghindar. Aku menjadi bingung dan gelisah. Akhirnya waktu untuk menjelaskan semuanya datang juga. Aku melihat matanya, tetapi dia melihat ke arah yang lain.
“Kamu kenapa kok kayak gitu?” tanyaku bingung.
“Kenapa to? Ya suka-suka aku lah.” jawaban yang membuatku semakin bingung lagi. Dia berpindah tempat dari sampingku ke sofa yang ada di sebelah. Aku mengejarnya.
“Hei, kamu kenapa?”
“Apa sih?” jawabnya singkat dengan wajah yang sepertinya benci padaku.
“Aku pengin ngomong sama kamu. Tapi aku nggak bisa ngomong kalo kamu lari-lari kayak gini.”
“Ngomong ya tinggal ngomong tapi nggak usah deket-deket.” sikapnya seketika menjadi sangat dingin.
Delivery McD yang baru saja datang menghentikan obrolan kami sejenak. Dia dan temannya memesan makanan dan kebetulan aku titip satu cola float. Setelah dia membayar, dia berjalan lagi memasuki hotel. Aku mengambil titipanku. Menghentikan langkahnya untuk menjelaskan semua. Akhirnya dia diam dan mau mendengarkanku.
“Kita sekarang gimana?” tanyaku.
“Aku nggak bisa kalau setiap kita ada masalah kamu langsung ngilang nggak ngasih kabar berhari-hari. Aku nggak suka kayak gitu.”
“Aku tahu aku yang salah udah kayak gitu ke kamu. Aku waktu itu masih bingung.”
“Iya, tapi apa harus ngilang dan nggak ngasih kabar berhari-hari?”
“Oke aku minta maaf. Aku nggak bakal kayak gitu lagi. Hei, aku janji bakal berubah. Kamu mau kan?”
“Ya gatau.”
“Sekarang kamu maunya gimana?” tanyaku dengan jantung yang sudah berdetak cepat sekali.
“Aku pengin kita break dulu.” jawaban singkat yang saat itu membuat aku mematung di tempat. Tidak berkedip.
“Kamu pengin kita break?” tanyaku memastikan.
Dia hanya mengangguk pelan.
“Makasih ya.” jawabku singkat dengan tubuh yang masih mematung. Aku sendiri tidak tahu kenapa saat itu aku hanya mengucapkan terimakasih. Kenapa saat itu juga aku tidak memperjuangkan hubunganku.
Dia mengangguk lagi kemudian berjalan pergi melewatiku. Suara langkah kakinya masih terdengar beberapa saat ketika meninggalkanku.
Gelap.
Sunyi.
Sepi.
Semuanya berhenti.
Semuanya mati.
Aku berjalan dengan tatapan kosong keluar hotel membawa cola float di tangan kiriku. Duduk termenung sendiri di taman depan hotel. Hanya rerumputan hijau menjalar luas yang menemaniku saat itu. Malam itu begitu pekat tidak bersahabat. Saat aku mencoba memperbaiki hubunganku tetapi justru diakhiri, kemana lagi aku harus bertumpu?
Nafasku terenggal-enggal, aku menggaruk kepala beberapa kali. Menyesal atas semuanya yang sudah terjadi. Jelas aku tidak ingin akhir yang seperti ini. Aku masih mencintai dirinya sama seperti dulu. Hanya saja sekarang ini dia tidak ingin dirinya dicintai olehku. Aku yang terlalu bodoh sudah melakukan sebuah kesalahan. Aku tidak menduga dia akan mengakhirinya seperti ini.
Tidak hanya dedaunan yang bergoyang-goyang saat itu, tubuhku juga melemas ditiup angin malam. Cola float tadi terasa hambar. Sama seperti pandanganku saat ini tentang cinta. Ketika kepercayaan diantara keduanya sudah memudar, maka tidak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Walau pun salah seorang diantaranya masih mencintai.
“Ada apa, Tok?” suara David dari belakang mengangetkanku yang sedang duduk terdiam memandangi jalanan yang sepi.
“Eh, tidak ada apa-apa, Vid.”
“Yakin nggak mau cerita?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. David hanya tersenyum kemudian meminum sedikit cola floatku lalu pergi.
***
Jumat, 8 April 2016
Pukul enam pagi aku sudah terbangun. Membuka selimut dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Saat aku sadar apa yang terjadi semalam, rasanya aku ingin menarik selimut itu lagi dan kembali terlelap. Kembali terlarut dalam mimpi-mimpi yang indah. Pagi itu hubunganku dengannya sudah berakhir. Dan aku sendiri belum siap menerima itu.
Selesai mandi bergantian, kami berempat turun kebawah untuk sarapan. Sampai dibawah ternyata semuanya sudah selesai sarapan. Hari ini kami bangun kesiangan. Dengan gesit kami segera mengambil makanan dan menghabiskannya secepat mungkin.
Pagi ini aku belum melihatnya.
Tujuan wisata yang pertama hari ini adalah melihat Tari Barong. Saat aku menaiki bus melewati pintu bagian belakang, ternyata dia sudah terduduk di depanku. Aku belum melihat wajahnya. Aku belum melihat senyumnya. Aku belum mendengar tawanya. Meski pun saat ini semuanya itu bukan lagi milikku.
Rombongan kami tiba di tempat pukul sembilan lebih. Sedangkan Tari Barong dimulai pukul setengah sepuluh sampai setengah sebelas. Aku sudah terduduk di tribun penonton. Sedari tadi aku menengok-nengok ke semua arah mencari dirinya. Tetapi belum saja terlihat. Setelah beberapa saat, dia bersama satu temannya muncul dari pintu masuk berjalan ke arah tribun. Saat itu juga duniaku berhenti. Hari ini dia terlihat sangat berbeda! Dia terlihat sangat cantik. Bibirnya yang selama ini sedikit berwarna kehitaman, pagi ini berwarna merah cerah. Membuat wajahnya bersinar bersih. Berpancar indah yang lagi-lagi membuatku tersenyum. Meski pun, dia sekarang bukan siapa-siapaku lagi.
Tari Barong dimulai. Semua penonton tertawa terbahak-bahak melihat tingkah penari yang konyol. Tari Barong ini lebih banyak mengandung unsur komedi daripada unsur tari itu sendiri. Tetapi, pertunjukan pagi itu begitu pecah. Aku sendiri sangat terhibur menikmatinya. Arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul sebelas siang yang berarti pertunjukan sudah selesai. Oh, iya, sebelum Tari Barong tadi dimulai, setiap kelas foto bersama di atas panggung. Termasuk kelasku juga. Dia berada paling sudut di sebelah kanan.
Obyek wisata selanjutnya adalah Cening Ayu. Pusat oleh-oleh khas Bali yang juga sangat terkenal. Tetapi aku tidak membeli apa-apa disini. Aku sudah memesan beberapa bungkus pie susu di tempat saudara guruku. Di lantai dua tempat ini ada sebuah cafe yang menyediakan berbagai macam kopi. Tentu saja itu sangat menarik minatku untuk kesana.
Satu gelas moccacino sudah berada di depanku. Siap untuk dinikmati sembari melihat pemandangan melalui kaca jendela yang ada di samping. Kegiatan di Cening Ayu siang ini bukan hanya untuk membeli oleh-oleh tetapi juga makan siang. Aku dan temanku yang sudah selesai menikmati kopi masing-masing segera mengambil makan karena hari ini adalah hari Jumat, kami yang beragama Islam wajib melaksanakan shalat jumat.
Bus satu dan dua berisi semua laki-laki rombongan kami yang beragama Islam. Aku berada di bus satu yang sedang melaju menuju masjid yang berada di dekat Pantai Sanur. Aku tidak tahu kenapa hari ini aku merasa tidak enak badan. Kepalaku pusing dan badanku sedikit panas. Mungkin karena kecapekan atau mungkin juga karena memikirkan hal yang lain. Entah, aku tidak tahu. Kami tiba di masjid, semuanya turun dari bus untuk shalat jumat.
***
Aku sudah berada di Pantai Sanur sekitar pukul setengah dua siang setelah shalat jumat bersama teman-teman. Disini aku hanya sekadar berjalan-jalan sebentar dan berfoto sembari menikmati angin pantai yang bersemilir. Sekaligus memandangi turis-turis asing yang mengenakan pakaian minim. Aku bukan orang yang munafik.
Aku tidak melihatnya sama sekali di Pantai Sanur ini. Baru saat aku kembali ke bus, aku melihatnya berada di dekat pintu belakang bus sedang bercengkerama dengan temannya. Aku memandanginya dari jarak agak jauh. Aku masih menyesal atas kesalahan yang aku buat.
Hei, aku masih sayang kamu.
***
Sekitar pukul setengah tiga sore aku sudah tiba di Pantai Tanjung Benoa. Sejauh mata memandang hanyalah bermacam-macam wahana permainan. Tetapi entah kenapa aku tidak tertarik sama sekali dengan semua wahana itu. Bukan karena aku tidak kuat untuk membayar, tetapi kesenangan yang aku cari bukanlah kesenangan yang seperti itu. Akhirnya aku bersama tujuh temanku memutuskan untuk mengunjungi pulau penyu.
Disini juga kali kedua aku berkunjung. Hanya sedikit saja yang berubah. Tempatnya masih indah. Di pinggir pantai yang sedang surut, aku berlari kecil mengejar gerombolan kepiting-kepiting bercapit satu. Mereka sangat lucu—seperti aku. Selanjutnya, aku melihat penyu-penyu yang ada di penangkaran. Disana ada banyak penyu dengan umur yang berbeda-beda. Mulai dari yang masih telur sampai yang berumur tujuh puluh tahun. Berbicara soal penyu, aku pernah membaca sebuah artikel di internet yang mengatakan bahwa delapan puluh persen penyu di dunia ini pernah merasakan sampah plastik yang dibuang manusia di laut. Mereka mengira sampah plastik itu adalah ubur-ubur. Kasihan ya?
Di Pantai Tanjung Benoa ini aku tidak melihatnya sekali pun. Kerinduan itu mulai muncul. Aku rindu bercanda dengannya. Aku rindu membuat sebuah lelucon untuk membuatnya tertawa. Aku rindu berbagi banyak hal dengannya. Aku rindu melihat mimik wajahnya yang cemberut saat marah denganku. Aku rindu mencubit pipinya yang menggemaskan.
Aku masih mencintainya.
***
Obyek wisata yang terakhir hari ini adalah Pantai Pandawa. Pantai indah yang katanya sering digunakan untuk shooting ftv. Disini banyak teman-temanku yang menaiki canoe. Mendayung-dayung bebas menikmati sensasi mengapung di atas laut dangkal. Keseruan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Tetapi aku sedang tidak enak badan. Aku hanya duduk di pinggiran pantai bersama teman-temanku yang lain.
Tidak lama, dia datang bersama dua temannya. Aku juga tidak tahu kenapa dia tidak ikut menaiki canoe bersama teman yang lain. Yang aku tahu saat itu, dia terlihat cantik seperti pagi tadi. Aku melihatinya berfoto dan bercanda dengan temannya dari jarak yang cukup dekat. Andai saja aku yang berada disana bersamannya. Andai saja hubunganku dengannya masih seperti dulu. Dan, andai saja dulu aku tidak membuat kesalahan.
“Hei, ayo foto-foto! Ngapain disini cuma duduk aja?” ucap salah seorang teman yang mengagetkanku yang sedang melihatinya.
Kami beranjak dari tempat kami duduk bersantai. Membersihkan sebentar celana yang terkena pasir. Berjalan bersama menuju perairan.
***
Pukul sepuluh malam di hotel, semua teman-temanku pergi meninggalkanku sendiri di dalam kamar ke Pantai Kuta. Tetapi mereka tidak sejahat itu. Sebelumnya aku sudah disuruh untuk berisitirahat yang cukup. Bahkan, temanku yang bernama Ryan ingin membelikan makanan apa saja yang aku inginkan saat itu. Tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku tidak ingin membuatnya repot. Inilah kami, seperti keluarga.
Aku berbaring di spring bed dengan selimut yang hangat. Mengistirahatkan badan sejenak. Berharap besok pagi saat bangun sudah bugar kembali. Berharap besok pagi ketika membuka mata aku masih bisa memperbaiki semuanya.
***
Sabtu, 9 April 2016
Hari ini setelah sarapan, kami membawa semua barang-barang ke dalam bus. Hari ini adalah hari terakhir berada di Bali. Kami harus check out dari hotel. Meninggalkan semua fasilitas mewah di hotel MarsCity.
Obyek wisata terakhir di pulau dewata yang akan kami kunjungi adalah Desa Penglipuran. Sebuah desa yang rating kebersihannya dari angka 1 sampai 10 adalah 11. Disini sejauh jalan yang dilewati tidak ada sampah sedikit pun. Saat itu aku berpikir daerah pertama yang berhasil menjalankan program pemerintah tentang bebas sampah adalah disini.
Aku dan teman-teman berjalan berkeliling untuk melihat-lihat dan berfoto-foto. Bangunannya masih antik, bernilai budaya yang tinggi. Disini juga banyak anjing entah liar atau tidak yang jelas mereka tidak ganas. Aku juga sempat berfoto dengan salah satu dari mereka.
Aku kembali melanjutkan berkeliling Desa Penglipuran ini. Aku belum melihat batang hidungnya sama sekali. Mungkin dia sedang sibuk berfoto-foto. Aku berjalan keluar dari belakang, sekarang aku berada seperti di hutan kecil. Banyak sekali yang mengambil gambar disini. Saat aku melihat sekitar, aku menemukan pemandangan yang sangat indah menurutku. Ya, aku melihat dia. Aku memandanginya agak lama, tanpa disadari dia menoleh ke arahku. Aku langsung memalingkan wajah melihat ke arah yang lain. Sungguh, aku merasa bodoh saat itu. Dulu kami selalu bertatap mata, sekarang kami selalu menghindari kontak mata. Perubahan yang sangat drastis.
Setelah puas berfoto-foto, kami semua kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan pulang kembali ke Pulau Jawa.
***
Sore hari kami sudah tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Hujan turun gerimis saat itu. Sebelum bus menyeberang, kami semua turun untuk berjalan kaki menuju kapal. Dia berada beberapa meter di depanku. Berjalan pelan bersama temannya. Aku terus melihatinya dari belakang. Entah suatu kebetulan apa tidak, yang jelas aku tidak berbohong, kepalanya berbalik melihat ke belakang ke arahku. Kami sempat saling memandang beberapa saat setelah akhirnya dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dariku. Saat itu aku bingung kenapa semuanya bisa menjadi seperti ini.
Kapal meninggalkan Pelabuhan Gilimanuk.
Selamat tinggal, Bali!
Tangan kiriku lagi-lagi memegang segelas kopi hangat. Sama seperti beberapa hari yang lalu, aku berada di pinggiran kapal memandangi laut yang sedang diguyur hujan saat itu. Sama seperti aku yang diguyur banyak penyesalan. Beberapa hari yang lalu, di kapal ini juga saat menyeberang dari Pelabuhan Ketapang, dia masih menjadi kekasihku. Tetapi saat ini, di kapal ini yang baru saja menyeberang dari Pelabuhan Gilimanuk, dia sudah bukan siapa-siapaku lagi.
***
Minggu, 10 April 2016
Sekitar pukul 02.00 WIB, bus sudah menginjakkan rodanya di pertengahan Jawa Timur. Semua orang didalam bus sudah terlelap. Aku masih terjaga mendengarkan musik dari hpku. Dia yang berada di depanku juga sudah tertidur. Beberapa saat berlalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Tangan itu dia sandarkan ke kursinya di bagian belakang, sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas.
Ah, tangan itu. Aku masih ingin menggenggamnya erat seperti dulu. Aku masih ingin berada di sampingnya seperti dulu. Aku masih ingin melindungi dirinya seperti dulu. Aku masih ingin menghabiskan waktuku bersamanya seperti dulu. Aku masih ingin bercanda dengannya seperti dulu.
Aku masih mencintainya.
Pukul tujuh pagi, bus sudah tiba di sekolahku yang berada di Solo, Jawa Tengah. Di dalam bus seketika ramai. Aku yakin mereka semua sangat merindukan rumah. Aku melihat keluar dari jendela kaca bus. Aku melihat sesosok pria yang tangannya dia cium saat itu. Ya, pria itu adalah ayahnya. Tapi kali ini beliau tidak datang menjemput sendiri. Adik kecilnya ikut menjemput hari ini. Dia turun dari bus, aku berada persis di belakangnya. Dia berjalan menghampiri ayah dan adiknya. Mataku tertuju pada adiknya. Dulu dia selalu bercerita banyak tentang adiknya. Dan sekarang, aku melihatnya langsung. Meski pun dia sudah bukan siapa-siapaku.
“Ini Farel ya?” tanyaku padanya sambil menunjuk adiknya.
“Iya.” jawabnya singkat lalu pergi mengambil koper.
Ayah dan adiknya berjalan pergi disusul dengan dia yang berada di belakang. Saat melewatiku dia melihatku sebentar.
“Aku pulang duluan ya.”
“Eh, iya, hati-hati ya.” jawabku sembari tersenyum. Lalu dia berjalan menjauh.
Itu adalah kalimat terakhir yang dia ucapakan padaku hingga saat ini. Aku masih menunggu jemputanku sebentar. Akhirnya dari jauh terlihat seorang pria berbadan agak besar menaiki motor beat merah menghampiriku. Aku pulang.
***
Untuk Pulau Bali, terimakasih atas semua cerita yang kau suguhkan selama aku berada disana. Entah itu cerita yang menyenangkan atau menyedihkan. Yang jelas, aku merasa senang selama berada disana. Terimakasih juga sudah menjadi tempat perpisahan.
Untuk kamu, terimakasih sudah ada. Terimakasih sudah menumbuhkan rasa itu kemudian memupuknya dalam-dalam lagi. Terimakasih sudah membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Terimakasih sudah membuang waktumu untukku. Terimakasih untuk setiap perhatian yang kau berikan. Terimakasih juga untuk setiap senyum yang kau berikan. Terimakasih untuk semuanya meski pun hanya sebentar.
Aku tahu untuk sekarang kamu benci untuk aku cintai, tapi aku tidak bisa menghilangkannya begitu saja. Kamu sudah memberikan kenyamanan di pelabuhanmu. Aku tidak bisa kembali berlayar begitu saja setelah mendapat kenyamanan. Tetapi mulai sekarang aku akan mencoba. Aku akan mencoba menaikkan jangkar kapalku bersiap untuk berlayar pergi dari pelabuhanmu. Meski pun untuk sekarang rasa itu masih sebesar dulu. Izinkan aku untuk menetap sebentar di pelabuhanmu karena memang sulit untuk pergi. Jika nanti aku menemukan pelabuhan lain yang ingin singgahi, aku akan pergi dari sini.
Terimakasih.
No comments:
Post a Comment