Saturday, April 25, 2015

Cerita Dibalik Teduhnya Lagu Resah


Selamat pagi putri, dengan jalan pikirmu yang masih tak bisa kumengerti

    Eaaaak :v Sekali-kali bersajak boleh lah. Walaupun sebenarnya cuma ikut-ikut salah satu peserta SUCI 5 sih. Yap betul, Wira. Dengan kumisnya yang khas dan jenggot yang tumbuhnya di leher._. Saat stand up selalu membawakan materinya dengan konsep ‘bersajak’. Anti mainstream kalau kata anak muda jaman sekarang. Tapi sayang minggu ini dia harus pulang.
    Oke, kembali ke permasalahan yang ingin saya tulis. Payung Teduh. Lagu-lagunya tidak luput dari nama bandnya. Teduh. Semua lagunya bikin hati adem. Apalagi kalau lagi galau (uhuk). Tapi kali ini kita (kita?) akan membahas salah satu lagunya yang berjudul Resah. Bagi temen-temen yang belum tau lagunya, coba di download deh. Serius, lagu yang satu ini bikin kita merinding kalo denger. Bukan promosi lho ya. Haha. Terus, lagu ini juga enak buat penghantar tidur. Pengennya tidur terus. Tapi jangan lupa bangun.

Parararara.. Parararara.. Parararara... Pararara…
Parararara.. Parararara.. Huuuu…uuu….

Aku ingin berjalan bersamamu dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu
(Reff) Aku ingin berdua denganmu di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu tapi aku hanya melihat keresahanmu

Parararara.. Parararara.. Parararara... Pararara…
Parararara.. Parararara.. Huuu.. Huuu…
Aku menunggu dengan sabar di atas sini melayang-layang
Tergoyang angin menantikan tubuh itu
(Reff 2x)
Buat yang suka nyanyi, reff yang kedua overtune tuh. Haha.

    Pertama denger lagu ini dari temen. Pertama biasa aja, lama-lama kok enak didenger? Terus jadi kepo sama Payung Teduh. Gas, saya ingin membahas satu-persatu liriknya. Oh iya, sebelumnya saya biasa aja sih sama lirik dan lagunya. Kemarin, temen saya ngomong katanya ada ‘cerita’ dibalik teduhnya lagu Resah. Nggak percaya, saya langsung googling tentang nih lagu. Ternyata benar. Disini kita (kita??) akan mengulasnya kembali. Jangan kemana-mana tetap di SILET.

    Dimulai dari latar belakang lirik lagu ini berasal. Setelah saya membaca beberapa blog, ada satu yang bikin saya paling percaya. Jadi gini, salah satu personil Payung Teduh yang bernama Aziz Kariko atau yang sering dipanggil “Comi’ adalah dosen. Saat itu dia menceritakan kepada mahasiswanya tentang darimana lirik dari lagu Resah ini berasal. Semuanya bermula pada pengalaman Comi saat hiking. Dia hiking bersama teman-temannya. Ada satu teman cowoknya yang cerita kalo dia lagi ada masalah cinta. Di tengah perjalanan, temannya itu hilang. Semuanya mencari. Karena kesusahan mencarinya dan nggak ketemu-ketemu, akhirnya mereka memutuskan untuk menunggunya di pos selanjutnya. Lama nggak dateng-dateng, mereka mencarinya kembali. Setelah ditemukan, temannya yang hilang itu sudah tidak bernyawa dengan gantung diri di atas pohon. Ternyata, dia ngantongin kertas yang berisi puisi. Nah, penggalan puisi itu kemudian dimasukkan ke lirik lagu Resah.

    Cuss, langsung saja kita (kita???) bahas lirik dari lagu ini. Kita (kamu aja keles) akan membahas per kalimatnya.

“Aku ingin berjalan bersamamu dalam hujan dan malam gelap”

    Coba fokus pada dua kata “hujan” dan “malam gelap”. Sekarang begini, jika kalian ingin pergi bersama pacar atau orang yang kalian sayangi, mungkinkah kalian akan pergi saat hujan dan malam gelap? Kemungkinannya sangat kecil. Malam minggu hujan aja pada bingung. Apalagi kalo malem-malem. Kata “malam gelap” pada kalimat ini lebih mengarah pada dunia yang lain. Bukan dunia kita. Nahloh, gimana tuh?

“Tapi aku tak bisa melihat matamu”

    Kalian bisa melihat mata teman kalian? Tentu bisa. Saya sendiri juga bisa. Bukan hanya mata, seluruh tubuh orang lain saya juga bisa lihat. Kalian bisa lihat mata makhluk ghaib? Tentu tidak. Beda lagi dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan khusus. Jangankan melihat matanya, dengar temen ngomongin makhluk ghaib aja saya sudah merinding. Besar kemungkinan maksud dari kalimat ini adalah tidak bisa bertemu dengan orang itu karena sudah berbeda dunia. Sudah tidak bisa lagi melihat matanya.


“Aku ingin berdua denganmu di antara daun gugur”

    Disini saya mencoba berimajinasi. Anggap saja pohon itu adalah kehidupan, daun adalah nyawa. Sedangkan ‘gugur’ adalah kematian. Dengan begitu ‘daun gugur’ bisa diartikan kematian seseorang. Sekarang sudah sangat jelas, sang penulis puisi yang sedang ada problematika cinta besar adanya adalah ditinggal mati sang kekasih. Maksud dari kalimat ini adalah masih ingin berdua dengan sang kekasih di dunia antara kematian dan kehidupan. Di antara daun gugur.

“Aku ingin berdua denganmu tapi aku hanya melihat keresahanmu”

    Langsung saja, mungkin maksud dari kalimat ini adalah sang kekasih yang sebenarnya juga masih ingin berdua dengannya tetapi sadar mereka sudah berbeda dunia. Hanya resah yang tercipta. Resah antara ingin bertemu tetapi kenyataan tidak memperbolehkan mereka bertemu.

“Aku menunggu dengan sabar di atas sini melayang-layang”

    Melayang-layang disini berarti tidak menapak pada tanah. Pernah melihat orang gantung diri kakinya menapak pada tanah? Kalo pernah, saya berani taruhan orang itu masih hidup. Di kalimat ini mungkin saja maksudnya adalah tentang cara sang penulis puisi untuk bisa bertemu lagi dengan kekasihnya di dunia yang berbeda. Yap, cara itu adalah dengan bunuh diri. Dengan adanya kata “melayang-layang” yang berarti cara bunuh dirinya dengan cara gantung diri. Jika kita benar-benar mencintai seseorang, kita akan melakukan hal bodoh sekalipun untuknya.

“Tergoyang angin menantikan tubuh itu”

    Melayang-layang tergoyang angin. Mungkin jiwa yang telah lepas dari dirinya tergoyang angin di atas sana menantikan tubuh sang kekasih untuk bisa bertemu kembali. Untuk kali ini, di dunia yang sama.

Wah liriknya sudah habis ^^
    Ada pesan yang ingin saya sampaikan pada kalian semua teman, sebenarnya mengutip dari novel Filosofi Kopi yang saya baca beberapa hari lalu:
“Meski hidup ini tidak sempurna, tapi indah begini adanya.”

Jadi nikmati saja hidup ini. Bukankah hidup ini indah?


Terimakasih.
Baca Selengkapnya >>>

Sunday, April 19, 2015

Jangan Bersedih Miranda

    Memikirkanmu dalam pelukannya. Mungkin seperti itulah yang dirasakan Miranda saat ini. Berada dalam pelukan seorang pria yang tidak dicintainya. Semuanya berawal ketika dia sadar telah jatuh hati kepada orang yang salah. Pria yang selama ini ia dambakan ternyata tidak pernah sekalipun menggubris cintanya. Meskipun demikian, perasaan Miranda pada pria yang dicintainya bagaikan air dari hulu ke hilir. Terus mengalir tiada henti.

    Pagi itu ketika surya mulai menampakkan wujudnya, Miranda terbangun dari tidurnya. Ia harus menerima kenyataan bahwa saat ini ia telah menjadi milik seorang pria yang tidak dicintainya. Dulu ia terpaksa menerimanya karena dua alasan. Yang pertama, Miranda merasa kasihan pada Bian karena telah mengejar-ngejarnya sejak dulu. Yang kedua, Miranda sadar bahwa mencintai seseorang yang tidak mencintainya adalah percuma. Meskipun sampai sekarang Miranda masih mencintai seseorang tersebut.

“Pagi Mir, gimana tidurnya semalam? Nyenyak? Mimpi indah?” sapa Bian dari telepon.
“Nyenyak dong. Kamu sendiri gimana Bian?” jawab Miranda.
“Aku kurang nyenyak Mir. Semalam gerah banget.”
“Yeee kamu mesti belum mandi ya gerah lah.”
“Udah kok. Tapi gatau kenapa masih gerah. Hari ini kamu berangkat kerja jam berapa Mir? Biar aku antar kalau boleh.”
“Nanti aku berangkat jam 9. Boleh dong diantar kamu. Hehehe.”
“Oke. Nanti aku jemput di rumah ya.”
“Iya, tapi jangan lupa mandi. Masa iya mau nganter pacarnya belum mandi. Hahaha.”
“Siap bu. Sampai jumpa nanti ya. Love you Mir.”
“Love you too Bian.” Miranda menutup telponnya.

    Ada rasa kasih sayang di percakapan lewat telepon itu. Tetapi hanya satu belah pihak. Ya, Miranda sebenarnya tidak mencintai Bian. Selama ini Miranda hanya memakai topeng cinta untuk berkedok di hadapan Bian. Hanya itu yang dapat ia lakukan selama ini. Memang sekarang dirinya sudah menjadi milik Bian, tetapi tidak hatinya. Hatinya sedang berada di tempat lain memperjuangkan balasan cinta dari seorang pria yang Miranda cintai.
   
    Miranda Savina 25 tahun, tinggi badan 165 cm, berat badan ideal. Dengan parasnya yang ayu, sekarang ia bekerja menjadi SPG di sebuah merk motor. Tak sedikit pengunjung yang membeli merk motor tersebut karena Miranda. Ia memang berbakat dalam hal menawarkan barang. Salah satu pembeli itu adalah Bian. Dulu Bian jatuh hati kepada Miranda saat melihat-lihat merk motor tempat Miranda bekerja. Akhirnya sekarang Bian berhasil mendapatkan hatinya. Meskipun Bian tidak tahu soal topeng cinta yang Miranda kenakan.

    Tok tok tok. Terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang.

“Iya tunggu sebentar.” teriak Miranda dari dalam rumah. Kemudian ia berlari kecil dari kamar menuju depan untuk membukakan pintu.
“Hai, Mir. Sudah siap?” tanya Bian.
“Hai, Bian. Tunggu bentar lagi ya. Kamu duduk dulu aja di ruang tamu.” jawab Miranda sembari berjalan kembali ke kamar.
“Oke, aku tunggu disini ya.”

    Sebenarnya Miranda sudah siap berangkat saat itu juga. Tetapi saat berada di kamar, ia merenungkan sesuatu. Apakah tidak apa jika aku terus membohongi Bian? Kenapa aku masih mengharapkan balasan cinta dari seorang yang tidak mungkin mencintaiku? Padahal disini, saat ini juga ada seorang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus. Tapi mengapa?

“Mir, jangan lama-lama. Nanti kamu bisa telat lho.” teriak Bian menyadarkan lamunan Miranda di kamar.
“Iya, sebentar lagi kok.” teriak Miranda dari kamar kemudian berjalan menuju ruang tamu.
“Yuk berangkat sekarang.” ajak Miranda.
“Gas.” jawab Bian singkat.

    Kemudian sepasang kekasih itu berangkat mengendarai motor. Selama perjalanan Miranda masih memikirkan soal tadi. Tiba-tiba lamunannya terpecahkan saat motor yang ia naiki bersama Bian sudah sampai di tempat tujuan. Tempat Miranda bekerja.

“Nanti kamu pulang jam berapa Mir? Biar aku jemput.” Bian menawarkan.
“Aku nanti ada lembur, aku bisa pulang sendiri kok.” jawab Miranda.
“Oh yasudah kalo memang begitu. Aku berangkat dulu ya Mir.”
“Hati-hati Bian. Bye.” Miranda melambaikan tangan.

Kemudian ia berjalan masuk ke dalam kantornya.

“Pagi Miranda.” sapa rekan kerjanya.
“Pagi Rosi.” jawab Miranda sambil melempar senyum.
“Pagi Miranda.”
“Pagi Dio.” lagi-lagi Miranda melempar senyumnya.

    Semua rekan kerja menyapa Miranda saat Miranda berjalan menuju ruangannya. Ketika ia hampir sampai di ruangannya, ada seseorang lagi yang menyapanya.
“Pagi princess.” sapa lelaki setengah baya.
“Pagi Pak Joni.” kali ini Miranda tidak tersenyum, tetapi menampakkan ekspresi wajah yang aneh. Pak Joni ini adalah OB yang selalu genit pada Miranda.

    Setelah menaruh tas, Miranda mulai bekerja. Diawali dengan berkaca merapikan busananya. Saat berkaca, Miranda menghayal lagi. Jika ia yang berada di cermin saat itu nyata dan hidup, ia akan menyuruhnya untuk menjadi kekasih Bian. Sedangkan Miranda sendiri akan berjuang mendapatkan balasan cinta dari seorang pria yang dicintainya. Tetapi sayang, semuanya itu tidak mungkin terjadi. Miranda harus menerima kenyataannya.

“Selamat pagi mas, ada yang bisa saya bantu?” tanya Miranda dengan senyum yang spesial untuk para pelanggan.
“Ini mbak, motor yang ini ada warna yang lain nggak?” pria itu menunjuk motor yang ada di depannya sambil membalikkan badan menghadap Miranda.

    Betapa terkejutnya Miranda saat itu, pria itu adalah seorang yang menjadi alasan Miranda mengenakan topeng cinta untuk berkedok pada Bian. Arkie nama pria itu. Seorang pria yang selama ini Miranda harapkan balasan cintanya.

“Ehh? Miranda?” tanya pria itu terkejut.
“Emm iya. Kamu Arkie kan?” tanya Miranda balik.
“Iya ini Arkie. Hahaha, hampir saja aku tidak mengenalimu Mir. Tambah cantik aja sih. Gimana kabarnya?”
“Bisa aja kamu, aku masih seperti dulu. Kabarku baik Ar, kalo kamu?”
“Alhamdulillah baik Mir. Sekarang kamu kerja disini ya? Ayolah cari makan sambil ngobrol, udah lama nggak ketemu nih.”
“Ehh bentar Ar, aku minta ijin dulu sama bos.”
“Oke, aku tunggu di depan ya.”
“Oke Ar.”

    Miranda berjalan meninggalkan Arkie untuk meminta ijin pada bos. Setelah mendapat ijin, ia menghampiri Arkie yang berada di depan. Ia tidak menyangka akan bertemu Arkie disini. Miranda sangat bersemangat saat itu. Berjalan dengan tersenyum, seperti orang yang paling bahagia saat itu.

“Yuk Ar, udah dapet ijin nih.”
“Kok cepet banget? Hahaha. Makan dimana nih?”
“Serah kamu aja deh, aku mah nurut aja.”
“Yaelah. Terserah aku nih? Oke deh. Yuk.”
  
    Kemudian Miranda dan Arkie pergi mencari makan. Tak lama, Arkie berhenti di sebuah restoran yang agak mewah.

“Udah sampai nih Mir, turun dong.”
“Maaf Ar. Eh, kok aku belum pernah kesini ya?”
“Keliatannya memang tempatnya sederhana Mir, tapi makanannya rasanya dijamin enak.”
“Masa sih? Nggak bohong kan? Hehehe.” canda Miranda.
“Yee nggak percayaan banget sih Mir. Hahaha. Yaudah ayo masuk. Mau jadi tukang parkir disini?”
“Yuk yuk.” kemudian mereka berdua berjalan masuk ke dalam.
“Ini menunya mas.” seorang pelayan memberikan daftar menu.
“Mau makan apa Mir?” tanya Arkie.
“Ayam bakar aja deh, minumnya es jeruk ya.” jawab Miranda.
“Ayam bakarnya 2, minumnya es jeruk 2 mas.”
“Oke.” jawab pelayan kemudian meninggalkan mereka berdua.
“Kok kamu pesennya ikutan aku sih Ar?”
“Nggak boleh? Mas.. mas…”
“Eh eh, gapapa kok. Ih, kamu ini ya. Hahaha.”
“Hahaha. Dulu pas kuliah kalo kita makan pesennya juga samaan Mir. Lupa?”
“Nggak mungkin lupa lah. Hahaha. Tapi kebanyakan kamu yang ikut-ikut aku Ar.”
“Iya sih hehe. Kamu sekarang cantik gini pasti udah punya pacar dong.” tanya Arkie.
Apakah Miranda harus menjawab “belum” agar Arkie bisa memberi kesempatan padanya?
“Eh anu, iya Ar, aku udah punya pacar.” jawab Miranda sambil menundukkan kepala.
“Wah beruntung banget cowok kamu. Hahaha.”
“Kalo kamu gimana Ar? Sekarang tambah ganteng gini pasti udah punya pacar dong. Hahaha.” goda Miranda.
“Kalo pacar nggak ada Mir.”
“Lha terus?”
“Aku udah tunangan.”
   
    Jedyaarrr. Hati Miranda bagai tersambar petir. Pria yang selama ini ia harapkan balasan cintanya ternyata telah memberikan cintanya kepada orang lain. Pria yang menjadi alasan ia memakai topeng cinta untuk berkedok pada Bian ternyata telah menjadi milik orang lain. Miranda tidak percaya semua ini. Yang semula bagaikan orang paling bahagia sekarang justru sebaliknya. Tubuhnya sekarang lemas, tetapi ia kuatkan.

“Kenapa Mir kok diem?”
“Ehh, gapapa kok Ar. Selamat ya. Kenalin ke aku dong tunanganmu. Terus, kapan mau nikah Ar?” Miranda berpura-pura semangat dan tanpa sengaja ia meneteskan air matanya.
“Kamu kenapa Mir? Gapapa kan?”
“Gapapa Ar, ini lho kelilipan. Hahaha.”
“Oh, kirain kamu kenapa.”

    Untung saja Miranda pintar berakting. Tiba-tiba datang pelayan membawakan makanan pesanan mereka berdua.

“Ayam bakar dan es jeruk.” tanya pelayan.
“Iya mas, sini mas.” jawab Arkie.
“Selamat makan Mir.”
“Iya Ar.”
   
    Arkie melahap makanannya dengan nikmat. Tetapi tidak dengan Miranda, seenak apapun makanan yang ia makan sekarang ini, rasanya akan tetap pahit. Setelah selesai makan, Arkie mengantarkan Miranda kembali ke tempat kerjanya.

“Makasih buat reuni kecil kita berdua Mir. Hahaha.”
“Harusnya aku yang terima kasih Ar, udah kamu traktir makan.”
“Tenang aja Mir, dulu pas kuliah kamu juga sering traktir aku makan kok. Oh iya, aku cabut duluan ya. Sukses buat kamu Mir.”
“Iya, hati-hati Ar. Sukses juga buat kamu. Jangan lupa undang aku di pernikahanmu ya.” Miranda tersenyum. Arkie membalas senyumnya kemudian pergi.
   
    Miranda kembali bekerja dengan hati yang tidak tenang. Ia benar-benar merasa bersalah kepada Bian selama ini. Ingin rasanya melepas topeng cinta yang selama ini menjadi kedok pada Bian. Ingin rasanya benar-benar akan mencintai Bian. Sepulang kerja Miranda menelpon Bian untuk menjemputnya. Ia tidak jadi lembur. Miranda ingin cepat-cepat bertemu dengan Bian.

    “Hai Miranda. Nggak jadi lembur ya?” Bian sudah tiba di tempat kerja Miranda.
“Nggak jadi. Yuk pulang Bian.”
“Nih helmnya.” Bian memberikan helm pada Miranda kemudian mengantarkannya pulang.
“Bian, kamu jangan pulang dulu. Sini masuk ke ruang tamu.”
“Oke Mir.” jawab Bian.
“Bian, aku minta maaf ya.” Miranda memeluk Bian sambil menangis di bahunya.
“Eh? Kamu kenapa Mir? Maaf soal apa?” Bian bingung.
“Aku sayang kamu Bian. Jangan tinggalin aku ya.” rengek Miranda. Bian tersenyum.
“Iya sayang, aku nggak bakal ninggalin kamu kok. Aku janji Mir.” Bian membalas pelukan Miranda dengan erat. Mendekapnya seakan tak mau kehilangan.
“Makasih Bian.”

    Akhirnya, Miranda benar-benar sudah bisa melepas topeng kedoknya. Sekarang ia benar-benar mencintai Bian dan bahkan ia tak mau kehilangan Bian.
Terkadang kita tidak sadar bahwa sebenarnya ada seseorang yang benar-benar menyayangi dan mencintai kita. Tetapi kita justru masih mengharapkan orang lain yang belum tentu mengharapkan kita. Beruntung Miranda cepat-cepat tersadar, jika tidak, mungkin Bian akan segera mengetahui kedok Miranda dan kemudian meninggalkan Miranda karena merasa tidak dihargai. Janganlah kamu kecewakan orang yang benar-benar mencintaimu :)

Sedikit tambahan, sebenarnya tunangan Arkie adalah Bian :v
Baca Selengkapnya >>>

Thursday, April 2, 2015

Terima Kasih Evelyne



    Jam istirahat, hal yang paling aku tunggu-tunggu saat di sekolah. Setelah lama mendengarkan ocehan guru yang tidak ada bedanya dengan ocehan burung muraiku di rumah itu, akhirnnya bel istirahat terdengar. Saat jam pelajaran berlangsung tadi, aku teringat sebuah pribahasa tong kosong berbunyi nyaring yang artinya orang yang banyak berbicara biasanya tidak punya otak atau bodoh. Kemudian aku berpikir, daritadi pagi siapa yang banyak bicara? Bukankah orang di depan yang sedang mengajarku itu daritadi hanya bicara terus? Ingin aku mengacungkan jariku mengutarakan apa yang ada dipikiranku.. Tapi dengan segera aku mengurungkan niatku. Tidak bisa kebayang jika aku berurusan dengan Bimbingan Konseling “lagi”.

   Aku beranjak dari tempat dudukku. Keluar kelas, menuju kebebasan yang berdurasi 15 menit itu. Terbebas dari belenggu penjara yang sangat membosankan. Kantin adalah tujuanku. Bertemu kawan-kawan yang sejenis denganku. Royan dan Andre. Bertiga denganku, kami adalah spesies langka yang jarang ditemukan. Kami memang tidak satu kelas lagi karena saat kenaikan kelas, kami di rolling. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Saat menuju kantin, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada seorang wanita berkulit putih yang berjalan menuju ke arahku. Seperti terhipnotis, aku tidak bisa bergerak. Hanya memandanginya sampai dia berlalu meninggalkanku. AH! Aku lupa melihat nama dadanya. Sedikit kecewa aku saat itu. Sampai di kantin, aku melihat dua ekor kera disana. Yap, itu adalah Royan dan Andre.
“Woy Bil, sempak Fir’aun! Udah ditungguin dari tadi kemana aja lo?” Royan memarahiku.
“Sorry Yan, ada masalah kecil.”
“Masalah apaan? Cewek lagi?” timpal Andre.
“Lo udah kek Ki Joko Bodo aja Ndre, tau semuanya. Iya, tadi gue liat cewek cantik banget. Tapi gak sempet liat namanya.”
“Tampang lo doang ganteng, tapi nyali nol.” tungkas Royan.
“Sewot lo pada, liat aja gue pasti dapetin nih cewek. Udah pada makan belum? Ayok pesen.”
   
      Kemudian kami mengisi perut dan berbincang-bincang pada jam istirahat itu.
Hafido Habil Hamadya. Teman-teman memanggilku Habil. Tinggi, kurus, rambut agak panjang. Soal wajah, kata teman-teman aku ini ganteng. Tapi nggak punya nyali kalo soal cewek. Maklum, belum pernah yang namanya pacaran sampai SMA saat ini. Mungkin karena aku hanya bergaul dan bermain dengan teman-teman cowok. Tetapi bukan berarti aku bersikap dingin pada cewek, justru sebaliknya.
    Hari itu sepulang sekolah, Aku, Royan, dan Andre tidak langsung pulang ke rumah. Dengan masih mengenakan seragam, kami pergi ke tempat biasanya kami nongkrong. Bukan tempat nongkrong untuk anak nakal. Tapi tempat tujuan kami adalah rumah makan sederhana yang memang di desain oleh pemiliknya untuk anak muda seperti kami. Soal harga sangat bersahabat dengan kantong pelajar. Karena hari itu adalah hari Sabtu, kami kehabisan tempat duduk yang berada di dalam. Dengan terpaksa kami harus duduk diluar yang tempat duduknya lesehan dan menghadap ke jalan raya.
“Mau pesen apa lo Yan?” tanya Andre.
“Emm, gue pesen sandwich sama minumnya lemon tea aja.” jawab Andre sambil melihat daftar menu.
“Kalo kamu Bil?”
“Sama kek Royan aja.” jawabku singkat.
“Gak kreatif lo!” ejek Andre
Setelah menunggu, pesanan kami akhirnya datang.
“Dua sandwich, steak ayam, dan tiga lemon tea. Benar mas?” tanya pelayan membawakan pesanan kami.
“Iya mas, terimakasih.” jawabku. Lalu pelayan itu pergi meninggalkan kami.
“Selamat makan nyet.” Andre memakan steak ayamnya.
“Selamat makan berandal.” Royan menggigit sandwichnya.
“Selamat minum anak kampung.” kuteguk lemon tea yang ada di depanku itu.
    Sebelum kami menghabiskan makanan kami, tiba-tiba di depan kami ada kecelakaan. Seorang wanita keserempet mobil yang berlawanan arah kemudian jatuh tepat beberapa meter di depan kami. Tanpa berpikir panjang, kami beranjak pergi dari tempat kami berlari menuju wanita itu. Aku membantu wanita itu berdiri dan menyuruhya duduk di tempat kami tadi. Sedangkan Andre dan Royan memakirkan motornya. Aku memesan segelas air putih kemudian memberikannya pada wanita itu.
“Ini mbak, minum air putih dulu.” tawarku memberikan segelas air putih.
“Iya mas, terimakasih.” jawabnya kaku sambil melepas helmya.
Betapa terkejutnya aku, ternyata wanita itu adalah cewek tadi pagi yang berpapasan denganku di sekolah. Tak mau mengulangi kesalahan yang sama, langsung kulihat nama dadanya. Tertuliskan Evelyne S.P. Aku coba rileks dan bertingkah seperti belum pernah bertemu dengannya.
“Gimana mbak keadaannya? Masih shock?” tanyaku. Walaupun sebenarnnya yang shock adalah aku sendiri.
“Udah agak baikan mas, tapi masih kaget. Aku belum pernah jatuh sebelumnya.” jawabnya.
Andre dan Royan berjalan menuju ke arah kami.
“Ini kunci motor lo. Nggak ada yang rusak tapi bodynya agak lecet.” Royan memberikan kunci motor pada Eve.
“Sama spion kamu yang kiri pecah.” tambah Andre.
Kemudian mereka berdua duduk disampingku.
“Jadi, tadi ceritanya gimana kok lo bisa jatuh?” tanyaku pada Eve.
“Tadi gue nggak bisa ngira-ngira. Gue ambil jalan kanan, terus di depan ada mobil nyerempet spion gue. Terus jatuh deh.”
“Lah lo gimana sih? Hahaha.” Andre terkikih.
“Kampret, bukannya prihatin atau apa malah diketawain.” jawab Eve agak cemberut.
“Udah udah, yang penting kan lo udah baikan sekarang, tapi nanti pulang berani nggak bawa motor sendiri?” Royan menengahi.
“Berani aja lah, serius gue nggak kenapa-napa.”
“Ah gue gak percaya. Gini aja, ntar lo pulang naik motor sendiri tapi gue kawal dari belakang, gimana?” aku mengajukan usul.
“Nggak ngrepotin kamu?”
“Nggak lah, tenang aja. Lagian gue nggak ada acara apa-apa hari ini.”
“Eh Bil, tapi habis ini gue mau ngedate sama pacar gue. Lo kawal aja ya itu si korban kecelakaan.” celoteh Royan.
“Sadis amat lo manggil gue. Nama gue Evelyn.” Eve tidak terima.
“Gue juga nggak bisa Bil. Biasa lah, tidur siang adalah prioritas utama gue.” Andre beralasan.
“Nggak kaget gue kalian berdua ngomong kek gitu. Yaudah deh, ntar gue yang kawal si Eve.”
“Nah gitu dong. Yaudah gue sama Andre cabut duluan ya. Bye Habil bye Eve.” Royan berpamitan.
“Duluan yaa.” Andre dan Royan beranjak meninggalkan Aku dan Eve.
“Pulang sekarang apa nanti? Atau mau pesen makanan dulu? Gue panggilin pelayan.” tanyaku pada Eve.
“Nggak usah. Pulang sekarang aja deh.”
“Yaudah yuk. Bentar ya gue mau bayar di kasir dulu.”
Kemudian aku meninggalkan Eve sendirian. Setelah selesai membayar di kasir, aku kembali ke tempat Eve.
“Kok lama sih?”
“Kampret dua bocah tadi. Mereka belum bayar ternyata.”
Eve tersenyum geli.
“Walah, lo ngapain ketawa? Lagi susah nih. Mana dompet tambah tipis.”
“Udah ikhlasin aja, itung-itung tambah pahala.”
“Kalo sekali dua kali sih gapapa. Lha ini berkali-kali. Ah bodo, yuk pulang.”
    Aku dan Eve pergi meninggalkan tempat itu. Setelah membayar parkir, kemudian kuikuti Eve dari belakang. Udah kayak orang penting aja nih cewek pikirku. Ternyata rumah Eve cukup jauh juga. Saat itu kira-kira kecepatan kami hanya 30km/jam. Agak lama untuk sampai disana. Setelah sampai, aku dipersilahkan masuk oleh Eve.
“Masuk dulu aja Bil. lo gak terburu-buru kan?”
“Iya Eve.” jawabku singkat. Kemudian aku masuk ke rumahnya. Cukup besar rumah Eve.
“Mau minum apa? Jus apa air putih?”
“Air putih aja deh.”
“Oke. Tunggu bentar ya.” Kemudian ia berlalu meninggalkanku. Aku menunggu di ruang tamu.
PYARR!! Tiba-tiba aku mendengar suara piring pecah. Tapi ini seperti disengaja. Terdengar samar-samar suara dari dalam rumah Eve. Ada orang yang sedang berantem. Tapi bukan suara Eve. Aku panik saat itu. Kemudian aku lihat Eve berlari kecil dari sana mendekatiku.
“Bil, kita keluar aja yuk.”
“Tadi ada apa Eve? Kamu nggak kenapa-napa kan?”
“Nanti gue jelasin. Males gue disini.” Eve menggandeng tanganku keluar.
“Kemana Eve?” tanyaku.
“Udah jalan aja dulu Bil.”
    Dengan motorku vixionku aku melaju pelan-pelan tak tau harus kemana. Kutengok dari spion wajah Eve terlihat sedih. Ada apa ini? Aku bingung harus kemana saat itu. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti di taman yang berada di kiri jalan. Aku parkirkan motorku lalu kuajak Eve duduk di kursi yang ada di taman itu. Aku tak berani membuka pembicaraan, karena aku tau Eve sedang bersedih entah apa yang terjadi.
“Bil, sorry ya tadi, lo baru sampai di rumah gue langsung gue ajak pergi lagi.” Eve membuka pembicaraan
“Gapapa Ev, kalo boleh tau tadi ada apa kok aku denger kayak ada piring pecah gitu?”
“Jadi gini Bil, akhir-akhir ini bokap sama nyokap sering berantem. Hampir setiap hari entah apa masalahnya gue gatau. Sedih gue liatnya, padahal baru seminggu lalu pindah kesini.”
Jadi Eve dari luar kota. Batinku.
“Sebenernya nggak enak kalo nyampurin urusan orang lain, tapi ini sekedar saran aja Ev. Mending kamu coba jadi penengah mereka. Coba lo ngomong baik-baik supaya mereka mau dengerin apa yang lo omongin.” Aku mencoba memberi saran.
“Gue nggak berani Bil. Gue pilih diem aja kalo mereka lagi berantem.”
“Bentar ya Ev, gue mau beli minuman dulu.” Aku pergi meninggalkan Eve untuk membeli minum. Aku kembali dengan membawa dua jus melon. Konon katanya jus melon bisa memperbaiki suasana hati seseorang. Jadi aku pikir pas buat Eve.
“Ini Ev, gua beliin jus melon. Diminum ya.” kuberikan jus melon itu pada Eve.
“Aduh lo baik banget sih Bil, daritadi gue bikin lo repot terus.”
“Hahahah. Udah jangan bawel, itu diminum dulu jusnya keburu dingin.” kuminum jus melon itu bersama Eve.
“Oh iya Eve, ceritain tentang lo dong.”
“Hihihi, kepo lo ya?” Eve terkikih.
“Idih geer amat lu! Yaudah kalo gamau juga gapapa.” jawabku dengan wajah agak cemberut untuk menggoda Eve.
“Yailah gitu doang ngambek. Iya nih gue ceritain.” Eve tersenyum dengan tangannya yang mencubit pundakku. Aku senang saat itu karena kulihat sudah tidak ada lagi wajah sedih Eve.
“Buruann!”
“Kok gue merasa diintimidasi ya? Oke, nama gue Evelyne Shania Putri. Pas di Jakarta temen-temen manggil gue Putri, tapi semenjak pindah kesini gue dipanggil Eve. Dan asal lo tau, yang manggil gue Eve itu cuma lo sama temen lo tadi. Di kelas gue dipanggil Putri. Oh iya, gue pindah ke Bandung gara-gara bokap dipindah tugaskan kesini.”
“Oh.” jawabku singkat menggoda Eve.
“KAMPRET!! GUE NGOMONG PANJANG LEBAR LO CUMA JAWAB ‘OH’?” Eve memarahiku.
“Cie marah, gue dengerin kok apa yang lo omongi tadi. Hahaha.” Aku tertawa sambil mengacak-acak rambut Eve.
“Bodo. Gue marah sama lo.” jawabnya singkat sambil menata rambutnya kembali.
Aku tarik pipi kanan dan pipi kiri Eve. Ia tersenyum malu.
“Nah gitu dong senyum. Orang gue becanda malah diseriusin.”
“Awas aja lo kek gitu lagi.” Eve mengancam
“Iya iya. Terus lo sekarang sekolah dimana?” tanyaku meskipun aku tau dia satu sekolah denganku.
“Gue sekolah di SMA 5 baru kemarin masuk. By the way, gue kelas 12.”
“SMA 5? Kampret, berarti kita satu sekolah. Gue harus pindah sekolah secepatnya nih. Hahaha.” Aku mencoba berakting dengan pro.
“Serius lo SMA 5 juga? Hahaha, lo kelas apa?”
“Gue 12 IPA 2. Kalo lo?”
“Wah lo anak IPA ya? Hahaha. Gue kelas 12 IPS 4.”
“Emang muka gue gak pantes jadi anak IPA ya? Kampret lo.”
“Cuma gak nyangka aja cowok kek lo bisa masuk IPA hahaha.”
    Sore itu di taman, hanya suka cita dan tawa yang tercipta. Tidak ada kesedihan lagi di wajah Eve. Walaupun sederhana, setidaknya aku berhasil membuat Eve sejenak melupakan masalah keluarganya itu. Hari menjelang malam, burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Surya tidak lagi menampakkan dirinya, Aku dan Eve masih terduduk di taman itu.
“Eve, pulang yuk udah maghrib nih.”
“Bentar lagi Bil, males gue dirumah.”
“Udah lah, tenang aja Ev.” kutarik tangannya menuju motorku. Kemudian aku antarkan Eve kembali ke rumahnya.
“Thanks buat semuanya ya Bil. Lo baik banget.” ucap Eve sebelum masuk ke rumah.
“Hahaha, sama-sama Ev. Eh, besok pas istirahat ke kantin bawah ya. Awas aja nggak datang lo!”
“Kantin bawah yang sepi itu?”
“Jangan salah, walaupun sepi makanannya tetep enak kok. Gue tunggu besok disana ya.”
“Oke Bil siap”
“Dah Eve.” Aku menancapkan gas berlalu meninggalkan Eve.
“Dah Bil.”
    Pukul 18.45 aku sampai di rumah. Kuparkir motorku di garasi. Aku mengendap-endap  masuk rumah lewat pintu belakang.
“Oh, sekarang kalo pulang malem gini ya.”
Sial ketahuan.
“Mama jangan marah gitu dong.” kucium pipi kanan Mamaku itu.
“Tadi Habil nolongin temen yang kecelakaan dulu Ma. Nganterin dia ke rumahnya.” jelasku.
“Temen sekolah kamu? Dia tidak kenapa-napa kan?” tanya Mamaku.
“Iya Ma, dia anak baru namanya Evelyne. Dianya gapapa sih Mah, tapi motornya agak lecet.” jawabku
“Syukurlah kalo gitu. Yaudah kamu mandi sana, makan ada di meja makan tuh.”
“Iya Mah.” kemudian aku pergi ke kamar untuk menaruh tas dan menggantungkan seragamku yang besok masih dipakai.
    Selesai mandi aku menuju ruang makan untuk makan malam dan nonton teve bersama keluargaku.
“Bil, entar malem ada bola nggak?” tanya Kak Rini, kakak perempuanku satu-satunya. Semenjak dia bertemu pacarnya mendadak jadi gila bola. Dia paling suka sama club asal Inggris, Chelsea. Memang labil kakakku satu ini. Ntar kalo putus sama pacarnya pasti benci sama bola.
“Ada tuh Chelsea vs MU jam 1 dini hari.” jawabku.
“Asikk, temenin nonton dong Bil. Please.” pintanya memohon.
“Gamau ah kak, ntar gue kesiangan lagi kek kemarin.”
“Oke gapapa. Tapi besok kakak mau nyebarin ke temen-temenmu kalo kamu takut sama badut.” Ancam Kak Rini. Dia punya satu jurus andalan saat aku menolak ajakannya untuk menemani nonton bola.
“Please jangan Kak, reputasiku bisa tercemar. Oke ntar Habil temenin nonton bola. Tapi ada satu syarat.”
“Apaan syaratnya?” tanyanya.
“Kalo nonton bola kan nggak enak kalo nggak ada cemilan. Beliin cemilan yang banyak ya.”
“Aisshh, iya ntar kaka beliin.”
“Nah gitu dong, yaudah Habil mau ke kamar dulu. Eh bentar, nanti MU yang bakalan menang. Hahaha.” ejekku kemudian aku meninggalkannya.
    Sampai di kamar kulirik jam dinding menunjukkan pukul 20.13. Tidur adalah pilihan paling tepat saat itu. Hitung-hitung biar nanti tidak ngantuk saat nonton bola sama Kak Rini. Sebelum tidur aku sempat memikirkan kejadian hari ini yang agak konyol menurutku. Bertemu seorang cewek di sekolah yang ternyata itu adalah orang yang aku tolong saat kecelakaan tadi. Evelyne Shania Putri. Aku tersenyum. Kemudian mataku terpejam. Saat aku *meraga sukma, samar-samar aku mendengar suara Kak Rini.
“Bil bangun Bil, bentar lagi mulai pertandingannya.”
Aku masih tertidur.
“Oke siap-siap aja besok ……”
Aku langsung terbangun. Dengan malasnnya aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka.
“Udah bangun nih.”
“Nah gitu dong. Kakak tunggu di ruang tengah ya.” Kak Rini pergi meninggalkanku.
Kemudian aku berjalan menyusul Kak Rini ke ruang tengah. Tapi langkahku terhenti. Aku lupa sesuatu. Aku balik ke kamar untuk mengambil kaos MU lalu memakainya.
“Glory Glory Manchester United !!” aku berteriak mengagetkan kakakku.
“Woi ini tengah malem nanti mama sama papa bisa kebangun. Hahaha, lo ngapain pake kaos MU segala? Udah jelas nanti bakalan kalah.”
“Liat aja nanti. Mana kak cemilannya? Laper nih.”
“Belum mulai udah ngemil aja lo. Tuh ambil di kulkas, kakak udah beli banyak tadi malem.”
Kemudian aku mengambil cemilan itu dan kembali duduk disamping Kak Rini.

*meraga sukma adalah suatu keadaan dimana jiwa kita melakukan perjalanan astral diluar tubuh kita yang dalam perjalanan bisa menembus alam ghaib maupun alam nyata.

Setelah menonton acara lain, akhirnya mulai juga pertandingannya.
“KICK OFF BABAK PERTAMA!!” kakakku bersemangat sekali.
“Brisik woi! Udah nonton tinggal nonton aja.”
“Iya iya, kali ini Chelsea nggak mungkin kalah.”
“Ayo giring terus bolanya !! Oper ke depan !! Shoot shoot !! Ah sial.” aku histeris sendiri.
“Kiper Chelsea jago kan. Hahaha.”
“Hoki tuh.” jawabku membela MU.
“Goallll !! Makan tuh goal !! Hahaha.” Chelsea berhasil mencetak goal. Skor sementara 1-0.
“Kalem aja, masih lama waktunya.”
    Malam itu kami menonton bola hingga larut malam. Tak terasa 2 x 45 menit telah usai. Pertandingan itu dimenangkan oleh Chelsea dengan skor 2-1.
“Makasih udah nemenin nonton ya Bil. Benerkan kata gue, Chelsea nggak mungkin kalah hahaha.” ejek kakakku.
“Iya deh iya.” aku pasrah menerima kenyataan.
“Yaudah sekarang kakak mau tidur dulu. Kamu juga tidur sana, besok kalo telat lagi kakak nggak mau tanggung jawab lho ya.” kemudian Kak Rini berjalan menuju kamarnya.
“Kak tunggu bentar kak……” panggilku menghentikan langkahnya.
“Ada apaan Bil?” ia kembali duduk di sebelahku.
“Anuu, dulu kakak kok bisa jadian sama Mas Yoshi gimana ceritanya?” tanyaku.
“Yaelah kirain apaan. Jadi gini, dulu Kak Rini sama Mas Yoshi udah sahabatan lama banget. Terus akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke kakak dan kakak terima. Gitu deh. Ah jadi flashback. Hahaha.” jelasnya.
“Enak bener jadi cewek, tinggal nunggu ada yang deketin terus ditembak jadian deh.”
“Hahaha, emang udah hukum alam. Lo kenapa kok tanya begituan? Lo kena cinta ya?”
“Engga lah.” jawabku berbohong.
“Akhirnya adek Kak Rini yang ganteng ini kena virus cinta juga, hahaha. Jangan lupa kenalin ke kakak ya.”
“Apaan sih.”
“Yaudah kakak mau tidur dulu.” ia berlalu meninggalkanku.
    Dengan mata yang sudah kantuk, aku enggan untuk melangkahkan kaki ke kamarku. Akhirnya aku tertidur di sofa. Keesokan harinya aku terbangun, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 06.30. Baru kali ini semalam begadang tapi tidak kesiangan, pikirku. Karena jam pertama di sekolah baru mulai pukul 07.00. Aku langsung menuju ke kamar mandi untuk mandi. Selesai mandi, tanpa sarapan langsung kunyalakan motorku dan berangkat ke sekolah. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai disana. Kuperkirakan pukul 06.50 aku sudah sampai di sekolah.
    Sesampai di depan kelas aku terkejut. Pintu sudah tertutup dan pelajaran sudah dimulai. Saat itu juga aku baru teringat kalau jam di rumah terlambat 20 menit. Sial. Aku beranikan untuk mengetuk pintu.
“Tok…tok….tok….”
“Iya, silahkan masuk.” terdengar suara guru mempersilahkanku masuk.
“Maaf pak saya terlambat karena bangun kesiangan.” alasanku sekenanya.
“Oh tidak apa-apa. Tapi tutup dulu pintunya.”
Aku sangat lega saat itu. Kemudian aku kembali untuk menutup pintu. Tiba-tiba guruku menghentikan langkahku.
“Tapi nutupnya dari luar ya.”
Semua teman di kelas tertawa. Aku tau betul apa yang dimaksudkan guruku itu. Dengan malu, aku menutup pintu dari luar dan menunggu di luar. Lama aku terduduk di kursi untuk menunggu. Akhirnya setelah 15 menit menunggu guruku datang menghampiriku.
“Kamu ini masih suka telat aja. Yaudah sana masuk, tapi ini yang terakhir. Kalau kamu telat pas pelajaran bapak lagi, jangan harap kamu boleh mengikuti.”
“Iya pak, terima kasih.” aku membungkukkan badan melewati guruku dan kembali ke dalam kelas.
“Tapi nutup pintunya dari luar ya. Hahaha” ejek Akbar teman sebangkuku.
“Ssst birisik lo! Belum duduk udah lo ejek aja. Hahaha.” kutaruh tasku disebelah Akbar.
    Hari itu pelajaran fisika. Semua teman sekelasku sangat menyukai pelajaran ini, termasuk aku. Bukan karena pelajarannya, tetapi karena guruku fisika ini agak lucu. Seperti saat Andri bertanya karena belum paham. “Pak, saya belum paham tentang Fluida Statik.” Kemudian guruku menjawab dengan senyumannya yang khas “Belum paham? Gapapa. Nanti lama-lama paham sendiri.” Atau saat Adit bertanya karena tulisan di papan tulis kurang jelas. “Maaf pak, itu tulisannya yang sebelah sana kurang jelas.” Lagi-lagi guruku menjawab dengan senyumannya. “Yang mana? Yang ini? Kalau tidak jelas ya tidak usah ditulis.” Sejak saat itu kami sering menggoda guruku itu. Bertanya sekenanya kemudian setelah dijawab kami semua tertawa.
    Akhirnya bel istirahat terdengar. Aku langsung berlari menuju kantin bawah tempat biasanya kami berkumpul. Kali ini bukan untuk bertemu Andre dan Royan, tetapi aku ingin sekali melihat wajah si Eve. Maafkan aku kawan. Sampai disana aku tak melihat wajah Eve. Apakah dia lupa? Aku putuskan untuk memesan minuman dan menunggu dia datang. Tak lama kemudian dari kejauhan nampak seorang cewek berambut hitam panjang dan berkulit putih berjalan menuju ke arahku dengan tersenyum. Aku balas senyumannya. Tak salah lagi itu adalah Eve.
“Hai Habil! Udah lama ya nunggunya? Maaf tadi habis ngumpulin tugas ke ruang guru.” tiba tiba Eve sudah berada di sampingku.
“Kalem aja Ev, masih mending telat daripada nggak dateng. Hahaha.”
“Gue masih nggak percaya kita bisa satu sekolah gini.” Eve tertawa.
“Jangan-jangan lo spy dari Jakarta buat mata-matain gue?”
“Kalo iya kenapa? Hahaha, lagian nggak ada gunanya mata-matain elo Bil. Eh, lo nggak mesenin gue minuman? Apa gue harus kecelakaan lagi biar lo ngasih gue air putih?”
“Lo jangan asal ceplos gitu dong Eve. Mau pesen apa?”
“Emmm, es teh aja deh yang seger.”
“Oke tunggu bentar ya.” aku memesan minuman untuk Eve.
“Nih es tehnya neng.” aku kembali dan memberikan segelas es teh pada Eve.
“Aduh makasih mas. Hahaha.”
“Jadi, gimana motor lo? Kena omel nyokap?”
“Keadaannya masih seperti kemarin, belum gue ganti spionnya. Engga diomelin dong, namanya juga lagi apes Bil. Kecuali kalo gue nabrak anak kecil baru tuh gue diomelin. Hahaha.”
“Gue pengennya sih lo yang ditabrak anak kecil. Hahaha.”
“Idih, jahat bener lo. Eh Bil, tinggal satu tahun lagi kita lulus. Mau masuk universitas mana?”
“Pengennya sih masuk ITB kalo bisa. Lo sendiri?”
“Belum ada rencana sih. Tapi dari dulu gue pengen jadi bidan. Keren kan?”
“Kalo besok lo beneran jadi bidan, gue setiap hari pengen hamil biar bisa ketemu sama lo. Sekarang udah jarang ada bidan cantik. Hahaha.”
“HAHAHA. Ngaco lo Bil. Lagian mana bisa cowok hamil.” Eve tertawa dengan keras.
“Sapa tau bisa hahaha.”
    Berbincang-bincang dengan Eve di kantin bawah membuat suasana sepi tiba-tiba maenjadi rame oleh kita berdua. Tak terasa bel masuk sudah terdengar, aku dan Eve kembali ke kelas masing-masing. Selama berbincang tadi aku sempat meminta nomor hp Eve. Sesobek kertas bertuliskan 12 digit nomor aku kantongi, belum sempat aku salin di hpku.
    Tak bisa kupungkiri lagi, kali ini aku benar-benar terkena cinta. Setelah sekian lama, akhirnya pada Eve lah aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sesingkat itu untuk jatuh hati padanya. Karena selain cantik, dia juga asik orangnya. Selesai sekolah hari itu, kali ini aku langsung pulang karena masih capek gara-gara semalam.
    Dengan bermalas-malasan di kamar, aku keluarkan sesobek kertas di kantonganku. Kutulis 12 digit nomor itu di hpku dan kuberi nama Evelyne  lalu aku kirim pesan padanya.
“Ini gue Habil. Udah pulang belom Ev?”
Selang beberapa menit kemudian ia membalas.
“Belom Bil, ini gue baru makan siang.”
“Oh, dimana emang? Terus sama siapa?”
“Di tempat makan waktu itu Bil. Sama temen.”
“Yaudah Ev, baik-baik ya.”
“Oke Bil.”
    Memang aku seperti itu. Sangat pasif saat berkirim pesan lewat SMS, tetapi aktif saat berbicara langsung dengan Eve. Karena masih capek, akhirnya aku terlelap. Saat bangun, jam dinding menunjukkan pukul 18.00. Aku langsung mandi dan makan malam. Setelah itu aku kembali lagi ke kamar. Tak tau mau ngapain akhirnya aku berniatan untuk menelfon Evelyne. Kucari kontak yang bernama Evelyne. Kemudian aku memanggilnya.
“Haloo, selamat malam.” terdengar suara di seberang sana.
“Malam Ev, ini gue Habil. Belum tidur lo?”
“Belum tidur Bil hahaha. Ada apa malam-malam gini telpon Bil?”
“Nggak ada apa-apa sih. Gini, besok sepulang sekolah keluar yuk.”
“Emm, kemana?”
“Gimana kalo nonton? Banyak film bagus tuh.”
Good idea ! Besok sepulang sekolah gue tunggu di kelas ya.”
“Siap neng. Udah ya Ev, good night.”
Good night too Bil.”
    Aku tutup telponnya, sebelum tidur lagi aku sempatkan untuk membaca-baca buku pelajaran. Prihatin udah kelas 12 bentar lagi ujian. Bolak-balik halaman untuk sekian kalinya akhirnya aku tertidur.
    Esoknya sepulang sekolah aku menemui Eve di kelasnya yang agak jauh dari kelasku. Tiba disana aku tidak melihat Eve. Kemudian aku bertanya pada temannya.
“Permisi, Putri sudah pulang belum?”
“Belum, barusan ke kantin sama si Rico. Tunggu aja dulu, bentar lagi balik kesini kok.”
“Makasih ya.”
Aku duduk di kursi depan kelasnya. Beberapa saat kemudian Eve datang bersama seorang lelaki yang kata temannya tadi bernama Rico.
“Maaf Bil, tadi gue diajak Rico ke kantin bentar.”
“Gapapa kok, yuk berangkat sekarang.”
“Yaudah yuk. Gue duluan  Ric.” Eve melambaikan tangannya pada Rico.
“Duluan bro.” aku juga berpamitan pada teman Eve yang bernama Rico itu.
“Oke, hati-hati ya.” jawabnya.
    Sampai di parkiran, setelah berusaha membebaskan motorku yang terjebak diantara puluhan motor akhirnya terbebas juga. Kemudian aku mempersilahkan Eve untuk membonceng. Dalam perjalanan aku membuka pembicaraan dengan Eve.
“Tadi temen kamu sekelas Ev?”
“Iya Bil. Kenapa emang?”
“Nggak ada apa-apa kok. Cuma tanya aja. Hehe.”
“Oh. Eh Bil, ntar kita nonton apa?”
“Hah? Lo ngomong apa Ev? Nggak kedengeran.” jelasku pada Eve.
“NANTI NONTON APA BIL?” Eve mendekatkan mulutnya di telingaku.
“Kalem woi! Nggak gitu juga kali! Kampret lo hahaha.”
“Hahaha. Lo sih, pura-pura nggak denger.”
“Eh, siapa yang pura-pura? Emang beneran nggak denger tau. Ini kan baru perjalanan. Yaudah ntar aja dibahas disana. Gue mau fokus nyetir dulu. Hahaha.”
“Oke pak sopir!”
    Sampai di bioskop, aku berunding dengan Eve untuk menonton film apa. Akhirnya kami putuskan untuk nonton film Fast & Furious 7. Tak lupa aku membeli dua buah popcorn dan dua botol minuman. Kami menunggu beberapa menit dengan berbincang dan bercanda karena film baru akan dimulai 15 menit lagi. Setelah menunggu akhirnya filmnya dimulai. Kami masuk.
“Emang lo udah nonton yang pertama sampai keenam Ev?”
“Ih, jangan salah dulu, dari dulu gue penggemar Fast & Furious.”
“Ajib dah. Hahaha.”
“Eve, lo udah punya pacar belum sih di Jakarta?” tanyaku sambil mengunyah popcorn.
“Evelyne masih single kok. Belum ada niat buat ngeluarin album. Hahaha.”
“Bisa aja lo. Hahaha.”
“Kalo kamu Bil?” tanyanya balik.
“Kalo gue mah dari dulu belum pernah pacaran, padahal gue ganteng. Ya kan? Ya kan? Hahaha.”
“Iya lo ganteng kok Bil.”
“Serius?” tanyaku penasaran sekaligus malu.
“Iya serius gue boong. Hahaha.”
“Ini nih, udah hampir bawa gue terbang malah dijatuhin lagi.”
“Bercanda Bil, serius amat sih. Haha.”
“Iya gue tau kok. Tuh udah mulai, liat dulu.”
    Kami berdua menonton dengan serius karena memang filmnya keren banget. Apalagi aksi Dominic. Tak terasa popcorn punyaku sudah habis. Aku berniat untuk menggoda Eve. Dalam artian ‘mencuri’ popcornnya. Hihihi.
“Eve, coba liat cowok yang ada di sebelah sana.” tanganku menunjuk seorang pria yang berada di samping kiri Eve. Saat Eve menoleh kesana, tanganku dengan cepat memungut popcornnya.
“Mana Bil?”
“Yah telat lo.”
“Gue kira ada apaan Bil.” tangannya mengambil popcorn yang seharusnya ada disampingnya itu. Tetapi Eve kaget ketika didapati popcornnya tidak ada ditempatnya.
“Eh? Popcorn gue mana nih?” dia sibuk mencari.
“Emang lo taruh dimana tadi?” tanyaku basa-basi sambil memakan popcornnya.
“Tadi gue taruh disini. Eh bentar, itu yang lo makan popcorn siapa?” tanyanya curiga padaku.
“Popcorn gue lah.”
“Itu disamping lo kok ada bungkus popcorn yang udah habis?” Eve menyadari kejanggalan yang ada. Aku tertawa geli. Eve ikut tertawa melihatku.
“Ih, lo nakal ya Bil. Hahaha.” tangannya mencubit bahuku.
“Aduh sakit Ev, iya gue minta maaf. Hahaha.”
“Yaudah sini buat berdua Bil.”
    Kami melanjutkan nonton film dengan memakan popcorn itu bersama. Betapa bahagianya aku saat itu. Semoga Eve juga merasakan hal yang sama sepertiku. Kali ini apa yang dikatakan kakakku memang benar. Aku benar-benar terkena cinta.
    Akhirnya film itu selesai juga. Kami berdua berjalan keluar. Ada dua hal yang aku rasakan saat itu. Yang pertama senang karena bisa menghabiskan waktuku bersama Eve. Yang kedua kecewa karena kesenangan itu sudah selesai.
“Tadi keren banget Bil serius. Makasih ya Bil udah ngajak gue nonton.”
“Iya sama-sama Ev, soal popcorn tadi gue minta maaf ya. Hahaha.”
“Gapapa kok, gue malah seneng bisa berbagi. Indahnya kebersamaan. Hahaha.”
    Kuantar Eve pulang ke rumah. Sebenernya aku masih ingin lebih lama lagi bersamanya. Tetapi keadaan sepertinya tidak memperbolehkanku. Yap, karena kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Sampai di rumah Eve, aku berpamitan padanya.
“Eve, makasih buat hari ini ya. Gue seneng banget.”
“Sama-sama Bil, harusnya gue yang makasih.”
“Hahaha. Yaudah gue pulang dulu ya.” aku menancap gasku.
“Eh Bil, bentar Bil.” Eve menghentikanku.
“Ada apa Eve?”
“Gue juga seneng banget hari ini.”
   Aku hanya tersenyum. Eve juga ikut tersenyum. Kali ini aku benar-benar menancapkan gasku, kulambaikan tanganku padanya. Kulihat dari dari spion, tangan Eve juga melambai padaku. Aku sungguh bahagia saat itu.

***
    Hari-hari berlalu, aku masih mendekati Eve. Menghabiskan kebanyakan waktuku dengannya. Karena aku memang jatuh cinta padanya. Apakah Eve juga merasakan hal yang sama sepertiku? Aku harap begitu. Karena kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan itu sangat menyedihkan.
   Sebulan berlalu, hubunganku dengan Eve masih seperti itu. Aku tidak berani untuk menyatakan perasaanku padanya. Ada dua kemungkinan jika aku menyatakan perasaanku padanya. Yang pertama, ternyata Eve juga mempunyai perasaan yang sama denganku kemudian ia menerimaku. Yang kedua, Eve kaget saat aku menyatakan perasaanku padanya karena selama ini dia hanya menganggapku sebagai sahabat. Dan setelah itu hubunganku dengan Eve menjadi canggung.

***
  Malam ini, aku kirim pesan pada Eve untuk mengajaknya keluar saat malam minggu besok. Dia menyetujuinya.
    Keesokan harinya di sekolah saat jam istirahat seperti biasa aku ke kantin bawah untuk bertemu dengan Andre dan Royan.
“Hey man, nanti malam minggu kita bertiga keluar yuk. Lama udah nggak main bareng.” ajak Andre.
“Gue sih oke-oke aja Ndre.” jawab Royan.
“Gimana Bil? Mau nggak?” tanya Andre padaku.
“Aduh, malam minggu gue mau keluar sama Eve nih. Jadi gue nggak bisa.”
“Lo emang bener-bener kena cinta Bil. Hahaha.” Royan tertawa.
“Kita harus merayakan teman kita yang semasa hidupnya baru kali ini jatuh cinta.” Andre memujiku atau mengejekku aku kurang tau.
“Sana Bil, pesen makanan yang banyak. Gue yang traktir deh.” Andre menawariku.
“Serius Ndre? Hahaha baik bener lo.”
“Serius. Sana pesen yang banyak. Sekalian gue sama Royan.”
    Waktu istirahat itu kita gunakan untuk makan-makan di kantin. Kata Andre untuk merayakan aku telah jatuh cinta. Sungguh konyol.
    Pulang sekolah saat aku berjalan menuju parkiran tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku.
“Bil Habil!”
Aku menoleh ke belakang. Ternyata Eve yang memanggilku.
“Ada apa Ev?” tanyaku.
“Gue punya kabar baik dan kabar buruk. Mau dengerin yang mana dulu?” jawabnya.
“Oke, kabar baiknya dulu deh.”
“Kabar baiknya orang tua gue sekarang udah nggak berantem lagi. Gue seneng banget Bil.”
“Gue juga ikut seneng Ev. Terus kalo kabar buruknya apaan?”
“Kabar buruknya malam minggu nanti gue nggak bisa keluar sama lo Bil. Soalnya gue ada acara.”
“Yah, lo gimana sih. Yaudah gapapa.”
“Maaf ya Bil. Hehe.”
“Iya gapapa. Lo mau gue anterin pulang?”
“Nggak usah deh Bil, soalnya habis ini gue mau makan siang sama temen-temen kelas.”
“Oke oke, yaudah gue duluan ya. Dah Eve.”
“Hati-hati Bil.”
    Kecewa. Hanya itu yang kurasakan saat itu. Sudah kupersiapkan mentalku untuk mengungkapkan perasaanku padanya saat malam minggu itu jika Eve tidak ada acara. Dilain sisi aku sudah menolak ajakan Andre. Ingin saat malam minggu nanti aku pergi dengan Andre dan Royan tetapi hatiku tidak enak karena tadi saat istirahat kami sudah merayakanku karena gue jatuh cinta yang pertama kalinya dengan Eve.
    Aku sangat bosan di rumah. Tidak ada kerjaan, karena aku sudah membuat jadwal sebelumnya bahwa malam minggu ini aku keluar dengan Eve. Akhirnya kuputuskan untuk mencari angin diluar. Kunyalakan motorku dan keluar dari rumah menuju ke mall.
    Tidak salah aku pergi ke mall. Dengan melihat banyak orang bercanda,tertawa, dan menikmati malam minggunya itu sudah cukup menjadi obat kekecewaanku. Tetapi tidak saat aku melihat seorang wanita dan seorang pria di depanku. Tidak hanya kecewa yang aku rasakan saat itu. Tiba-tiba tubuhku melemas. Aku tidak percaya apa yang ada di depanku saat itu. Evelyne sedang berdiri berjalan dengan Rico menuju ke arahku. Apa yang harus aku lakukan? Eve dan Rico sudah semakin dekat. Dengan cepat aku bersembunyi di kerumunan orang. Aku tak ingin Eve melihatku saat itu.
    Seperti debu yang terkena angin. Bertiup tak berarah tak tau harus kemana. Bagaikan karang yang diterjang ombak, ia tak pernah membuat salah, tetapi kenapa ombak harus menerjangnya? Aku tak percaya Eve akan membohongiku seperti itu. Jika dia mencintai Rico, tapi kenapa sikapnya padaku seolah-olah menunjukkan bahwa dia juga mencintaku? Hancur,kecewa, dan sesal ketiganya berpadu meracuniku.
    Saat itu juga setelah kulihat Eve dan Rico menjauh, aku langsung menuju parkiran mengambil motorku dan pulang ke rumah. Sampai rumah aku hanya ingin tidur. Sungguh kacau aku saat itu. Tak lagi kulihat Eve di mimpiku. Jika kulihat dia di mimpiku berarti saat itu juga aku sedang mengalami mimpi buruk.
    Sejak saat itu juga aku ingin melupakan semuanya. Ingin kulupakan juga Evelyne yang telah membuatku merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya itu. Kupelampiaskan semua kekecewaanku pada pelajaran. Mendadak aku menjadi seorang yang rajin, padahal sebelumnya aku jarang sekali belajar. Sudah beberapa kali Evelyne mengirim pesan padaku menanyakan keadaanku, mengajakku keluar, bahkan ia sampai bertanya pada temanku satu kelas. Tetapi aku tidak menghiraukannya, karena sejak kejadian saat itu aku ingin melupakan semua tentang Evelyne.
    
***
   Hari itu tepat 21 hari sebelum ujian nasional. Saat aku berjalan menuju kantin, aku berpapasan dengan Evelyne. Aku pura-pura tidak melihatnya. Tetapi sialnya dia tidak berpura-pura tidak melihatku.
“Bil stop! Lo kok ngehindar dari gue kenapa sih?”
“Eh, Eve. Maksud lo ngehindar apaan?” tanyaku sok polos.
“Gue sms nggak pernah lo bales. Gue tanyain ke temen lo katanya nggak tau. Maksudnya apaan Bil?”
“Gue nggak ngehindar dari lo, gue cuma sadar diri aja kalo keberadaan gue nggak ada gunanya.”
“Maksud lo apaan Bil? Serius gue nggak tau.”
“Sekarang coba lo jujur sama gue, dulu saat lo bilang kalo lo ada acara, terus nggak jadi keluar sama gue lo pergi kemana?”
Eve hanya terdiam.
“Lo pergi sama Rico kan?”
“Tapi Bil, gue bisa jelasin semuanya.”
“Kenapa jelasinnya nggak  dari dulu aja biar gue tau kalo lo sayang sama Rico. Biar gue bisa pergi saat itu juga sebelum gue cinta sama lo seperti lo cinta sama Rico.”
“Gue sadar sih bukan siapa-siapa lo. Tapi lo nggak berhak boongin gue Ev.” aku melanjutkan.
“Maafin gue Bil.”
“Oh tenang, dari dulu  gue udah maafin kok. UN tinggal 21 hari lagi, good luck ya. Makasih buat semuanya, lo udah bisa bikin gue jatuh cinta untuk yang pertama kali sekaligus udah bikin gue sakit hati untuk yang pertama kali juga.”
Kemudian aku berlalu meninggalkan Eve. Tetapi aku lupa mengatakan sesuatu. Aku kembali berjalan menuju Eve.
“Oh iya, sebenernya dulu sebelum lo ngasih tau ke gue kalo lo SMA 5, gue udah tau kok kalo kita se-SMA. Cuma saat itu gue pura-pura nggak tau aja. Hahaha.”
Kulihat Eve meneteskan air mata. Dengan cepat aku menyekanya.
“Idih, cengeng banget sih lo. Dulu aja keserempet mobil nggak kenapa-napa.”
Tiba-tiba Eve memelukku erat.
“Thanks Bil,buat semuanya.”
Kubalas pelukannya.
“Sama-sama Putri.”
   
***
  Evelyne Shania Putri. Tercantum namamu disana. Besertakan fotomu dengan rambut hitam panjang dan kulit putih yang membuat wajahmu sangat cantik. Aku tersenyum ketika melihat itu di buku kenangan SMA. Terima kasih kamu telah membuat cerita yang indah di masa SMA-ku Eve. Setidaknya aku pernah mengenalmu.
Tiba-tiba lamunanku disadarkan oleh teman kostku.
“Woi Bil! Buruan berangkat, ntar kena omel dosen lagi.”
“Iya tunggu bentar.”
Kusimpan lagi buku kenangan itu di lemariku.
Baca Selengkapnya >>>

Wednesday, April 1, 2015

HAMBA INGIN BERCERITA

Ijinkan hamba menutur cerita
Sebuah asmara dari Surakarta
Rasa yang tertanam disana
Menghebohkan seluruh antariksa

        Berawal dari senyumnya
        Duka lara menjadi bahagia
        Hapuskan semua luka
        Disulapnya menjadi cinta

Hamba sudah tak kuasa
Ingin menitih asmara dengannya
Merajut benih cinta atas nama dunia
Tak ingin membaginya kepada surya

        Sebuah kisah yang tak mungkin terlupa
        Berbagi suka cita penuh tawa
        Tanpa berbuah sedikit lara
        Hanya berdua saja dengannya

Ijinkan hamba memilikinya
Ijinkan hamba melindunginya
Untuk terakhir kalinya hamba berdoa
Karena hamba tak ingin lagi ada kecewa
Baca Selengkapnya >>>